Konten dari Pengguna

Menanggulangi Paham Radikal di Masyarakat

Boy Anugerah
Tenaga Ahli Bidang Politik di DPR / MPR RI Alumnus Studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Konsultan Politik di Literasi Unggul Foundation
17 Februari 2021 7:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Boy Anugerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi aksi radikal. Foto: flickr
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi aksi radikal. Foto: flickr
ADVERTISEMENT
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Prof. Mahfud MD, menyatakan bahwa definisi radikalisme yang dipakai oleh pemerintah adalah merujuk pada UU. No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini beliau tegaskan menyusul adanya kontroversi pemahaman radikalisme di masyarakat. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut disebutkan bahwa radikalisme adalah tindakan melawan hukum untuk mengubah sistem, bukan secara gradual, melainkan secara radikal dengan menggunakan instrumen kekerasan. Dalam kaitannya dengan terorisme, maka radikalisme adalah suatu tindakan yang hendak mengubah sistem negara yang sudah disepakati dengan cara kekerasan.
ADVERTISEMENT
Radikalisme di Indonesia dapat ditelusuri melalui pendekatan historis. Radikalisme yang dicirikan melalui adanya gerakan radikal telah muncul sejak kemerdekaan Indonesia. Umumnya gerakan radikal yang eksis pada awal kemerdekaan adalah gerakan radikal berbasis agama. Gerakan yang dimaksud adalah Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau yang lazim disingkat sebagai DI/TII, serta Negara Islam Indonesia atau NII yang muncul pada dekade 1950-an. Munculnya gerakan radikal berbasis paham keagamaan tersebut dimotivasi oleh visi untuk menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara Indonesia. Sungguh pun begitu, radikalisme agama yang dilakukan oleh sekelompok Muslim tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang radikalisme.
Di era pasca reformasi yang ditandai oleh terbukanya kran demokratisasi, telah berkembang menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya kelompok Islam radikal. Dalam konstelasi politik Indonesia hari ini, masalah radikalisme Islam telah makin membesar karena pendukung gerakan ini juga semakin bertambah. Namun demikian, gerakan-gerakan radikal ini terkadang memiliki perbedaan pandangan dan tujuan, sehingga tidak memiliki pola yang homogen. Sebagai contoh, ada gerakan yang memperjuangkan implementasi syariat Islam, tapi tidak harus mendirikan negara Islam. Selain itu, pada dimensi yang lebih keras, ada juga kelompok yang dengan gigih hendak mewujudkan Khilafah Islamiyah.
ADVERTISEMENT
Gerakan radikal tidak hanya eksis di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Sebagian besar gerakan radikal tersebut muncul sebagai respons terhadap hegemoni Amerika Serikat. Sejauh ini, kita mengenal ada dua kekuatan radikal terbesar yang berhadapan dengan Amerika Serikat dan sekutunya, yakni Al-Qaeda yang didirikan oleh Osama bin Laden, serta ISIS yang didirikan oleh Abu Bakar Al-Baghdadi dengan pusatnya di Irak dan Suriah. Yang patut dicermati dari eksistensi kedua gerakan radikal tersebut adalah mereka tidak berdiri sendiri, melainkan bersifat transnasional. Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana ISIS pada awal pembentukannya menyerukan kepada Jihadis di seluruh dunia untuk datang dan berjuang bersama-sama ISIS di Irak dan Suriah.
Salah satu isu krusial yang dihadapi oleh Indonesia di awal tahun 2020 terkait radikalisme adalah rencana kepulangan WNI eks-ISIS ke Indonesia. Berdasarkan data dari Palang Merah Internasional dan CIA, terdapat 689 WNI yang berstatus sebagai Foreign Terrorist Fighters (FTF). Sedangkan sekitar 1.800 orang lainnya belum teridentifikasi. Tentu saja keinginan para WNI tersebut menimbulkan dilema bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Di satu sisi, pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Namun di sisi lain, ada potensi ancaman mengingat mereka adalah kelompok yang terlatih dan belum sepenuhnya bersih dari anasir radikalisme dan terorisme. Inilah yang berujung pada penolakan resmi pemerintah terhadap keinginan kembali mereka ke tanah air.
ADVERTISEMENT
Radikalisme telah menjadi isu serius yang harus ditangani oleh pemerintah dengan segera. Aksi radikal dan terorisme semakin hari terus mengalami peningkatan. Saat ini, kelompok-kelompok radikal telah berani menggunakan perempuan dan anak-anak dalam menjalankan teror. Tak hanya itu, sasaran mereka bukan hanya aparat kepolisian saja seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi sudah berani menyasar pejabat negara. Kasus penusukan Jenderal TNI (Purn) Wiranto oleh Abu Rara yang merupakan kelompok JAD jaringan Abu Zee adalah salah satu contohnya. Selain itu, gerakan radikal juga beroperasi di lingkungan pendidikan seperti universitas-universitas, serta lembaga negara dengan menyasar para aparat negara, baik TNI, Polri, maupun ASN.
Menyikapi kondisi ini, pemerintah mengambil beberapa tindakan penting. Seperti yang dinyatakan oleh Mahfud MD selaku Menkopolhukam RI, penanganan radikalisme akan dilakukan secara lintas kementerian. Sementara itu, Menteri Agama RI, Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, mengambil tindakan yang kurang populer, yakni dengan menyisir masjid-masjid dan memberikan peringatan kepada pengurus masjid apabila ada gerakan radikal yang beroperasi di lingkungan masjid tersebut. Selain itu, pemerintah di era Presiden Joko Widodo melakukan upaya pencegahan radikalisme dan terorisme di lingkungan aparatur negara dengan melakukan screening terhadap TNI, Polri, dan ASN, tentunya dengan menggunakan instrumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara etik dan ilmiah.
ADVERTISEMENT
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut tentu saja patut diapresiasi sebagai upaya untuk mewujudkan ketertiban masyarakat. Namun demikian, penanganan yang dilakukan harus bersifat komprehensif dan jangka panjang, serta dirumuskan dalam strategi besar. Tidak dimungkiri bahwa upaya-upaya yang sudah dilakukan belum optimal. Sudah ada kebijakan teknis yang dimiliki seperti deradikalisasi dan kontra-radikalisme. Akan tetapi implementasinya belum dilakukan secara komprehensif. Deradikalisasi misalnya, harus mencakupi aspek rehabilitasi religius, sosial dan psikologis, serta reintegrasi ke masyarakat. Ketiganya harus dipenuhi, tidak bisa dilakukan secara parsial saja.
Dengan merujuk pada berbagai permasalahan tersebut, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah: “Bagaimana menanggulangi paham radikal secara optimal guna mewujudkan ketertiban masyarakat?” Untuk merespons permasalahan tersebut, beberapa pertanyaan yang harus dijawab melalui kebijakan yang nyata adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana melakukan penguatan pemahaman nilai-nilai Pancasila yang dilakukan secara struktural oleh berbagai lembaga negara?; (2) Bagaimana melakukan penguatan literasi digital di masyarakat?; serta (3) Bagaimana mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai upaya komprehensif dalam memutus akar permasalahan radikalisme di Indonesia? Ketiga pertanyaan mendasar tersebut akan dijawab secara komprehensif pada bagian pembahasan.
ADVERTISEMENT

Kerangka Teoretis

Dalam menanggulangi radikalisme dan terorisme yang kian menguat di Indonesia, pendekatan yang dapat digunakan, baik oleh pemerintah, maupun masyarakat Indonesia adalah pendekatan kewaspadaan nasional. Kewaspadaan nasional sendiri didefinisikan sebagai suatu kualitas kesiapsiagaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk mendeteksi, mengantisipasi sejak dini, serta melakukan aksi pencegahan terhadap berbagai bentuk dan sifat potensi ancaman terhadap NKRI. Kewaspadaan nasional juga dapat diartikan sebagai sikap dalam hubungannya dengan nasionalisme yang dibangun dari rasa peduli dan tanggung jawab seorang warga negara terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dari suatu ancaman.

Pembahasan

Dengan berpijak pada pendekatan kewaspadaan nasional tersebut, maka upaya pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam memerangi radikalisme, termasuk di dalamnya terorisme, seyogianya bersifat mitigatif dan jangka panjang. Ada tiga upaya yang bisa dilakukan, yakni penguatan pemahaman nilai Pancasila yang dilakukan secara struktural oleh lembaga negara, penguatan literasi digital di masyarakat, serta upaya untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang mana kemiskinan dan ketimpangan sosial merupakan akar masalah dari munculnya radikalisme dan terorisme itu sendiri. Penjelasan secara mendetil mengenai ketiga langkah tersebut sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
a. Penguatan Pemahaman Nilai Pancasila Yang Dilakukan Secara Struktural Oleh Lembaga Negara
Apabila kita merujuk kembali kepada sejarah perjuangan bangsa Indonesia di masa lampau, maka tidak dimungkiri bahwa tidak ada keraguan terhadap Pancasila sebagai ideologi yang paripurna dan paling relevan dengan corak keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia. Berbagai upaya untuk meruntuhkan kedaulatan RI pada masa awal kemerdekaan seperti pemberontakan DI/TII dan NII, RMS, Permesta, hingga pemberontakan PKI pada 1948 dan 1965, semuanya dapat ditumpas karena resiliensi atau ketangguhan yang dimiliki oleh Pancasila sendiri sebagai dasar negara. Pancasila semakin kukuh eksistensinya, baik sebagai dasar negara, maupun dasar filsafat kebangsaan.
Dewasa ini, Pemerintah Indonesia sangat menyadari bahwa dibutuhkan peran serta lembaga negara secara struktural dalam mendiseminasikan nilai-nilai Pancasila di masyarakat, sebagai sarana mitigatif terhadap berkembangnya radikalisme dan terorisme. Majelis Permusyawaratan Rakyat RI misalnya, secara konsisten menjalakan sosialisasi empat pilar kebangsaan ke berbagai lapisan masyarakat. Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI), secara gigih menjalankan program pemantapan nilai-nilai kebangsaan yang menyasar berbagai komponen masyarakat. Bahkan untuk menyinergikan berbagai upaya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2018 tentang BPIP.
ADVERTISEMENT
b. Penguatan Literasi Digital di Masyarakat Guna Mencegah Radikalisme Melalui Media Sosial
Di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini, penggunaan media sosial oleh masyarakat telah semakin masif. Masyarakat memiliki kemudahan untuk mengakses berbagai informasi melalui internet di mana saja dan kapan saja. Hanya saja sangat disayangkan, di tengah kemajuan teknologi yang semakin pesat, penggunaan media sosial justru digunakan untuk menyebar kebencian atas nama kelompok, golongan, suku, dan agama tertentu. Inilah yang menjadi bahan bakar menguatnya aksi-aksi radikalisme dan terorisme di masyarakat. Hal ini koinsiden dengan kondisi masyarakat Indonesia sendiri yang belum memiliki literasi digital yang baik. Masyarakat sangat mudah terprovokasi untuk bertindak reaktif dan reaksioner dalam menyikapi berbagai provokasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, penguatan literasi digital mutlak dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi radikalisme dan terorisme. Sedikitnya ada lima hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Pertama, diadopsinya program literasi digital ke dalam kurikulum pendidikan. Kedua, pelaksanaan program literasi digital yang dilakukan secara lintas sektor. Ketiga, dibutuhkan basis data digital secara nasional sebagai panduan pelaksanaan program. Keempat, program literasi digital harus didampingi oleh penegakan hukum yang kuat oleh pemerintah. Terakhir, dibutuhkan penguatan dan penghayatan nilai-nilai Pancasila yang secara simultan diintroduksi ke berbagai jenjang pendidikan yang menjalankan program literasi digital.
c. Mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Munculnya gerakan radikalisme dan teorisme di tanah air tidak semata-mata didorong oleh hasrat untuk mendirikan sebuah tatanan pemerintahan yang berbeda saja, tapi mayoritas didominasi oleh faktor ekonomi atau kesejahteraan. Inilah yang menjadi faktor fundamental mengapa begitu banyak gerakan radikal yang eksis. Munculnya gerakan separatisme di Aceh dan Papua misalnya, terjadi karena masyarakat di kedua wilayah tersebut merasa dimarjinalkan hak-hak sosial, politik, dan ekonominya pada masa orde baru. Kebijakan sentralisasi pemerintah mengakibatkan kekayaan sumber daya alam di kedua wilayah tidak dapat dinikmati oleh warga lokal, karena diangkut ke level pusat oleh pemerintah untuk mendorong pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
Eksodus sebagian besar warga dunia ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan ISIS, juga lebih banyak didominasi oleh keinginan untuk memperbaiki taraf hidup agar lebih baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa upaya penanganan radikalisme harus segaris dengan upaya untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga negara. Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat terwujud apabila pemerintah menerapkan kebijakan sosial dan ekonomi yang bersifat konstitusional. Artinya, kebijakan yang diambil harus sesuai dengan konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD NRI 1945 yang mana sumber kekayaan alam harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Penutup

Simpulan: Radikalisme merupakan tindakan yang menginginkan pergantian sistem negara dengan sistem lain, melalui cara-cara yang tidak konstitusional dan menggunakan instrumen kekerasan. Radikalisme di Indonesia sudah eksis sejak awal kemerdekaan dengan adanya gerakan-gerakan separatis seperti DI/TII dan NII, hingga pemberontakan PKI pada 1948 dan 1965. Dewasa ini, aksi-aksi radikalisme dan terorisme semakin masif seiring dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi: Berpijak pada pendekatan kewaspadaan nasional yang lebih menekankan pada aspek mitigatif, setidaknya ada tiga upaya yang dapat ditempuh oleh pemerintah untuk menanggulangi radikalisme. Pertama, penguatan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan dasar filsafat yang dilakukan secara struktural oleh berbagai lembaga negara. Kedua, penguatan literasi digital di masyarakat untuk menangani penyebaran radikalisme melalui media sosial. Ketiga, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang mana kemiskinan dan ketimpangan sosial menjadi akar permasalahannya.