Konten Media Partner

'Warisi Apinya, Jangan Abunya', Berbagi Pandangan Politik Bung Karno Saat Muda

13 Juni 2022 6:52 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Soekarno muda (tanda panah biru) saat sekolah di Surabaya.
zoom-in-whitePerbesar
Soekarno muda (tanda panah biru) saat sekolah di Surabaya.
ADVERTISEMENT
Presiden RI pertama Soekarno yang akrab dengan panggilan Bung Karno sejak muda sudah memiliki semangat nasionalisme tinggi. Sarasehan Kebangsaan Peringatan Hari Lahir Bung Karno, bertajuk “Warisi Apinya, Jangan Abunya” mengupasnya tuntas.
ADVERTISEMENT
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Purnawan Basundoro menjelaskan secara rinci, bagaimana Soekarno muda melawan ketidakadilan selama jaman Belanda.
Semangat juang tinggi Soekarno itu di latarbelakangi oleh sosok Tjokroaminoto dan kota kelahirannya, Surabaya.
Menurut Purnawan, pada tahun 1916 – 1921 merupakan masa keemasan Soekarno. Kala itu jiwa dan kepribadian Soekarno muda di asah di Surabaya. Awal abad ke 20, Soekarno yang indekos di rumah H.O.S Tjokroaminoto menganggap Kota Surabaya adalah sebagai dapur nasionalisme.
“Artinya, di Surabaya itu lah, pemikiran mengenai nasionalisme Soekarno terbentuk, semangat juang melawan pendudukan Belanda di Surabaya,” kata Purnawan dalam sarasehan yang terselenggara di gedung Merah Putih, Balai Pemuda Surabaya, akhir pekan kemarin.
Pada awal abad 20-an, Kota Surabaya menjadi salah satu wilayah industri besar di nusantara, tepatnya di Jalan Dapuan dan Jalan Gatotan. Lalu pada tahun 1916, ketika Soekarno datang kembali ke Kota Pahlawan, kawasan industri Ngagel mulai di bangun.
ADVERTISEMENT
Ketika Surabaya menjadi kota industri besar, maka secara otomatis terbentuk sebuah komunitas sosial baru yakni golongan buruh.
“Ketika di Surabaya pertama kali ada sensus penduduk, tercatat warga Surabaya saat itu hanya 17 persen yang sekolah. Tentu, sebagian besar buruh yang bekerja di Surabaya. Pekerja rendahan dan kasar itu, justru mendapat perhatian Soekarno,” kata Purnawan.
Kenapa buruh rendahan menjadi perhatian Soekarno?
Perhatian Soekarno terhadap para buruh nampaknya bukan tanpa dasar. Hal itu menjadi salah satu dasar pembentukan ideologi Marhaenisme. Selain itu, ideologi Marhaenisme itu juga menjadi dasar Soekarno merumuskan Pancasila.
Di tahun 1910, Kota Surabaya muncul gerakan protes kuat dari rakyat yang tinggal di lingkup tanah partikelir pada masa itu. Protes itu muncul lantaran rakyat yang tinggal di tanah partikelir itu tidak terima jika harus tunduk terhadap tuan tanah.
ADVERTISEMENT
“Karena perbuatan tuan tanah yang semena-mena dan menjadikan tanahnya itu untuk membangun kota dan perumahan. Secara otomatis rakyat yang tinggal di tanah partikelir itu pun banyak yang tergusur,” sebut Purnawan.
Seiring dibangunnya tanah partikelir menjadi sebuah pemukiman dan pertokoan, muncul salah satu tokoh pergerakan dari Ondomohen. Yaitu Pak Siti alias Sadikin yang menggerakkan warga Surabaya kala itu untuk protes. Saat itu Sadikin bersama seorang temannya Prawirodirdjo, membela rakyat yang tinggal di tanah partikelir hingga tuntas di pengadilan kolonial (Landraad). Kini menjadi Pengadilan Negeri Surabaya.
Akhirnya, di tahun 1916 gugatan masyarakat yang menolak penggusuran paksa itu di kabulkan oleh pengadilan. Hingga muncul keputusan hakim yang menjadi aturan, yaitu larangan mengusir penduduk yang tinggal di lahan partikelir.
ADVERTISEMENT
Di dalam buku catatan A.P.E Korver berjudul “Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?” tertulis, setelah surat putusan di bacakan oleh hakim pengadilan Landraad setidaknya ada sekitar 4.000 orang berkumpul di taman kota yang kini menjadi bangunan Monumen Tugu Pahlawan. Mereka di inisiasi oleh Sadikin CS serta di dukung oleh Tjokroaminoto sebagai pimpinan Sarekat Islam (SI) waktu itu. Mereka merayakan pesta kemenangan melawan pendudukan bangsa Belanda.
“Artinya, pada tahun 1916, Soekarno pasti mengetahui adanya gerakan dan protes besar-besaran yang di lakukan oleh rakyat Surabaya secara masif. Sayangnya, peristiwa ini tidak banyak yang tahu sebagai bentuk perjuangan masyarakat melawan pendudukan Belanda. Selama ini tahunya hanya gerakan 10 November 1945,” ungkap Purnawan.
Di periode yang sama, gerakan buruh yang bekerja di industri Surabaya menguat begitu masif. Bahkan mulai melakukan mogok massal dan lain sebagainya. Penyebabnya adalah adanya pendatang asal Eropa/Belanda yang menduduki Kota Surabaya memandang sebelah mata orang pribumi.
ADVERTISEMENT
Selain tindakan semena-mena warga Belanda, pemicu kedua pergerakan penduduk pribumi adalah H.O.S Tjokroaminoto. Pada saat Soekarno tiba di Surabaya, Tjokroaminoto tengah menjadi pusat perhatian pengikut SI di Surabaya dan belahan nusantara.
H.O.S Tjokroaminoto Idola Soekarno
Di mata Soekarno, sosok Tjokroaminoto adalah seorang yang dia idolakan dalam hidupnya. Seperti yang di kutip dalam buku Cindy Adam halaman 46, “Pak Tjokro adalah Idolaku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak, ia menggemblengku. Aku duduk di dekat kakinya dan dia memberikan buku-bukunya kepadaku, dia memberikan miliknya yang berharga kepadaku,” kata-kata Soekarno di dalam karya buku Cindy Adams ‘Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’.
Purnawan menambahkan, di rumah Tjokroaminoto yang terletak di Kampung Peneleh VII Surabaya, insting politik Soekarno terbentuk, hal itu juga terungkap di dalam buku karya Cindy Adams. Di dalam buku yang sama, ditulis bahwa Tjokroaminoto sendiri lah yang mengenalkan ke Soekarno kepada para tokoh pergerakan yang hilir mudik masuk ke rumahnya saat itu. Dengan demikian, pandangan Soekarno di usia remaja sangat banyak dan kaya ilmu pengetahuan dari berbagai segi ideologi.
ADVERTISEMENT
Purnawan melanjutkan, kala itu Soekarno juga menulis soal rumah Tjokroaminoto yang menjadi dapur nasionalismenya. “Aku meresapi lebih banyak lagi persoalan politik di rumah Pak Tjokro, dapur dari nasionalisme.” Bahkan, saat itu Soekarno juga sempat menuangkan ide dan gagasan yang ada di kepalanya melalui media cetak Oetoesan Hindia yang di miliki oleh Tjokroaminoto.
“Bung Karno mengakui, saat di Surabaya ia menulis tidak kurang dari 500 tulisan yang di muat di surat kabar. Di rumah Tjokroaminoto itu pula Soekarno mengenal Alimin, Muso, Semaun dan SM Kartosuwiryo yang memiliki ideologi berbeda-beda,” imbuhnya.
Di usianya yang ke 20 tahun, Soekarno sudah matang secara politik dan ideologi. Sehingga pada saat itu lah Soekarno menemukan ideloginya sendiri yaitu Marhaenisme yang melambangkan kepribadian nasional. Di dalam media massa Fikiran Ra’jat tanggal 1 Juli 1932 No.1 tertulis, “Marhaen adalah ideologi yang meliputi kelompok miskin Indonesia, baik buruh atau bukan, termasuk petani miskin yang tidak bekerja untuk siapapun melainkan hanya untuk sehari-harinya”.
ADVERTISEMENT
“Secara detail, di dalam buku Adams 2014: 90 tertulis, Marhaenisme merupakan Sosialisme Indonesia. Gabungan dari Nasionalisme, Agama, dan Marxisme. Di tambah dengan Gotong Royong,” sebut Purnawan.
Pada tanggal 4 Juli 1927, Sukarno bersama dengan dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr. Iskaq Tjokrohadikusumo, dan Mr. Sunaryo, mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia pada tahun 1928 berganti menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). PNI saat itu, di anggap membahayakan Belanda karena menyebarkan gagasan kemerdekaan. Sehingga pemerintah mengeluarkan surat penangkapan tokoh-tokoh partai pada tanggal 24 Desember 1929.
Soekarno kemudian diadili pada 18 Agustus 1930, dengan pidato pembelaan berjudul 'Indonesia Menggugat' yang isinya banyak menguraikan kekejaman imperialisme dan kapitalisme. Menurut Soekarno kolonialisme dan imperialisme merupakan gaya baru, akan muncul dalam bentuk bantuan modal asing dengan bunga jangka panjang yang sangat tinggi.
ADVERTISEMENT
Hal ini merupakan transformasi baru dari kapitalisme, yang mana semulanya hanya berdagang, tetapi lambat laun bertujuan untuk menguasai suatu negara. Lembaga-lembaga donor ini, menurut Soekarno, merupakan cara untuk memperkuat cengkraman barat terhadap negara bekas jajahan seperti dalam buku Jati 2013 : 172.
Hingga pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan 5 (lima) prinsip dasar negara. Yakni Kebangsaan Indonesia. Internasionalisme atau perikemanusiaan. Mufakat atau demokrasi. Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan yang berkebudayaan.
“Di saat itu Bung Karno menggali nilai-niai Pancasila. Tujuannya adalah untuk menggalang negara baru merdeka untuk saling membantu negara yang masih terjajah. Selain itu ia tidak ingin Indonesia tercerai-berai dan ingin bangsanya mandiri. Berdaulat dalam politik. Berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT