Konten dari Pengguna

KKB Papua dan Pelabelan Teroris

Boy Anugerah LUSOR
Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)
7 Juni 2021 16:57 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Boy Anugerah LUSOR tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi TNI buru KKB Papua. Foto: Pupspen
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi TNI buru KKB Papua. Foto: Pupspen
ADVERTISEMENT
Keputusan pemerintah yang melabeli gerakan separatisme di Papua sebagai kelompok teroris menjadi diskursus yang menarik untuk dikaji. Pelabelan tersebut diberikan oleh pemerintah sebagai respons atas tingginya intensitas konflik dan kekerasan di wilayah tersebut sejak April 2021 yang disebabkan oleh berbagai aksi penyerangan yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) terhadap aparat TNI-Polri yang bertugas.
ADVERTISEMENT
Yang paling menyita perhatian adalah tewasnya Kabinda Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Nugraha Karya yang ditembak oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Operasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) pada April lalu di Kabupaten Puncak, Papua.
Pelabelan teroris terhadap gerakan separatis OPM di Papua ini menimbulkan reaksi dari beberapa pihak. Salah satunya adalah Komnas HAM yang khawatir kekerasan di Papua justru akan semakin meningkat. Di sisi lain, berbagai kelompok masyarakat sipil mengkhawatirkan bahwa pelabelan tersebut akan berdampak serius terhadap keamanan warga sipil yang ada di Papua, termasuk potensi pelanggaran hak asasi manusia yang mungkin terjadi. Pemerintah sendiri menggunakan UU No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang sebagai dasar pelabelan. Berdasarkan regulasi tersebut, siapa pun yang merencanakan, menggerakkan, dan mengorganisasikan terorisme disebut sebagai teroris.
ADVERTISEMENT

Akar konflik

Terlepas dari segala diskursus yang berkembang terkait pelabelan tersebut, pertama-tama yang harus dilakukan adalah melihat secara jernih akar konflik yang ada di Papua, serta mengkaji ulang efektivitas kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah. Persoalan di Papua sejatinya adalah persoalan yang sangat kompleks dan penuh muatan kepentingan. Pihak-pihak yang terlibat di dalamnya tidak hanya berasal dari segitiga domestik saja, yakni masyarakat Papua, pemerintah daerah Papua, dan pemerintah pusat, tapi juga ada pihak eksternal yang memiliki kepentingan akan penguasaan sumber daya ekonomi, serta kelompok negara-negara Pasifik yang selalu lantang menyuarakan kemerdekaan Papua di forum PBB. Dari sisi muatan, persoalan Papua tidak berada pada ranah politik, ekonomi, dan keamanan saja, tapi juga dimensi sosial-budaya yang sangat mendasar bagi masyarakat Papua karena terkait identitas dan kesejarahan mereka.
ADVERTISEMENT
Jika berbicara mengenai kebijakan pemerintah dalam “mendinginkan” konflik di wilayah ini, tentunya kita akan berbicara mengenai kebijakan yang bersifat lintas rezim mengingat konflik ini sendiri sudah berlangsung sangat lama. Masing-masing kebijakan merupakan respons atas dinamika yang terjadi pada masanya. Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid misalnya, yang lebih banyak menyentuh aspek sosial-budaya demi membangun semangat ke-Indonesiaan di tanah Papua seperti mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua demi mengobati luka psikologis masyarakat Papua atas represi di era Orde Baru, serta mengizinkan pengibaran bendera bintang kejora karena dianggap sekadar simbol budaya saja. Berbeda dengan kebijakan Presiden Gus Dur, presiden sebelumnya, yakni B.J. Habibie, lebih menitikberatkan kebijakannya pada konteks pembangunan ekonomi untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat lokal Papua.
ADVERTISEMENT

Tonggak sejarah

Di tengah ragam kebijakan yang diambil oleh masing-masing rezim dalam mengatasi persoalan Papua, secara garis besar ada dua tonggak sejarah yang sangat penting dan seyogyanya menjadi pijakan bagi pemerintah saat ini dalam perumusan kebijakan. Pertama, runtuhnya rezim militeristik Soeharto telah menjadi titik awal perubahan mekanisme pengelolaan wilayah Papua dari pendekatan militer atau berorientasi pada keamanan menjadi pendekatan yang berbasis kesejahteraan yang dijalankan oleh pemerintah di era reformasi dan pasca-reformasi. Kedua, pemberian otonomi khusus kepada Papua yang notabene merupakan privilege secara politik dan ekonomi sejak 2001 melalui penetapan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Kedua momen ini sejatinya menjadi tonggak penting agar pemerintah hari ini tidak tergoda untuk melakukan pendekatan yang sifatnya represif dan militeristik seperti masa lampau, serta secara cermat melakukan kaji ulang terhadap otonomi khusus yang sudah diberikan. Kaji ulang ini menjadi sangat penting karena rencananya akan digulirkan otonomi khusus jilid dua. Pemerintah dan parlemen harus memastikan bahwa jika benar akan dilanjutkan, otonomi khusus tersebut benar-benar memberikan manfaat di segala lini bagi masyarakat Papua, bukan segelintir elite lokal saja seperti yang terjadi pada otonomi khusus jilid pertama.
ADVERTISEMENT
Dengan kompleksitas permasalah sedemikian, upaya mewujudkan perdamaian di tanah Papua tidak bisa melalui satu solusi atau pendekatan saja. Dibutuhkan mekanisme penanganan yang bersifat komprehensif yang menyentuh segala aspek kemasyarakatan Papua dan tentunya berpijak pada aspirasi dan suara masyarakat arus bawah Papua sendiri. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan dialog yang komprehensif antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Papua, serta kedua aras pemerintahan tersebut dengan masyarakat Papua secara langsung.
Dialog tidak bisa dilakukan antarpemerintah saja karena dikhawatirkan spirit elitisme yang akan bekerja dengan menegasikan aspirasi masyarakat. Masih intensnya aksi-aksi kekerasan di Papua saat ini merupakan resultansi ketidakpuasan masyarakat bawah yang merasa tidak menerima manfaat dari kebijakan yang sudah ditetapkan. Diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah di forum-forum global juga harus lebih gencar dilakukan untuk menangkis segala stigma buruk yang disuarakan oleh negara-negara asing pendukung kemerdekaan Papua.
ADVERTISEMENT

Harapan perdamaian

Kembali ke konteks pelabelan teroris kepada gerakan separatis Papua atau Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB)-nama yang disematkan sebelumnya. Identifikasi teroris kepada gerakan separatis Papua akan mengundang kehadiran TNI dalam jumlah besar untuk melakukan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam rangka mendukung pendekatan keamanan yang dilakukan Polri. Kehadiran TNI dalam jumlah besar ini diyakini akan menjadi solusi atas lambannya penanganan terhadap kelompok separatis karena hambatan geografis atau medan tempur di Papua.
Namun demikian, di sisi lain, ekses-ekses negatif sangat mungkin terjadi seperti yang dikhawatirkan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil. Penting bagi para aparat negara yang bertugas untuk selalu bekerja efektif dengan meminimalisasi sekecil mungkin ekses negatif yang mungkin muncul, khususnya ekses negatif yang diderita oleh masyarakat sipil. Kita semua berharap akan ada dialog komprehensif yang mendudukkan semua pihak untuk mencari solusi jangka panjang bagi konflik di Papua. Kita juga tak henti berharap agar ada damai di bumi Papua.
Boy Anugerah (Author)