Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
25 Ramadhan 1446 HSelasa, 25 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Mewujudkan Ketahanan Pangan dari Desa
23 Maret 2025 10:01 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Boimin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Swasembada pangan menjadi salah satu misi utama pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Prabowo-Gibran. Salah satu langkah strategis yang diambil ialah mengoptimalkan teknologi di sektor pangan untuk melakukan berbagai inovasi.
ADVERTISEMENT
Inovasi pangan perlu

dilakukan. Khususnya pangan sebagai sumber protein lokal yang berkelanjutan (sustainable), terjangkau (affordable), bergizi (nutritious), dan enak (delicious) namun belum dioptimalkan potensinya. Contohnya, makanan yang bersumber dari perairan (blue food). Inovasi itu perlu diaplikasikan mulai tingkat desa, melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG).
MBG bisa menjadi momentum kebangkitan ketahanan pangan Indonesia. Itu sesuai dengan Asta Cita Prabowo-Gibran yang ke-6: membangun dari desa dan membangun dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan. Jadi, desa seharusnya menjadi pusat ketahanan pangan Indonesia.
Namun ketahanan pangan—tidak bisa dilepaskan dari sektor agrokompleks, yaitu: pertanian, peternakan, dan perikanan—memiliki tantangan yang tidak mudah.
Ketahanan Pangan: Tantangan di Sektor Agrokompleks
Dua tantangan utama di sektor agrokompleks untuk mewujudkan ketahanan pangan dari desa: 1) menjaga kualitas produk agrokompleks tetap bagus; 2) menjaga harga produk agrokompleks tetap stabil. Sebab, produk agrokompleks merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kemunduran mutu (perishable). Contohnya: ikan, daging, telur, sayur dan buah-buahan.
ADVERTISEMENT
Dua tantangan utama sektor agrokompleks di atas, dalam konteks bisnis pangan—jual-beli antara produsen (nelayan, petani, dan petani ikan) dengan konsumen (perusahaan/pembeli)—bisa berkembang menjadi lima persoalan penting.
Pertama, persoalan kuantitas (quantity). Terkadang hasil panen kuantitasnya mencapai 100 ton, namun konsumen hanya mampu membeli 70 ton. Sisanya—30 ton—tidak terserap pasar, dan berakhir menjadi limbah (waste).
Kedua, persoalan kualitas (quality). Tidak jarang kuantitas hasil panennya sudah sesuai, namun kualitas produknya tidak sesuai dengan keinginan konsumen. Misalnya, konsumen ingin grade A, petani hanya mampu menyediakan produk grade B. Akhirnya produk tidak bisa diserap pasar.
Ketiga, persoalan harga (price). Sering terjadi kuantitas dan kualitas produk hasil panen sudah sesuai, namun harganya terlalu murah atau terlalu mahal. Akibatnya, transaksi tidak terjadi.
ADVERTISEMENT
Keempat, persoalan waktu (time). Terkadang kuantitas, kualitas, dan harga hasil panen sudah sesuai, tetapi waktunya tidak tepat. Contohnya, petani telat memanen buah blewah sehingga melewati bulan Ramadhan. Akibatnya, penjualan dan pendapatan petani turun karena permintaan blewah tidak setinggi di bulan Ramadhan.
Lima, persoalan logistik (logistic). Pisang, misalnya, seharusnya tiba di konsumen (super market) dalam tiga hari. Namun karena banjir, logistiknya mengalami hambatan dan mengakibatan pisang sampai di konsumen telat, dan mutunya sudah tidak layak jual.
Lima persoalan penting itu sudah dicoba untuk diselesaikan oleh start up agrotek melalui teknologi yang memiliki unfair advantage—keuntungan kompetitif jauh melampaui kompetitor yang tidak mudah ditiru atau dibeli. Mereka berusaha memberikan solusi terkait kuantitas, kualitas, harga, waktu dan logistik produk agrokompleks.
ADVERTISEMENT
TaniHub, misalnya, mencoba memberikan solusi dari hulu ke hilir dan memiliki tiga bisnis utama: penjualan (TaniHub), pendanaan (Tani Fund), dan stocking (TaniSupply). Sama halnya dengan TaniHub, eFishery juga menawarkan solusi eFeeder—alat pemberi pakan yang bisa dioperasikan secara otomatis dan jarak jauh.
Sayangnya, dua start up agrotek itu mengalami kebangkrutan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin PT. Tani Fund Tani Madani Indonesia (TaniFund) pada 3 Mei 2024. Sementara itu, berdasaskan laporan media Bloomberg, investigasi lanjutan kasus eFishery—dugaan penggelapan dana 9,7 triliun—terus dilakukan pihak terkait.
Jadi, kegagalan start up agrotek—dalam menyelesaikan lima persoalan di sektor agrokompleks di atas—seharusnya bisa menjadi pelajaran dalam mewujudkan ketahanan pangan dari desa.
Desa: Ambil Pelajaran dari Kebangkrutan Start Up Agrotek
ADVERTISEMENT
Ada lima pelajaran yang bisa diambil dari kebangkrutan start up agrotek. Pelajaran pertama, valuasi bisnis seharusnya tidak boleh terlalu fokus pada growth merchandise value (GMV)—nilai transaksi bruto. Start up agrotek gagal karena mereka dituntut untuk terus meningkatkan penjualan bagaimanapun caranya, meskipun itu membuat mereka rugi. Itu tidak sehat untuk bisnis.
Kedua, bisnisnya terlalu ambisius. Nampak tergesa-gesa dalam melakukan ekspansi bisnis itu berbahaya. Ekspansinya bisa jadi terlalu cepat, akibatnya start up agrotek kurang siap dan rentan (fragile) jika terjadi perubahan situasi dan kondisi yang mendadak dalam bisnis.
Ketiga, tingkat ketidak pastiannya tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi bisnis agrokompleks—yang sulit diprediksi atau dikendalikan oleh manusia. Misalnya: bencana alam, serangan hama/penyakit, perubahan iklim atau cuaca eksterm, dan perang. Belum lagi ditambah persoalan sosial budaya yang kompleks. Itu sering luput dari perhatian dan pertimbangan start up agrotek.
ADVERTISEMENT
Keempat, dalam bisnis agrokompleks tidak semua bisa diselesaikan dengan menggunakan teknologi. Sekalipun teknologi yang digunakan memiliki unfair advantage. Itu terbukti: teknologi start up agrotek tidak berpengaruh signifikan dalam menyelesaikan dua tantangan utama bisnis di sektor agrokompleks—yaitu menjaga kualitas dan harga produk agrokompleks.
Pelajaran kelima, moral hazard—kecerobohan finansial karena merasa terlindungi dari konsekuensi (hukum) yang mungkin terjadi—sangat berbahaya dalam bisnis. Penggelapan dana dan transaksi bisnis yang fiktif mewarnai kebangkrutan start up agrotek.
Semoga, desa sebagai pusat bisnis agrokompleks bisa mengambil pelajaran dari kegagalan start up agrotek di atas. Sehingga ketahanan pangan bisa diwujudkan dari desa.