Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten Media Partner
Viral Fenomena Pergi Haji dengan Jalan Kaki, Begini Kata Pakar di Surabaya
4 Maret 2025 7:08 WIB
·
waktu baca 2 menit
ADVERTISEMENT
Perjalanan ke Tanah Suci selalu menjadi impian setiap umat muslim. Namun, tidak semua muslim memiliki kesempatan yang sama untuk menunaikan ibadah haji. Belakangan ini, fenomena masyarakat yang memilih berjalan kaki, menaiki sepeda ontel, atau bahkan menggunakan perahu menuju Makkah. Aksi ini menimbulkan perdebatan, apakah ini bentuk ketulusan spiritual atau justru simbol ketimpangan sosial yang semakin tajam?
ADVERTISEMENT
Dekan sekaligus Guru Besar FISIP Unair, Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi, menyoroti bagaimana fenomena ini berkembang di era digital. Terkhusus beberapa individu yang melakukan perjalanan ekstrem ke Makkah turut memanfaatkan media sosial untuk menyiarkan perjalanannya secara langsung.
"Sebagai perjalanan spiritual, tentu yang penting adalah niat di hati. Kita tidak memiliki hak untuk menilai niat seseorang, karena itu hal yang sangat personal. Namun, ketika perjalanan ini ditampilkan di media sosial untuk mencari perhatian atau 'like', maka ada risiko entropi makna. Perjalanan haji bukanlah sesuatu yang perlu dipamerkan," jelas Prof Bagong, dalam keterangannya, seperti dikutip Basra, Selasa (4/3).
Menurutnya, muncul kekhawatiran bahwa perjalanan ini bisa berubah menjadi komodifikasi ibadah, yang mana aspek ritual justru tersingkirkan oleh aspek tontonan.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus tertentu, aksi itu bahkan mendapat dukungan materi dari masyarakat yang simpatik, sehingga menimbulkan kritik bahwa praktik ini bisa berujung pada eksploitasi donasi. Mereka menerima makanan, tempat beristirahat, bahkan uang saku dari warga yang bersimpati. Ini menimbulkan dua sudut pandang berbeda, apakah ini menunjukkan solidaritas sosial yang masih kuat di masyarakat, atau justru menggambarkan bagaimana kemiskinan sistemik melahirkan praktik ibadah yang berbasis pada ketergantungan sosial.
"Wajar jika ada yang khawatir perjalanan ini dimanfaatkan untuk tujuan lain. Jangan sampai yang terjadi justru komodifikasi perjalanan haji," tambahnya.
Dari perspektif sosiologi, fenomena itu juga bisa dimaknai sebagai bentuk resistensi sosial terhadap modernisasi ibadah haji yang semakin eksklusif. Biaya naik haji terus meningkat, sementara kuota haji reguler terbatas. Akibatnya, bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah, jalur ekstrem ini menjadi satu-satunya cara untuk mewujudkan impian mereka.
ADVERTISEMENT
"Mungkin saja ini adalah bentuk protes terhadap ketimpangan akses ibadah haji. Namun, dengan memanfaatkan media sosial untuk menunjukkan hal itu, justru bisa menurunkan pandangan masyarakat terhadap niat baik mereka," ungkapnya.
Lebih dari itu, fenomena itu juga menjadi cermin dari ketimpangan ekonomi dalam akses ibadah. Jika biaya haji terus melambung, bukan tidak mungkin lebih banyak orang yang memilih jalur ekstrem sebagai bentuk ekspresi perlawanan terhadap sistem yang tidak berpihak pada mereka.