Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
UU KIA Disahkan DPR, Psikolog Ungkap Pentingnya Cuti Panjang Bagi Ibu Melahirkan
10 Juni 2024 7:48 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan, menjadi undang-undang (UU). Itu artinya, ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan selama 6 bulan. Ketentuan itu berlaku jika terdapat kondisi khusus dengan surat keterangan dari dokter.
ADVERTISEMENT
Keputusan itu tak lepas dari perhatian Dr Primatia Yogi Wulandari SPsi MSi Psikolog, dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair). Primatia menyambut dengan baik hal tersebut.
Ia mengatakan bahwa pasca ibu melahirkan akan terjadi proses adaptasi baik secara fisik atau psikologis. Pemberian cuti akan membantu ibu dalam proses adaptasi tersebut tanpa terlalu terpengaruh oleh pikiran tentang beban dan tanggung jawab di tempat kerja. Tidak hanya pada ibu, masa cuti tersebut juga akan dapat berdampak pada anak.
“Dengan cuti melahirkan selama enam bulan akan memberikan kesempatan terbentuknya kelekatan emosional antara ibu dan anak. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa kelekatan emosional akan berdampak baik bagi perkembangan sosio emosional bagi anak,” kata Primatia, dalam keterangannya seperti dikutip Basra, Senin (10/6).
ADVERTISEMENT
Meski demikian, kesejahteraan ibu akan ditentukan oleh berbagai faktor dan cakupan yang lebih luas. Salah satu faktornya adalah tempat bekerja. UU KIA memang telah mengatur sedemikian rupa tentang hak dan kewajiban ibu yang sedang cuti melahirkan. Namun masih terdapat keraguan dalam penerapannya. Oleh karena itu, penerapan UU KIA ini juga harus mendapatkan perhatian.
“Beberapa kasus di lapangan justru ibu diminta mengundurkan diri setelah mengajukan cuti melahirkan. Jika terjadi, hal ini akan membuat psikologis ibu menjadi kurang baik. Utamanya pada ibu yang menjadi tulang punggung keluarga,” jelasnya.
Selain itu menurut Primatia, UU ini memiliki kesan bahwa fungsi pengasuhan utama ada pada ibu. Padahal seharusnya fungsi pengasuhan ada pada figur ibu dan ayah. Primatia berharap dengan adanya UU ini tidak menghilangkan peran ayah terhadap pengasuhan anak.
ADVERTISEMENT
“Pengasuhan dalam keluarga menjadi timpang, bila ayah menjadikan kondisi ibu yang cuti melahirkan lebih lama sebagai alasan menyerahkan peran dan fungsi pengasuhan secara dominan kepada ibu,” ungkapnya.
Dalam hal ini Primatia berpesan kepada ibu untuk menikmati setiap momen dengan baik. Tidak apa jika emosi-emosi negatif muncul selama proses adaptasi setelah menjadi ibu, karena ini hal yang wajar. Namun jangan ragu untuk meminta bantuan secara fisik, material, teknis, atau psikologis pada lingkungan terdekat.
“Pastikan bahwa semua keputusan dan tindakan ibu tanpa adanya paksaan, serta telah dikomunikasikan bersama pasangan,” tuturnya.
Primatia turut berpesan kepada keluarga untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi ibu. Kesejahteraan ibu tidak hanya bergantung pada kondisi ibu sendiri. Ada peran dari lingkungan terdekat yaitu keluarga untuk menciptakan kesejahteraan itu.
ADVERTISEMENT
“Keluarga terdekat harus lebih peka dalam menangkap kebutuhan-kebutuhan ibu, serta menyediakan atau menawarkan bantuan,” ujarnya.
Tak lupa Primatia memberikan pesan kepada masyarakat untuk tidak memberikan stigma atau persepsi negatif kepada ibu. Apalagi saat ibu tengah menghadapi situasi-situasi yang membutuhkan adaptasi lebih lama.
“Sebaliknya, masyarakat dapat memberikan dukungan sosial dan emosional pada ibu,” tutupnya.