Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tanah Adat dan Masa Depan Masyarakat Papua
11 Februari 2022 15:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Boban Abdurazzaq Sanggei tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekitar beberapa hari lalu gugatan dari tiga perusahaan kelapa sawit yang dilontarkan kepada Bupati Sorong telah ditolak oleh hakim pengadilan tata usaha negara (PTUN), sehingga ini menjadi kemenangan manis bagi masyarakat adat dan juga bupati. Tanah adat yang luasnya sekitar 34.400 hektar yang sebelumnya sudah konsesi telah kembali ke pangkuan masyarakat adat. Pada pembahasan kali ini tidak spesifik ke permasalahan sawit atau konsesi lahan yang diberikan pemerintah, melainkan nasib tanah adat Papua yang bisa dibilang memiliki keunikan dan kekayaan tersendiri.
ADVERTISEMENT
Pulau Papua merupakan salah satu pulau terbesar kedua di dunia dengan luas pulau sekitar 821.400 km tentunya memiliki banyak sekali sumber daya alam yang bisa diambil untuk kepentingan “masyarakat” dan para kapitalis. Akan Tetapi Papua bukan hanya sebatas pulau yang tak berpenghuni, Papua juga memiliki manusia di dalamnya yang telah tinggal selama ribuan tahun dan sudah bergantung pada alamnya. kondisi sosial masyarakat asli Papua bisa terbilang unik karena mereka memiliki adat, budaya dan tradisi yang berbeda-beda pada setiap sukunya, padahal jarak antara wilayah suku A dengan suku B tidak terlalu jauh. Pada tulisan kali ini saya akan membahas mengenai tanah adat di Papua yang seharusnya menjadi tanah yang memiliki sakralitas dan tidak boleh terjamah oleh tangan para kapitalis atau perusahaan. Tanah adat merupakan tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat dan seharusnya tidak diperjual belikan demi kepentingan korporat, yang akan berdampak secara langsung ke kehidupan masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Mengenai tanah adat di Papua, orang asli Papua menganggap tanah Papua merupakan ibu kandung mereka yang telah memberikan mereka makanan, air, dan kebutuhan hidup lainnya dan tentunya anggapan ini bukan hanya pada tanah melainkan juga laut yang dianggap oleh orang pesisir seperti di Kaimana, Fakfak, biak dan daerah pesisir lainnya seperti ibu kandung yang telah memberikan hasil laut yang begitu melimpah untuk kehidupan mereka. Orang asli Papua juga memiliki adat istiadat yang memberikan penghormatan terhadap tanah Papua, misalnya Suku Amungme yang dulunya tinggal di kaki Gunung Cartenz. Mereka menganggap bahwa pegunungan di sekitar situ adalah tempat yang disucikan karena mereka sangat menghormati tanah leluhur mereka. Begitu juga pada daerah pesisir yang tepatnya di Suku Koiway yang memiliki adat 'sasi nggama' yang mana sasi ini bertujuan untuk menghentikan sementara kegiatan mengambil hasil laut untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
ADVERTISEMENT
Namun sangat disayangkan adat-adat seperti ini sudah tidak berlaku. di Suku Amungme hari ini mereka sudah tersingkir dari tanah mereka sendiri, diakibatkan oleh pemerintah Indonesia yang menyetujui pembangunan PT Freeport untuk mengambil sumber daya alam yang berada di Pegunungan Esberg. Dan jika kita membaca beberapa literatur, masyarakat Suku Amungme menyaksikan sendiri gunung-gunung yang dianggap suci dihancurkan oleh perusahaan dan bisa dibilang pada saat itu negara yang menjadi tokoh penting hanya menyaksikan masyarakat Suku Amungme di tendang dari wilayah mereka. Kasus ini juga merupakan satu dari puluhan kasus yang terjadi di Papua, dan bisa dibilang kasus ini merupakan yang paling berat. Bahkan dalam 20 tahun terakhir setelah disahkannya UU Otsus jilid 1 tanah adat yang dimiliki beberapa suku di provinsi Papua dan Papua barat terdapat jutaan hektar yang telah di ratakan demi perkebunan kelapa sawit dan pertanian.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus-kasus ini bisa kita asumsikan bahwa aktor yang memberikan jalan bagi perusahaan-perusahaan ini masuk adalah negara, dan tidak bisa dipungkiri lagi adanya perusahaan-perusahaan ini membuat masyarakat adat tersingkir dari tanahnya sendiri. Hal ini juga ditambah dengan adanya pembangunan infrastruktur di beberapa wilayah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat, justru ini akan membuat masyarakat bergantung dengan pasar. Hal ini yang pada akhirnya akan membunuh mereka secara perlahan karena perputaran pasar secara langsung dikontrol oleh kuantitas dari barang tersebut dan apabila pasar dunia atau negara mengalami masalah maka ekonomi masyarakat setempat pun akan terganggu. Jika kita lihat dari pembangunan ekonomi yang pada zaman ini berfokus pada pembangunan infrastruktur, masyarakat adat yang pada awalnya sudah nyaman dan untung dengan bertani, berkebun, berburu dan kegiatan lainnya akan mengalami kerugian yang sangat besar karena pembangunan infrastruktur akan berdampak pada kerusakan lingkungan hidup dan hilangnya habitat makhluk hidup.
ADVERTISEMENT
Jika kita melihat isi dalam UU Otsus dan perannya dalam menetapkan masyarakat adat yang tertulis pada pasal 1 ayat 18 agar mereka dipandang oleh pemerintah dan juga sebagai batasan bagi pemerintah agar mereka tidak sewenang-wenang, akan tetapi dalam implementasinya hal ini hanyalah omong kosong, UU Otsus bisa kita lihat sebagai permen yang dikasih kepada anak kecil. Artinya UU Otsus dibuat hanya untuk menyenangkan masyarakat Papua. Bisa kita lihat dari Otsus jilid 1 yang berjalan selama 20 tahun tidak memunculkan dampak positif bagi warga bahkan disisi yang paling urgen seperti kesehatan dan pendidikan.
Kembali pada judul di atas bagaimana nasib tanah adat dan masa depan masyarakat Papua tentunya bisa kita proyeksikan bahwa beberapa tahun ke depan tanah adat akan terus dimanfaatkan oleh negara dan para kapitalis untuk meningkatkan pemasukan negara atau “saku celana", apalagi pulau Papua yang begitu luas dan masih banyak lahan kosong yang belum diisi pemukiman bisa mengundang mereka untuk meratakan wilayah tersebut agar bisa dijadikan ladang uang. Dan tentunya secara langsung berdampak negatif pada masyarakat setempat yang nantinya akan menggeser mereka dari wilayah tersebut dan harus dipaksakan tinggal di wilayah yang asing bagi mereka, lalu adat istiadat maupun budaya mereka akan perlahan memudar dan punah karena sulit beradaptasi di lingkungan baru.
ADVERTISEMENT
Dari problematik yang terus berkembang dan tidak ada garis finish, saya sebagai penulis memiliki dua solusi yang konkret dan 80% akan berhasil dalam beberapa tahun ke depan. Yang pertama negara Indonesia harus menghentikan seluruh pembangunan yang merusak atau merampas tanah adat seperti kegiatan ekstraktif atau pengambila sumber daya alam yang berlebihan. Dan yang kedua tentunya solusi ini pasti akan ditentang oleh negara bahkan kalian yang masih optimis kalau negara ini masih memiliki harapan untuk menangani Papua. Tentunya Penentuan nasib sendiri/referendum merupakan solusi yang tepat karena pada saat itu masyarakat asli Papua akan berbondong-bondong untuk memilih dengan sejujur-jujurnya apakah Papua masih layak tetap di Indonesia atau harus berdiri sendiri. Akan tetapi untuk mencapai pada tahap ini membutuhkan proses yang sangat panjang dan saya harap negara Indonesia dapat mengerti apa yang selama ini di harapkan oleh masyarakat Papua dan mahasiswanya.
ADVERTISEMENT