Konten dari Pengguna

Reshuffle Kabinet : Mas Nadiem Harus Hati-hati

28 Juli 2020 15:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bilal Sukarno tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto Nadiem Makarim, Kemendikbud
zoom-in-whitePerbesar
Foto Nadiem Makarim, Kemendikbud
Dalam sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyinggung isu reshuffle kepada jajaran menterinya karena dinilai tidak memiliki sense of crisis. “LANGKAH apapun yang extraordinary akan saya lakukan, untuk 267 juta rakyat kita, untuk negara. Bisa saja membubarkan lembaga, bisa juga reshuffle.” begitu kira-kira apa yang disampaikan Pak Jokowi.
ADVERTISEMENT
Indonesia Political Opinion (IPO) merilis hasil survei terkait kepuasan publik terhadap kinerja menteri Kabinet Indonesia Maju di masa pandemi Covid-19. Hasilnya Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly jadi menteri yang paling diharapkan publik untuk di-reshuffle. Disusul Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dengan 52,4 persen, Lalu Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah 47,5 persen, Menteri Agama Fahrul Razy 40,8. Kemudian diikuti Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dengan 36,1 persen, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan 33.2 persen, Menteri Sosial Juliari Batubara 30.6 persen, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki 28,1 persen, Menteri Pemuda dan Olah Raga Zainudin Amali 24,7 persen, Menteri BUMN Erick Tohir 18.4 persen, dan posisi kesebelas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim 13,0 persen.
ADVERTISEMENT
Sebagai nama terakhir yang disebut dalam survei yang dilakukan IPO menurut penulis agaknya mas nadiem harus berhati-hati dalam bertindak walaupun memang me-reshuffle menteri adalah hak prerogative Presiden tidak ada sangkut paut dengan Survei tersebut. Tetapi melihat sosok mas nadiem ini bukan salah satu titipan partai dan jika dibenturkan fakta-fakta yang terjadi belakangan yang menerpa mas nadiem bukan tak mungkin kursi “goyang” mas nadiem digemboskan.
Penulis mencatat beberapa fenomena yang menjadi sorotan mas Menteri Nadiem dalam belakangan ini.
Sebuah Pengharapan Yang Tak Sesuai Harapan : Nadiem dicari Mahasiswa
Padahal saat terpilihnya Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan di Kabinet Indonesia maju Jokowi Jilid II, Penulis atau bahkan seluruh masyarakat Indonesia mengharapkan mas menteri mampu mendongkrak pendidikan Indonesia bisa lebih maju. Perlu diketauhi, Indonesia merupakan negara dengan lebih dari 217.000 sekolah, 45.357.157 murid dan 2.719.712 guru. tetapi ironinya, kita salah satu negara dengan performa yang paling rendah menurut PISA (Progammer for International Student Assessment) kita ranking 62 dari 70 negara. sebegitu ketertinggalankah kita. bahkan Menurut professor lant pritchett anak-anak di Jakarta tertinggalan 128 tahun padahal Jakarta merupakan kota yang dianggap paling modern dan maju di Indonesia. Lantas bagaimana dengan daerah-daerah pelosok yang lain? .
ADVERTISEMENT
Gebrakan awal yang dijalankan nadiem saat masa jabatanya terlihat sangat menjanjikan. Kerja cepat dan tepat, Apalagi saat kebijakannya dikritisi, dengan cepat ia mencari solusi dan pertimbangan untuk segera mengklarifikasi ke publik. Contoh nyata saat kebijakan penghapusan Ujian Nasional (UN) yang juga menuai kritikan dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mas menteri menjawab dengan segera “Enggak sama sekali membuat siswa lembek, karena UN itu diganti assessment kompetensi di 2021. Malah lebih men-challenge sebenarnya”, kata Nadiem.
Memasuki masa Pandemi COVID-19 yang menyerang bumi pertiwi mas manteri seakan kehilangan giginya, sosok yang penuh pengharapan saat masa jabatan sudah tidak terlihat dalam tembok-tembok media sosial maupun televisi nasional.
Hilangnya beliau pun memunculkan sebuah gerakan mahasiswa yang mencarinya, Tagar #MendikbudDicariMahasiswa menjadi populer di Twitter pada Selasa 2 Juni 2020 lalu, bersamaan dengan munculnya tagar #NadiemManaMahasiswaMerana sebagai bentuk protes mahasiswa atas tak adanya keringanan uang kuliah tunggal, hingga kesulitan melakukan kuliah daring di masa pandemi Covid-19. Mahasiswa ingin melakukan audiensi dengan Mendikbud Nadiem Makarim terkait biaya kuliah dan juga aneka macam persoalan, salah satunya soal biaya kuota karena penerapan kuliah daring.Ketika audiensi diterima oleh kemendikbud pada sabtu tanggal 6 juni 2020 via daring sosok mas menteri juga tidak terlihat dalam audiensi tersebut.
ADVERTISEMENT
NU, Muhammadiyah dan PGRI keluar dari Program Organisasi Penggerak.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan sebuah program yaitu Program Organisasi Penggerak (POP). Program Organisasi Penggerak ini merupakan salah satu bagian dari Sekolah Penggerak yang didirikan oleh Kemendikbud. POP ini melibatkan para organisasi masyarakat dan relawan pendidikan yang dapat ikut berpartisipasi sebagai organisasi penggerak untuk menciptakan sekolah-sekolah Penggerak di Indonesia. Program Organisasi Penggerak adalah sebuah program yang dibuat oleh Kemendikbud guna mendorong hadirnya Sekolah Penggerak yang melibatkan peran serta organisasi. Fokus utamanya adalah peningkatan kualitas guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
Sebuah hal yang mengejutkan ketika NU, Muhammadiyah dan PB PGRI menyatakan mundur dari program organisasi penggerak yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim. Muhammadiyah menyampaikan alasan mereka keluar dari program itu yakni kriteria pemilihan ormas dan Lembaga Pendidikan yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas dan tidak transparan. Sementara itu, Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU KH Arifin Junaidi menilai konsep Program Organisasi Penggerak (POP) yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak matang. Setidaknya ada beberapa hal yang ia nilai berpotensi menjadi masalah besar dan menjadikan POP ini patut untuk dievaluasi. Sedangkan PB PGRI mengatakan alasan mundur karena berbagai pertimbangan di tengah pandemi virus corona, dana POP seharusnya bisa digunakan untuk menunjang kebutuhan infrastruktur sekolah, guru, dan murid.
ADVERTISEMENT
Kemudian, PGRI memandang perlunya kehati-hatian dalam penggunaan anggaran POP yang harus dipertanggungjawabkan secara baik dan benar. Mengingat waktu pelaksanaan yang singkat, mereka menilai tidak bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien sehingga bisa timbul akibat yang tidak diinginkan di kemudian hari. Selai itu, mereka juga menilai kriteria penetapan dan pemilihan peserta program organisasi penggerak tidak jelas. Tapi, sama halnya dengan dya ormas lainnya, PGRI berkomitmen akan tetap memajukan pendidikan di tanah air.
Penulis mengganggap mundurnya NU dan Muhammadiyah dalam Program Organisasi Penggerak Kemendikbud tidak bisa dianggap sepele bisa jadi ini dapat mempengaruhi nasib Mas Nadiem dan kursinya.
Sejak Nadiem terpilih sebagai menteri pendidikan di Kabinet Indonesia maju kursinya sudah “di oyok-oyok” oleh banyak pihak. Sebagai anak bawang yang tiba-tiba menduduki kursi strategis yang biasanya jadi jatah para elit tentu seharusnya ia berhati-hati. Menurut hemat penulis saat ini Kejatuhannya hanya soal waktu tergantung kekuatan politik yang mendorong kekecewaan itu.
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi komposisi menteri kita, biasanya posisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diisi oleh orang-orang Muhammadiyah. kita bisa melihat Sebelumnya yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia periode 2016–2019 adalah Muhadjir Effendy. Beliau merupakan mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan juga merupakan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Pendidikan dan Kebudayaan. Ini memang bukan tradisi yang baik. Karena menteri itu dipilih karena kemampuannya, bukan karena relasi politiknya.
Sekali lagi penulis ingatkan, Mas nadiem harus hati-hati dalam kerja-kerja politiknya.
*Bilal Sukarno - Mahasiswa Ilmu Politik UPNVJ