Konten Media Partner

Wah, Ada 9 Ribu Pernikahan Dini di Jatim Selama COVID-19

26 Januari 2021 13:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pernikahan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pernikahan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Angka pernikahan dini di wilayah Jawa Timur (Jatim) masih cukup tinggi. Merujuk data dari Pengadilan Agama, yang diperoleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Jatim, selama pandemi COVID-19 sepanjang 2020 terjadi 9.453 kasus pernikahan dini. Angka itu setara 4,97 persen dari total 197.068 pernikahan yang tercatat di Pengadilan Agama.
ADVERTISEMENT
"Secara persentase mengalami peningkatan dibanding 2019 yang hanya 3,6 persen. Namun menurut jumlah justru mengalami penurunan. Pada 2019 angka pernikahan dini di Jatim sebanyak 11.211 kasus dari total 340.613 pernikahan yang tercatat di Pengadilan Agama," jelas Andriyanto Kepala DP3AK Jatim, kepada Basra, Selasa (26/1).
Data pernikahan dini tersebut, lanjut Andriyanto, bisa jadi lebih sedikit dari sebenarnya, karena sangat mungkin masih terjadi pernikahan dini yang tidak tercatat alias berlangsung secara siri.
Sedangkan pernikahan dini yang dimaksud ialah pihak mempelai yang melaksanakan akad masih berusia di bawah usia minimal yang ditentukan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni 19 tahun.
Menurut Andriyanto, ada berbagai faktor yang mendorong terjadinya pernikahan dini selain faktor ekonomi.
ADVERTISEMENT
"Banyak faktor penyebabnya, tapi faktor ekonomi menjadi akar masalahnya. Selebihnya ada faktor budaya daerah setempat, faktor kehamilan yang tidak diinginkan, dan pendidikan yang rendah," ungkapnya.
Pemprov Jatim melalui DP3AK terus melakukan upaya menekan angka pernikahan dini. Salah satunya dengan menerbitkan Surat Edaran Gubernur Jatim tentang pencegahan pernikahan dini.
“Diharapkan supaya Bupati dan Wali Kota itu bisa melakukan langkah-langkah yang seperti di dalam surat edaran tersebut, dalam rangka penurunan pernikahan dini,” imbuh Andriyanto.
Menurut surat edaran bernomor 474.14/810/109.5/2021 itu, kata Andriyanto, terdapat enam langkah yang harus dilakukan bupati dan wali kota. Di antaranya, memerintahkan atau mengajak semua stakeholder mulai kantor urusan agama (KUA), camat, lurah/ kepala desa, ketua rukun tetangga (RT), hingga tokoh masyarakat bersama-sama mencegah pernikahan dini.
ADVERTISEMENT
Setidaknya tak memperkenankan pernikahan di bawah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Gubernur juga mengajak untuk mensosialisasikan usia matang menikah yakni 25 tahun untuk laki-laki dan 21 tahun bagi perempuan.
“Kemudian menganjurkan bupati dan wali kota membuat komitmen untuk Organisasi Perangkat Daerah (OPD) melakukan pencegahan perkawinan anak,” ujarnya.
Selanjutnya menganjurkan, mendukung, mendorong, serta memfasilitasi kepada seluruh warga untuk dapat memenuhi pelaksanaan Program Wajib Belajar 12 tahun.
Dalam Surat Edaran Gubernur Jatim juga tertuang pemerintah daerah untuk menyiapkan sarana prasarana pembentukan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA).
“Tugas PUSPAGA untuk memberikan layanan konseling keluarga, dan sebagainya untuk mendorong masyarakat apabila terjadi perkawinan anak,” tukasnya.
Poin lainnya yakni memfasilitasi dan mendorong pelaksanaan Sekolah Calon Pengantin bagi remaja yang akan melaksanakan pernikahan. Ini bertujuan agar calon pengantin mendapat ketrampilan dan pengetahuan persiapan kehidupan berumah tangga.
ADVERTISEMENT
Terakhir, mendorong masyarakat untuk aktif mencegah dan melaporkan jika terjadi perkawinan anak ke pengurus lingkungan RT dan RW. Lalu diteruskan secara terstruktur ke jajaran Pemerintahan yang lebih tinggi ke kepala Desa/Lurah, Camat, sampai bupati/wali kota.
“Anak itu perlu kita lindungi. Anak juga perlu kita penuhi haknya, dan pada akhirnya perlu kita tingkatkan kualitas sumber daya manusia di Jawa Timur. Karena itu perlu dilakukan pencegahan (pernikahan dini)," pungkasnya.