Konten Media Partner

The Human Library, Perpustakaan yang "Meminjamkan" Manusia Sebagai Pencerita

4 Juni 2021 7:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu sesi dalam The Human Library.
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu sesi dalam The Human Library.
ADVERTISEMENT
Bila menyebut kata perpustakaan, pikiran kita akan tertuju pada satu tempat peminjaman buku-buku. Tapi pemikiran ini bisa berbeda kalau berkunjung ke The Human Library di Copenhagen, Denmark.
ADVERTISEMENT
The Human Library atau yang disebut "Menneskebiblioteket" dalam bahasa Denmark, adalah satu-satunya perpustakaan di dunia yang menghadirkan 'buku hidup' melalui obrolan tatap muka.
Orang-orang yang dihadirkan di perpustakaan ini adalah orang-orang yang dalam hidupnya sudah banyak mengalami diskriminasi, pengucilan sosial, prasangka buruk, maupun stigma. Di antaranya para tunawisma, pengangguran, pengungsi, pasien bipolar, transgender, orang kulit hitam, dan masih banyak lainnya.
The Human Library didirikan oleh Ronni Abergel bersama saudaranya Dany dan dua temannya, Asma Mouna serta Christoffer Erichsen pada tahun 2000. Di awal mengenalkan konsep The Human Library, Ronni membuat acara selama 4 hari berturut-turut dengan durasi selama 8 jam setiap harinya. Ada lebih dari 50 kisah manusia yang diceritakan langsung dalam acara itu. Ronni menyebut kisah-kisah manusia tersebut sebagai 'judul buku' dan pengunjung yang hadir sebagai 'pembaca'.
ADVERTISEMENT
Tujuan dari The Human Library agar masyarakat bisa menyimak lebih banyak perjuangan hidup seseorang dan menyingkirkan label-label yang melekat pada si pembawa kisah. Kini sudah ada 90 The Human Library yang berdiri di seluruh dunia.
Salah satu contohnya, pada akhir tahun 2020 The Human Library mengulas 'buku' tentang 'Black Orphan in Illinois'. Buku yang dimaksud adalah sosok Tanessa dari Illinois.
Tannesa from Illinois
Saat membagi kisahnya, Tannesa memulainya dengan kalimat, "Cerita singkatnya, saya tinggal di panti asuhan. Ibu saya meninggalkan saya dan dua saudara perempuan saya. Dia akhirnya meninggal ketika saya berusia tujuh tahun. Kehidupan saya sebagai anak yatim piatu tidak seperti anak yatim pada umumnya yang harus berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya. Saya bersama saudara-saudara saya tinggal di rumah milik ibu saya, kami sekolah, masuk perguruan tinggi, dan saya menikah seperti orang pada umumnya. Saya ingin orang lain tahu bahwa menjadi yatim piatu tidak menentukan ke mana saya akan pergi (anak yatim pun masih bisa memiliki masa depan)."
ADVERTISEMENT
Dalam sesinya, Tanessa menyatakan bahwa dirinya adalah buku interaktif. Dia bisa diberi pertanyaan, bisa tertawa, dan bisa menangis.
"Aku banyak menceritakan kisahku, dan aku tidak sadar aku sudah melakukannya. Ini hal paling luarbiasa yang kulakukan bersama the Human Library. Aku duduk di depan para perempuan yang ingin 'membaca'ku. Lalu salah satu dari mereka mulai bertanya, "Bagaimana pengalaman menjadi yatim piatu ini mempengaruhi putrimu?" Saat itu aku ingin menjawabnya, tapi aku tak bisa. Aku pun mulai menangis," kata Tanessa.
Tanessa pun menjelaskan kenapa dirinya begitu emosional dengan pertanyaan tersebut. Menurutnya, dia tak bisa memungkiri kalau pengalaman hidup menjadi yatim piatu mempengaruhi caranya mendidik anak-anaknya. "Saya emosional karena saya tahu itu (menjadi yatim) mempengaruhi (cara) saya mendisiplinkan mereka. Saya tidak pernah benar-benar memikirkan (pengaruh) itu sampai wanita ini menanyakan pertanyaan itu pada saya. Saya menyadari bahwa setiap pertanyaan yang diajukan pembaca membuat saya belajar sesuatu yang baru tentang diri saya," kata Tanessa.
ADVERTISEMENT
Dalam sesi 'membaca' kisah Tanessa, pembaca bisa menanyakan berbagai pertanyaan termasuk isu Black Lives Matter. "Salah satu pertanyaan terbaik yang diajukan ke saya adalah, apakah saya lebih suka menjadi kulit putih, karena semua kesulitan yang dihadapi kulit hitam? Saya jawab 'tidak'. Saya justu baru mulai menyebutkan semua manfaat menjadi kulit hitam. Saya pikir itu pertanyaan yang luar biasa dan berani. Siapa yang akan mengajukan pertanyaan itu dalam kehidupan nyata selain pada zoom virtual dengan jarak satu juta mil jauhnya? Siapa yang berani," katanya sambil tertawa.
Tannesa menyatakan, The Human Library membuatnya bisa memberikan pengalaman baru bagi pembaca. “Anda tidak dapat membuat undang-undang untuk membuat orang lain mengerti dan bersikap baik kepada Anda. Tidak ada hukum di dunia yang dapat menghentikan apa yang ada di hati seseorang. Tetapi mengenal seseorang dan mendengar seseorang dapat membuat perbedaan itu.”
Dalam laman resmi The Human Library, mereka mengumumkan adanya pembuatan aplikasi mobile untuk The Human Library Online. Bekerjasama dengan Masco Corporation, The Human Library akan menghadirkan relawan-relawan yang bercerita tentang isu-isu penting seperti transgender, pengungsi Suriah, penyintas kesehatan mental, dan masih banyak lainnya.
ADVERTISEMENT
The Human Library bisa dikunjungi di Copenhagen setiap hari kerja jam 10 pagi sampai 4 sore.