Konten Media Partner

Tren 'Berburu' Labubu Harga Fantastis saat Ekonomi Lesu, Pakar Ungkap Fakta Ini

26 Oktober 2024 9:37 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pameran boneka Labubu di Surabaya. Foto: Masruroh/Basra
zoom-in-whitePerbesar
Pameran boneka Labubu di Surabaya. Foto: Masruroh/Basra
ADVERTISEMENT
Data BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2024 sebesar 5,05%, lebih rendah dibandingkan kuartal II 2023 sebesar 5,17%. Meskipun angka tersebut masih jauh dari resesi yang secara teknis berarti pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal beruntun. Namun, belanja tersier masyarakat justru meningkat, salah satunya demam boneka Labubu yang ramai hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
Arin Setyowati Pakar Ekonomi UMSurabaya menilai fenomena tersebut bisa dikatakan sebagai fenomena Lipstick Effect. Sebuah istilah yang diperkenalkan oleh profesor di studi ekonomi dan sosiologi Juliet Schor dalam bukunya berjudul "The Overspent American" yang terbit tahun 1998 silam.
Dalam buku tersebut dijelaskan, ketika situasi peredaran uang cenderung terbatas, seseorang lebih banyak membelanjakan uang untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu penting tapi memberikan semacam kepuasan di tengah situasi ketidakpastian. Tidak hanya lipstik, tapi juga produk skincare, make up, parfum hingga aksesoris bermerek dengan harga yang fantastis.
“Artinya, saat kondisi ekonomi sedang dalam tekanan, konsumen secara naluriah beralih dari barang-barang mahal seperti mobil atau elektronik ke barang-barang kecil yang lebih terjangkau namun tetap memberikan rasa kepuasan. Misalnya kosmetik, pakaian kecil, atau aksesoris menjadi pilihan utama karena mudah diakses dan mampu memberikan rasa “kemewahan” dalam skala lebih sederhana. Tanpa terkecuali fenomena meningkatnya peminat boneka labubu,” terang Arin dalam keterangannya seperti dikutip Basra, Sabtu (26/10).
ADVERTISEMENT
Menurut Arin, dalam situasi seperti ini, masyarakat tampaknya mencari kompensasi emosional dengan tetap berbelanja barang tertentu yang dapat memperbaiki suasana hati (emosi), menjaga simbol status sosial atau meningkatkan kepercayaan diri hingga menjaga hubungan sosial dengan komunitasnya.
“Dengan adanya tekanan ekonomi, masyarakat menunda pembelian barang-barang besar, tetapi menemukan alternatif hiburan dan kepuasan melalui belanja kecil-kecilan meski secara ekonomi tidak esensial,” imbuhnya lagi.
Artinya, menurut Arin, konsumen mampu beradaptasi dengan cepat dan cerdas, menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan kepuasan emosional. Fenomena ini sekaligus menjadi pengingat bagi pelaku bisnis bahwa strategi pemasaran yang tepat dan pemahaman mendalam terhadap perilaku konsumen sangat diperlukan, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi.
“Pada akhirnya, pola konsumsi masyarakat di masa ekonomi sulit tidak sepenuhnya berkurang, tetapi bergeser. Dari belanja besar yang dihindari, lalu beralih ke belanja kecil dan kolektif, di mana aspek emosional dan sosial menjadi prioritas,” pungkas Arin.
ADVERTISEMENT