Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Koalisi Gemuk: Sehatkah Bagi Demokrasi Kita
13 Juli 2024 23:39 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Boban Abdurazzaq Sanggei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat di setiap wilayah kita dapat membagi mereka dalam 2 tipe, yang pertama kelompok yang mendukung suatu kebijakan yang dibuat pemimpin dan akan memberikan effort-nya secara berlebihan kepada pemimpin.
ADVERTISEMENT
Lalu ada tipe kedua yang selalu mempertanyakan dan bahkan bisa saja tidak sepakat dengan kebijakan yang diambil oleh pemimpin, inilah dinamika yang terjadi di setiap masyarakat dunia dan sering kita lihat sebagai dinamika dalam suatu negara yang menganut demokrasi.
Secara alamiah dinamika negara demokrasi selalu menimbulkan berbagai macam drama yang tidak terlepas dari kepentingan pribadi, kelompok dan masyarakat. Hal ini yang membuat negara demokrasi sebagai tempat yang sangat berisik dan selalu ada konflik di setiap musim kepemimpinan.
Demokrasi memiliki banyak definisi bahkan setiap ilmuan politik mendefinisikan demokrasi dengan kalimat yang berbeda-beda akan tetapi memiliki arti yang sama, jika di tinjau dari praktik demokrasi pada eksekutif maka tugas mereka ialah “mengelola aspirasi secara damai untuk menghadirkan kebijakan yang berdampak pada masyarakat”.
ADVERTISEMENT
Lalu aspirasi ini datang dari mana? Tentunya dari masyarakat namun diwakili oleh legislatif dan tugas legislatif adalah membuat Undang-undang dan mengontrol serta mengawasi eksekutif.
Seperti pada paragraf pertama di atas, dinamika yang terjadi dalam internal lembaga legislatif juga terjadi seperti itu. Kita bahkan secara kasat mata melihat berbagai macam pandangan dari setiap individu yang memiliki kursi dalam parlemen, dan tentunya pandangan mereka tergantung bagaimana pertemuan dan negosiasi di belakang layar.
Sederhananya dinamika internal dalam lembaga legislatif sangatlah bergantung pada pertemuan-pertemuan antar partai dan individu sebelum mengesahkan atau menyetujui salah satu kebijakan ataupun undang-undang.
Pada abad ke-21 ini kita sangat familiar dengan demokrasi yang dipakai Amerika Serikat dan menjadi satu-satunya patokan atau contoh negara demokrasi sebenarnya. Tentunya demokrasi yang di terapkan dI Amerika Serikat merupakan demokrasi liberal yang sangat menjunjung tinggi akan kebebasan dan kesetaraan.
ADVERTISEMENT
Tentunya hal ini sempat di hindari oleh Soekarno yang menyatakan demokrasi liberal tidak cocok di terapkan di Indonesia, maka dari itu muncullah sebutan demokrasi gotong royong atau demokrasi terpimpin yang menjadi tawaran Soekarno dalam konstruksi sistem pemerintahan Indonesia.
Namun yang menjadi aneh adalah setiap wakil rakyat ditunjuk oleh presiden, Which is Soekarno-lah yang menunjuk mereka. Salah satu argumen Soekarno pada saat itu adalah untuk mempercepat perundingan agar tidak bertele-tele, tentunya ini dapat menjadi pressure group.
Hal inilah yang membuat Mohammad Hatta mengkritik Soekarno dalam artikelnya yang berjudul “Demokrasi Kita” ‘lenyaplah sisa-sisa demokrasi, demokrasi terpimpin soekarnomenjadi suatu Dikotator yang di dukung oleh golongan-golongan tertentu.
Penulis secara prbadi sangat mengagumi bung hatta sehingga pada tulisan ini, penulis ingin meminjam pemikiran Bung Hatta tentang Demokrasi. Secara personal Hatta mengkritik demokrasi barat dengan mengatakan bahwa demokrasi mereka sangatlah rasis, contohnya kehidupan di Belanda sangatlah demokratis akan tetapi Belanda sendiri tidak mau menerapkan nilai-nilai demokrasi tersebut di wilayah jajahan mereka, sehingga bung hatta menerima konsep demokrasi tapi dengan sangat kritis.
ADVERTISEMENT
Pada demokrasi barat tentunya sangat melekat dengan konsep liberalisme dan individualisme, yang mana setiap individu manusia memiliki kemauan sendiri untuk melakukan apa pun yang dilakukan dan akan dijamin. Bung Hatta mengkritik demokrasi barat yang ia lihat negara hanya sebagai pengelola dan tidak mengurusi bagaimana proses keadilan sosial dijalankan. Maka dari dalam konsep demokrasi bung Hatta negara harus hadir tapi tidak mengekang rakyatnya untuk berekspresi.
ini memiliki keterkaitan erat dengan kondisi sosial-politik di Indonesia, masyarakat pada hari ini sangat di batasi dalam berekspresi. Mungkin kalimat itu bakal ditentang oleh banyak orang namun secara fakta di lapangan kebebasan berekspresi sangatlah di batasi. Hal ini juga ditambah dengan terpilihnya Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden selama lima tahun mendatang.
ADVERTISEMENT
Mengapa? Karena yang pertama, koalisi gemuk yang sedang di buat oleh petahana membuat suara oposisi akan sangat kecil dalam parlemen. Koalisi Prabowo-Gibran akan menggandeng partai-partai lawan seperti NASDEM dan PKB untuk masuk dalam koalisi hal ini akan bertambah buruk jika PDIP sebagai salah satu Partai dengan pemegang kursi terbanyak merapat pada barisan petahana.
Tentu ini masih menjadi prediksi setelah Prabowo-Gibran dilantik pada November nanti, namun bau PDIP merapat sangatlah menyengat karena pembahasan terkait PDIP merapat sudah sangat banyak. sebagai salah satu partai yang berkuasa pada 2 periode sebelumnya PDIP akan bermain di zona nyaman tanpa harus jatuh bangun pada periode ini.
Hal ini menjadi masalah karena kekuatan oposisi akan sangat lemah dan kurang kalah pada suara. Penyebabnya tidak lepas dari pembagian kekuasaan yang terlalu bebas yakni praktik pembangunan koalisi yang sangat fleksibel.
ADVERTISEMENT
Tentu jika kita kaitkan dengan pemikiran Bung Hatta tentang keadilan sosial-politik dalam negara demokrasi, tentunya akan sangat timpang jika kekuasaan pemerintah sangat dominan tanpa adanya penyeimbang (balancing) dari parlemen. Jika semua partai masuk dalam koalisi pemerintahan tentunya akan membuat pemerintahan pada lima tahun mendatang akan menjadi diktator.
Sehingga ada dua kemungkinan yang akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan, pertama politik kartel akan lahir sempurna, dikutip dari jurnal “Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of the Cartel Party” oleh Richard S. Katz dan Peter Mair “makin bergantungnya partai-partai pada keuangan negara makin jauhnya mereka dari masyarakat dan kepentingannya, serta makin menyatunya mereka sebagai sebuah kelompok yang memiliki persamaan kepentingan”
ADVERTISEMENT
Kedua, tentunya tidak adanya transparansi dan akuntabilitas vertikal dari pemerintah ke masyarakat. Contohnya bisa kita lihat dalam beberapa tahun belakangan ini terkait revisi UU KPK, UU Omnimbus Law, UU minerba dan UU KUHP. Pada akhirnya koalisi gemuk dan lemahnya oposisi akan membuat banyak demonstrasi yang akan terjadi pada 5 tahun yang akan menadatang apalagi kita lihat visi-misi, rencana dan program yang ditawarkan oleh pasangan Prabowo-Gibran yang memiliki beberapa kontradiksi dan perlu di awasi jika dilaksanakan.
Sehingga bagi penulis peristiwa ini merupakan kemunduran jilid 2 bagi demokrasi Indonesia, dan pada era reformasi yang seharunya menjadi penyusunan kembali negara ini malah masuk pada era orde baru yang lebih merujuk pada kediktatoran yang berkedok presiden pilihan rakyat. Karena diktator yang bergantung pada kewibawaan orang seorang tak lama umurnya, Sebab sistem yang di lahirkan tidak akan bisa lebih panjang darinya umur manusia terbatas dan apabila ia sudah tidak ada lagi maka sistemnya akan roboh.
ADVERTISEMENT