Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten Media Partner
Viral Meme Haji Thariq di Medsos, Pakar Sebut Pemakaian Gelar Haji Hanya Budaya
16 Juli 2024 7:45 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Fenomena selebritis Thariq Halilintar yang disebut sudah berhaji di usia 2 bulan dan mendapatkan gelar haji di usia tersebut, ramai di media sosial. Berbagai tanggapan pun muncul. Ada yang menanggapi dengan serius, dan ada pula yang menganggapnya sebagai hiburan. Hal ini menjadi menarik, sebab penggunaan gelar haji ternyata memiliki sejarah tersendiri di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dosen Ilmu Sejarah, Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNAIR, Moordiati SS MHum mengungkapkan bahwa penggunaan gelar haji hanya berlaku di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia.
“Jadi, penyematan gelar haji ini memang memiliki makna dan sejarah tersendiri ya. Selain itu, penyematan gelar haji hanya ada di Indonesia dan Malaysia,” tutur Moordiati, dalam keterangannya, seperti dikutip Basra, Selasa (16/7).
Moordiati menerangkan bahwa pada zaman dulu masyarakat dari Nusantara yang melaksanakan ibadah haji tidak memerlukan izin dari pihak mana pun. Pelaksanaan haji pada masa itu lazimnya menggunakan transportasi kapal laut. Hal ini membuat pelaksanaan ibadah haji memiliki risiko yang besar dan memerlukan modal yang tidak sedikit.
“Dulu kebanyakan orang dari Aceh yang bisa berangkat ibadah haji. Orang Jawa masih sedikit karena keterbatasan modal,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Meskipun memiliki risiko yang besar, jemaah haji Nusantara memiliki ikatan kuat dengan ulama dan masyarakat Timur Tengah yang dilatarbelakangi oleh sejarah kedua bangsa. Ikatan tersebut membuat pemerintah kolonial mengkhawatirkan posisi dan kedudukannya di Nusantara. Pasalnya, para jemaah haji yang kembali dari Timur Tengah membawa semangat pergerakan dan kemerdekaan.
“Atas dasar kekhawatiran itu, pemerintah kala itu memutuskan untuk membuat peraturan tentang izin melaksanakan ibadah haji dan penyematan gelar haji untuk mewaspadai orang Nusantara yang sudah melaksanakan ibadah haji,” jelas Moordiati.
Dengan demikian, pemerintah kolonial mengharuskan orang yang kembali dari Makkah untuk menyematkan gelar haji sebagai penanda. Melalui peraturan itu, masyarakat Nusantara yang tidak mengikuti prosedur dari pemerintah kolonial akan diberikan denda.
ADVERTISEMENT
Sementara itu pelaksanaan ibadah haji di era saat ini telah mengalami pergeseran makna dengan zaman pemerintah kolonial. Tidak ada kewajiban seperti zaman dulu untuk menyematkan gelar haji pada seseorang ketika orang itu sudah melaksanakan ibadah haji.
“Saat ini, tidak ada peraturan khusus tentang penyematan gelar haji saat ini. Namun karena sudah menjadi budaya, masyarakat tetap menyematkan gelar haji pada seseorang yang sudah melaksanakan ibadah haji,” terang Moordiati.
Moordiati menuturkan, penyematan gelar haji memang sudah lazim disematkan pada masyarakat Indonesia yang telah melakukan ibadah haji saat ini. Namun, ia mengingatkan agar hal itu perlu disikapi dengan bijaksana.
“Tidak perlu memaksakan kehendak atau berlebihan dalam menuntut seseorang untuk memanggil dengan gelar haji,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT