Vitamin D Terperangkap di Lemak, Orang Obesitas Rentan Terinfeksi COVID-19

Konten Media Partner
17 Juli 2021 14:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay.
ADVERTISEMENT
dr. Henry Suhendra, SpOT alumnus Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran (FK) Unair mengungkapkan, jika Vitamin D dan Obesitas ternyata memiliki hubungan yang kurang menyenangkan.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, jika dikaitkan dengan vitamin D, orang-orang dengan obesitas tinggi lebih rentan terinfeksi COVID-19.
Alasannya, karena kandungan Vitamin D pada orang obesitas hanya sekitar 50 hingga 70 persen dibanding mereka yang bertubuh ramping.
Menurut dr. Hendry, vitamin D pada orang dengan obesitas lebih banyak terperangkap dalam lemak. Sehingga yang tersisa pada pembuluh darah hanya sedikit.
"Yang bisa dipakai kan vitamin D di pembuluh darah, baru dibawa ke organ-organ. Jadi semakin tebal lemak seseorang, vitamin D akan semakin banyak tersimpan di lemak dan jadinya useless," jelasnya, Sabtu (17/7).
Namun sebaliknya, vitamin D yang tinggi sangat baik untuk metabolisme otot. Setiap kali terjadi kerusakan otot, perlu vitamin D untuk perbaikan. Sebab, tidak cukup hanya dengan protein.
ADVERTISEMENT
Ia juga menuturkan, untuk mengetahui asupan atau kadar Vitamin D dalam tubuh telah optimal atau belum, diperlukan kontrol terhadap sejumlah aspek lain. Seperti kalsium dalam darah, kalsium pada urine, serta hormon yang dikeluarkan oleh paratiroid.
Untuk memenuhi kebutuhan vitamin D agar optimal, salah satu cara yang dapat dilakukan yakni berjemur di panas matahari atau mengonsumsi suplemen vitamin D.
Untuk mendapatkan vitamin D terbaik selama berjemur, Henry menyarankan memilih waktu antara jam 11 hingga 1 siang. Hal tersebut sesuai dengan hasil riset dari salah satu peneliti asal Boston yang datang ke Indonesia pada 2011 lalu.
“Jam berjemur paling optimal, dimana kadar Ultraviolet B maksimum didapat bukanlah pagi hari, melainkan pada jam 11 hingga jam 1 siang,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, setidaknya 85 persen tubuh harus terpapar sinar matahari secara langsung. Sebab, jika terhalang baju atau objek lainnya, yang didapat tubuh hanya Ultraviolet A yang tidak membentuk Vitamin D.
Terkait lama waktu berjemur, dr. Henry menuturkan perlu waktu sekitar 15-20 menit. Karena hal itu juga dipengaruhi oleh tipe kulit. Dari enam tipe kulit yang berbeda, mayoritas orang Asia Tenggara berada di urutan 4 dan 5.
“Kita kalau jemur rata-rata perlu tiga sampai empat kali lebih banyak daripada bule-bule untuk mendapatkan vitamin D yang sama. Itu susah, makanya bisa kita ganti juga dengan suplemen,” pungkasnya.
Diketahui, dosis vitamin D dapat diberikan berdasarkan usia dan kondisi yang diderita pasien. Berikut takaran vitamin D untuk sejumlah kondisi:
ADVERTISEMENT
Dosis dewasa
Untuk mencegah kekurangan vitamin D usia 19-70 tahun yakni 600 IU per hari. Sementara untuk pengobatan dan pencegahan osteoporosis usia >50 tahun adalah 800-1.000 IU, 1 kali sehari.
Kondisi hipoparatiroid, 50.000-200.000 IU, 1 kali sehari. Kondisi hipofosfatemia atau rendahnya kadar fosfat dalam darah yakni 10.000-60.000 IU, 1 kali sehari. Kondisi rakitis 12.000-500.000 IU, 1 kali sehari.
Dosis anak-anak
Dengan kondisi hipofosfatemia yakni 40.000-80.000 IU, 1 kali sehari. Sementara kondisi rakitis yakni 12.000-500.000 IU, 1 kali sehari.