Problematika Keamanan Maritim Indonesia

Boy Anugerah LUSOR
Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research (LUSOR)
Konten dari Pengguna
10 April 2021 14:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Boy Anugerah LUSOR tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Diskursus mengenai keamanan maritim sangat terkait erat dengan aspek geografis yang melekat pada Indonesia. Indonesia sejak dahulu kala dikenal dengan sebutan negara bahari karena penguasaan akan wilayah perairan yang sangat luas. Nenek moyang bangsa Indonesia adalah kaum pelaut yang menghabiskan sebagian besar waktunya di laut untuk menangkap ikan sebagai mata pencaharian utama penduduk yang hidup di sekitar wilayah perairan. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) terbesar di dunia. Klaim tersebut mengacu pada Data Rujukan Kelautan Nasional yang dirilis pada 10 April 2018 oleh Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal TNI AL), Badan Informasi Geospasial (BIG), serta Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman sebagai fasilitator.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data tersebut, luas wilayah kelautan Indonesia terdiri dari perairan pedalaman dan perairan kepulauan seluas 3.110.000 km2, serta laut teritorial seluas 290.000 km2. Luas wilayah berdaulat Indonesia terdiri dari zona tambahan seluas 270.000 km2, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 3.000.000 km2, serta landas kontinen seluas 2.800.000 km2. Luas perairan Indonesia seluas 6.400.000 km2 dan luas daratan Indonesia seluas 1.900.000 km2. Dengan demikian, luas total Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mencakup wilayah lautan dan daratan adalah seluas 8.300.000 km2. Panjang garis pantai sepanjang 108.000 km dengan jumlah pulau kurang lebih sebanyak 17.504 pulau. Jika dilihat dari perspektif maritim, atribut geografis yang dimiliki oleh Indonesia tersebut memberikan keuntungan yang sangat strategis bagi Indonesia, utamanya dari sisi perdagangan.
ADVERTISEMENT
Wilayah perairan yang luas, khususnya lautan, menyimpan potensi sumber kekayaan alam yang sangat besar meliputi sumber daya perikanan dan terumbu karang, serta kandungan minyak bumi dan gas alam sebagai sumber energi nasional. Selain itu, posisi wilayah perairan Indonesia menjadi jalur perlintasan strategis bagi kapal-kapal niaga dari banyak negara yang berpotensi memberikan keuntungan ekonomi bagi bangsa Indonesia. Meskipun luasnya wilayah laut tersebut memberikan keuntungan, namun juga tak dimungkiri dapat menghadirkan ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) sebagai konsekuensi logis. AGHT dapat hadir baik secara fisik maupun non-fisik, dapat digerakkan oleh aktor negara, bisa juga datang dari aktor non-negara. AGHT bisa datang dari pihak luar, bisa juga berasal dari level domestik atau dalam negeri. Yang paling dikhawatirkan adalah AGHT yang asalnya dari pihak eksternal karena berpotensi untuk merongrong kedaulatan dan dapat mengancam keutuhan wilayah NKRI.
ADVERTISEMENT
Di era globalisasi saat ini, kejahatan transnasional telah berkembang begitu pesat. Kejahatan model ini dilakukan oleh aktor-aktor non-negara seperti sindikat penyelundupan manusia (people smuggling), kartel obat bius dan narkoba (drugs trafficking), penyelundupan BBM (gas and oil smuggling), perompak laut yang beroperasi lintas negara (transnasional piracy), serta pelaku illegal logging, illegal mining, dan illegal fishing yang sering beroperasi di negara perairan seperti Indonesia. Kondisi tersebut belum termasuk aksi-aksi unilateral (aksi sepihak) beberapa major power yang tak segan-segan melanggar kedaulatan dan hak berdaulat negara lain di wilayah perairan seperti yang ditunjukkan oleh Tiongkok dengan melanggar ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara beberapa waktu yang lalu. Sebagai gambaran tingginya AGHT terhadap wilayah perairan Indoensia, kita dapat merujuk data yang dirilis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (KKP RI) bahwa kejahatan illegal fishing yang terjadi pada awal sampai dengan pertengahan tahun 2019 berjumlah sekitar 38 kasus.
ADVERTISEMENT
KKP RI setidaknya berhasil menangkap 38 kapal ikan ilegal, dengan rincian 15 kapal ikan asing (KIA) Vietnam, 13 KIA Malaysia, dan 10 KIA Indonesia. Jumlah tersebut menambah total tangkapan ikan ilegal yang dilakukan oleh KKP sepanjang 2014-2019 dengan jumlah 582 kapal. Lain halnya dengan penyelundupan narkoba, menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), jalur laut adalah jalur paling rawan penyelundupan narkoba. Hal tersebut didukung oleh data yang mengungkapkan bahwa 90% dari total kasus terjadi melalui jalur tersebut. Kasus yang terjadi pada akhir tahun 2019, pihak terkait yaitu Polri, BNN dan Bea Cukai, menggagalkan penyelundupan narkoba dengan modus penjemputan dari kapal ke kapal (ship to ship) yang dibawa masuk dari Malaysia menggunakan sampan motor menuju Sumatera Utara dengan barang bukti sabu-sabu seberat 37 kg.
ADVERTISEMENT
Maraknya beragam kejahatan transnasional tersebut merupakan sebuah kausalitas yang logis dari pesatnya kemajuan di bidang teknologi, informasi, dan komunikasi di era globalisasi saat ini. Para pelaku penangkapan ikan secara ilegal misalnya, sangat paham dalam memetakan titik lemah suatu negara yang lalai dalam mengawasi wilayah perairannya. Ketika tidak ada tim yang melakukan patroli, mereka masuk ke wilayah perairan dan menjalankan aksi-aksinya. Aksi-aksi tersebut tidak dilakukan secara tradisional, melainkan menggunakan teknologi penangkapan ikan dengan proses cepat dan skala tangkap yang masif. Demikian juga halnya dengan sindikat kejahatan narkoba internasional. Beragam modus mereka ciptakan dan kembangkan untuk mengelabui pengawasan di titik-titik masuk sebuah negara, apalagi apabila titik masuk tersebut adalah wilayah perairan yang minim pengawasan dan nir-teknologi. Dalam konteks ini, kejahatan transnasional yang didukung oleh teknologi canggih benar-benar menjadi ancaman bagi kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah negara.
ADVERTISEMENT
Definisi negara maritim pada hakikatnya hanya merujuk pada suatu kondisi yang taken for granted bagi suatu negara, semisal Indonesia yang dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa akan wilayah perairan dan sumber kekayaan alam yang luar biasa. Hanya saja untuk menjadi sebuah negara yang berkekuatan atau berkapasitas maritim, dibutuhkan strategi yang bersifat komprehensif, integral, dan holistik. Strategi tersebut meliputi baiknya pemahaman segenap komponen bangsa, baik pemerintah dan lapisan masyarakat, akan pentingnya memiliki kesadaran dan wawasan maritim yang mumpuni. Kesadaran tersebut akan menjadi sebuah penuntun dan daya picu untuk merumuskan kebijakan penguatan keamanan maritim yang komprehensif yang mampu mengoptimalkan semua potensi sumber daya nasional. Pada tahap lebih lanjut, perumusan kebijakan keamanan maritim tersebut akan berkorelasi positif dengan upaya untuk menjaga kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah NKRI, serta memperkukuh ketahanan nasional di semua lini kehidupan bangsa, baik gatra yang bersifat statis/alamiah (Tri Gatra), maupun gatra yang bersifat dinamis/sosial (Panca Gatra) .
ADVERTISEMENT
Secara garis besar, keamanan maritim mengandung lima esensi, yakni kepentingan nasional yang meliputi aspek kedaulatan dan hukum di laut, utilisasi atau pemanfaatan laut secara aman dan damai, penegakan hukum (law enforcement) baik hukum nasional sebuah negara maupun hukum internasional, peran aktif Indonesia dalam menjaga keamanan regional dan global, serta kerja sama aktif dari semua elemen bangsa. Kelima esensi keamanan maritim tersebut penting untuk diberikan atensi dalam menyikapi potensi ancaman di laut yang bersifat kompleks dan dinamis. Seperti yang sudah diulas di latar belakang, luasnya wilayah perairan Indonesia di satu sisi memberikan keuntungan, namun di sisi lain menghadirkan ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan. Secara umum, potensi AGHT di laut meliputi ancaman kekerasan (misal perompakan kapal niaga dan kapal tanker), ancaman terhadap sumber daya laut dan lingkungan (misal illegal fishing dan illegal logging), ancaman pelanggaran hukum, serta ancaman bahaya navigasi.
ADVERTISEMENT
Berbagai ancaman tersebut apabila tidak dipetakan dan direspons secara saksama, maka dapat berimplikasi negatif terhadap kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah NKRI. Persoalannya bagi Indonesia adalah kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki oleh Indonesia belum cukup kuat dan tangguh dalam mewujudkan keamanan maritim. Setidaknya ada dua permasalahan besar yang dihadapi, yakni belum solid dan terintegrasinya komitmen nasional sebagai bangsa maritim, serta kemampuan pengamanan wilayah maritim yang belum optimal. Lemahnya komitmen nasional sebagai bangsa maritim disebabkan oleh belum komprehensifnya pemahaman komponen bangsa mengenai konsep negara maritim dan negara berkekuatan maritim, serta kebijakan nasional di bidang maritim yang belum dijabarkan secara menyeluruh ke segenap lapisan masyarakat.
Belum optimalnya kemampuan pengamanan wilayah maritim, sebagai contoh, tercermin dari belum idealnya besaran anggaran pertahanan jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, terlebih lagi anggaran untuk matra Angkatan Laut (AL). Hal lainnya yang menjadi faktor penyebab adalah sinergi dan kolaborasi antar-institusi terkait yang belum benar-benar solid. Persoalan pengamanan wilayah maritim sejatinya bukan hanya tanggung jawab TNI (militer) saja, tapi juga kewenangan kementerian dan lembaga lainnya yang terkait, semisal KKP RI, Kemendag RI, Kemenperin RI, Kemenkumham RI, Polri, BIN, Bakamla, BUMN di bidang industri strategis, pemerintah daerah, meliputi pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, termasuk juga pihak swasta nasional, serta membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat.
Perairan Teluk Gembira Bangka Belitung (Foto Koleksi Pribadi Boy Anugerah / Author)