Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.0
Konten dari Pengguna
Pajak Mobil Murah, Memangnya Pengaruh?
13 Februari 2021 19:36 WIB
Tulisan dari Bhima Yudhistira Adhinegara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pemerintah baru-baru ini membuat kebijakan baru dengan menurunkan tarif PPnBM atau pajak barang mewah untuk kendaraan bermotor khususnya mobil. Per Maret 2021 tarif PPnBM untuk mobil baru akan menjadi 0%, kemudian pembebasan 50% dari Juni sampai Agustus, dan 25% untuk September hingga November. Tujuan utamanya pompa perekonomian dengan berikan insentif perpajakan ke sektor otomotif.
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak bahagia mendengar harga mobil baru semakin murah? Mulai dari generasi tua sampai anak milenial yang baru bekerja tentu gembira. Tapi kabar gembira itu lebih pas kalau situasi sedang normal alias pemasukan bulanan aman-aman saja, plus bisa jalan-jalan tanpa dibatasi aturan pemerintah. Kondisi saat ini sayangnya bukan kondisi ideal memiliki mobil baru. Pendapatan masyarakat mengalami penurunan tajam. Masih bisa bekerja saja sudah untung, karena banyak yang di-PHK sepihak secara tiba-tiba. Konsumsi rumah tangga sepanjang 2020 melorot tajam, yakni 2,63%. Boro-boro beli mobil baru, melihat cicilan motor tahun kemarin saja masih jadi beban.
Masyarakat juga tentunya bertanya, kalau sudah punya mobil baru memangnya bisa jalan-jalan? Bagi PNS saja waktu libur imlek kemarin diwanti-wanti untuk tidak bepergian. Belum lagi ketidakpastian Pemerintah buat kebijakan PPKM Mikro sampai kapan akan diperpanjang. Yang jelas Bappenas sudah buat perkiraan pandemi akan teratasi September 2021. Sebaiknya kita mengurangi aktivitas bepergian keluar rumah sampai pandemi tertangani, kira-kira begitu pesannya. Ramalan yang tidak kalah kontradiktif dengan pajak mobil adalah riset John Hopkins University bahwa dengan tingkat distribusi vaksin di Indonesia saat ini maka dibutuhkan 10 tahun lebih untuk kendalikan pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Upaya pemerintah untuk mendorong masyarakat beli mobil cukup kontradiktif dengan penanganan pandemi. Buat apa ada PPKM mikro yang tujuannya mengendalikan pandemi kalau masyarakat di satu sisi didorong jalan-jalan pakai mobil baru? Sebagai contoh, di beberapa ruas jalan terdapat razia tes antigen. Ini buat masyarakat menunda dulu bepergian. Berdasarkan data Google Mobility per 9 Februari 2021, pergerakan penduduk Indonesia secara nasional ke tempat perbelanjaan dan rekreasi -21% dari baseline, sementara ke perkantoran -32%.
Dari data Susenas BPS tahun 2020 pun porsi konsumsi masyarakat sebenarnya 49% untuk pangan, sisanya baru 50,7% untuk non-pangan. Dilihat lebih detail untuk non-pangan, sebanyak 49,6% untuk perumahan dan barang kebutuhan rumah. Porsi pengeluaran untuk kendaraan bermotor masuk kelompok durable goods hanya 9,77% dari total pengeluaran non-pangan. Artinya, masyarakat sekarang butuh support dalam hal pangan dan perumahan. Itu kebutuhan primer yang utama kalau mau pompa daya beli. Sementara insentif kendaraan bermotor punya dampak lebih kecil terhadap total pengeluaran masyarakat. Kenapa waktu itu ragu mengalokasikan anggaran bantuan subsidi upah dan sekarang amat yakin dengan insentif pajak mewah kendaraan bermotor?
ADVERTISEMENT
Pemerintah juga berargumen bahwa sektor otomotif menyerap 1,5 juta orang maka perlu diberi insentif. Lalu bagaimana dengan perhatian terhadap sektor terbesar yang harusnya jadi prioritas yakni sektor pertanian? Serapan tenaga kerja sektor pertanian mencapai 29,7% dari total lapangan kerja alias 38 juta orang. Dalam situasi pandemi, sektor pertanian masih bisa serap lapangan kerja baru. Sementara anggaran subsidi pupuk hanya dialokasikan Rp24,5 triliun di APBN 2020 lalu. Tentu ini tidak adil. Kalau hitung-hitungannya banyak orang yang bekerja, pemerintah sebaiknya fokus dulu ke sektor pertanian.
Lagi pula dengan adanya penurunan harga mobil, apakah langsung masyarakat tertarik membeli? Jawabannya belum tentu. Sebagian konsumen mobil beli lewat leasing atau bank dengan kredit kendaraan bermotor. Situasinya kompleks karena leasing sedang menghadapi tingginya risiko kredit macet. Meskipun harga mobil bakal turun, leasing tidak semudah itu berikan fasilitas kredit ke konsumen baru. Syarat-syaratnya masih tinggi. Bahkan DP pinjaman baru di tengah masa pandemi justru dinaikkan oleh beberapa leasing untuk hindari kerugian. Maklum namanya mobil itu benda bergerak, beda dengan rumah. Faktor risiko kredit kendaraan bermotor jauh lebih tinggi dari KPR.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain tentunya konsekuensi dari obral pajak PPnBM mobil baru bakal membuat menteri keuangan geleng-geleng kepala. Penerimaan pajak yang seret dari mana harus menambalnya kalau makin banyak insentif pajak tapi toh tidak semua punya efek? Alhasil ada dua opsi tersisa, naikkan penerimaan di pos lainnya atau minta pinjaman utang baru kepada kreditur. Harga rasio pajak yang turun karena berbagai insentif pajak, harus dibayar mahal oleh anggaran negara. Ujungnya masyarakat biasa yang kena pajak.
Jadi kembali ke pertanyaan awal, apakah pengaruh ke penjualan otomotif jika PPnBM digratiskan? Jawabannya jelas tidak. Konsumen, dan leasing adalah salah satu pihak yang tidak mudah diyakinkan untuk beli mobil baru. Tidak semudah itu menjual mobil ketika masalah utama pandemi tidak diselesaikan terlebih dulu. Ingat, masalah utamanya adalah terbatasnya mobilitas sehingga penjualan otomotif turun, solusinya bukan disuruh beli mobil baru tapi hanya diparkir di garasi. Jangan muter-muter kalau buat kebijakan.