Konten Media Partner

Viral Siswa Dihukum Duduk di Lantai karena Telat Bayar SPP, Pakar: Tak Manusiawi

14 Januari 2025 7:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tangkapan layar video viral siswa SD yang dihukum duduk di lantai karena belum membayar SPP.
zoom-in-whitePerbesar
Tangkapan layar video viral siswa SD yang dihukum duduk di lantai karena belum membayar SPP.
ADVERTISEMENT
Viral sebuah video yang menunjukkan seorang siswa SD dihukum duduk di lantai karena menunggak pembayaran sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) selama tiga bulan. Peristiwa ini terjadi di SD Yayasan Abdi Sukma, Medan, dan memicu reaksi keras dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pihak sekolah pun telah meminta maaf kepada keluarga korban atas kejadian itu dan memberikan sanksi kepada wali kelas yang memberikan hukuman kepada siswa tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Holy Ichda Wahyuni Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) mengatakan, bahwa dunia pendidikan masih kerap menjadi arena di mana masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial menjadi sangat terlihat.
Hal ini menciptakan dilema antara idealisme pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara dan realitas kebutuhan operasional lembaga pendidikan yang juga tidak bisa diabaikan.
Menurut Holy, pertama yang harus menjadi prioritas adalah asas kemanusiaan, yakni terpenuhinya hak akses pendidikan untuk siswa tersebut.
“Hukuman yang diberlakukan sekolah dengan meminta siswa duduk di lantai dan tidak memperbolehkan siswa mengikuti pelajaran tidaklah tepat. Apalagi, menurut informasi di pemberitaan media, siswa tersebut merupakan penerima dana bos dan KIP, yang mana hanya menunggu proses pencairan bantuan beasiswa tersebut,” ujar Holy dalam keterangannya, seperti dikutip Basra, Selasa, (14/1).
ADVERTISEMENT
Kata Holy, dengan menempuh banyak cara, sekolah dan orang tua seharusnya bisa mencari jalan keluar secara bersama-sama untuk mendukung hak akses pendidikan siswa tersebut.
“Misalkan melalui program dana talangan dari donatur, CSR, dan lain sebagainya. Bagaimana kita mau menggaungkan pendidikan yang inklusif, jika kekurangan siswa dalam hal ekonomi justru membuatnya termarginal,” tegas Holy.
Holy mengatakan, bahwa fakta kemiskinan di Indonesia kerap menjadi persoalan struktural yang berkaitan erat dengan banyak hal. Hal tersebut disebabkan oleh sistem, struktur, atau kebijakan sosial, ekonomi, dan politik yang menghambat sebagian kelompok masyarakat untuk memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan peluang.
“Hal ini berimbas pada persoalan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya yang juga akan terhambat,” imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Holy, banyak yang patut dipertanyakan dalam konteks kasus ini, seperti bagaimana manajemen pencairan beasiswa pendidikan dari pemerintah. Jika alokasi dana pendidikan telah disiapkan khusus oleh negara, seharusnya masalah keterlambatan bisa diminimalisir.
Juga tentang payung regulasi bagi sekolah yang perlu diformulasikan dan disosialisasikan, agar regulasi lokal sekolah memungkinkan siswa tetap belajar tanpa tekanan atau stigma, meskipun menghadapi kesulitan finansial.
“Meskipun setiap sekolah memiliki kewenangan otonom, namun regulasi harus tetap memperhatikan asas inklusifitas, kemanusiaan, tanpa diskriminasi dan kesadaran inklusif ini juga harus menjadi satu frame yang dipegang teguh oleh para guru,” pungkas Dosen PGSD UM Surabaya tersebut.