Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Kontribusi PPN 12 Persen dalam Redistribusi Kesehatan di Indonesia
20 Februari 2025 15:15 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Bryan Rizki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pernahkah terpintas dibenak Anda bahwa PPN bisa menjadi alternatif redistribusi kesehatan di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Dulu, ada sebuah pertanyaan yang sering mengusik pikiran saya yaitu, Apakah sektor kesehatan mutlak tidak bisa disentuh oleh pajak?, Ternyata, di sektor kesehatan terdapat peluang yang bisa dimaksimalkan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan. Sebut saja kelas VVIP atau Very Very Important Person yang memiliki segudang fasilitas mewah, seperti Ruangan ekslusif, satu ruang satu pasien, satu kamar tidur pasien, termasuk fasilitas untuk penunggu pasien dan aneka fasilitas mewah lainnya.
ADVERTISEMENT
Nah, mari kita bahas secara mendasar terlebih dahulu. Saat ini, pemerintah sedang melakukan upaya untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih progresif dan berkeadilan atau bisa juga disebut lebih inklusif dan efisien. Pemerintah telah menetapkan kebijakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap penjualan barang pada jasa kesehatan premium atau mewah.
Kebijakan ini merupakan implementasi dari Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang telah mengalami perubahan beberapa kali, terakhir dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menurut UU HPP, jasa kesehatan umum yang bersifat esensial, seperti layanan kesehatan yang diberikan oleh puskesmas, rumah sakit pemerintah, serta fasilitas kesehatan yang menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS, tetap dikecualikan dari pengenaan PPN.
ADVERTISEMENT
Namun, berdasarkan PMK nomor 11 Tahun 2025 tentang Ketentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak dan Besaran Tertentu Pajak Pertambahan Nilai, layanan kesehatan mewah seperti perawatan di kelas VIP dan VVIP yang dilengkapi fasilitas peralatan premium kini terkena tarif PPN sebesar 12% mulai tahun 2025. Hal ini dikarenakan, pada layanan VIP dan VVIP terdapat alat alat kesehatan yang premium dan Obat-obatan non-esensial yang tidak ditanggung JKN.
Hal ini mirip dengan penerapan pengenaan pajak pada pasien yang rawat jalan dan pasien yang melakukan rawat inap. Bagi pasien rawat jalan, penjualan obat-obatan kepada pasien akan dikenakan PPN sesuai ketentuan perpajakan usaha apotek. Sedangkan untuk pasien rawat inap tidak dikenakan PPN karena merupakan bagian dari jasa pelayanan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa saja sih perbedaan fasilitas yang didapatkan di kamar kelas VVIP dengan kamar kelas III? Berdasarkan data yang dikutip dari situs Alodokter.com, tarif kamar rawat inap kelas VVIP di Rumah Sakit EMC Tangerang dapat mencapai Rp1.695.000 per hari, dengan fasilitas lengkap seperti Ruangan ber AC, TV LED, Kulkas, Kamar mandi dalam, Teko listrik, Mini Pantry, Microwave, dan Lemari pakaian. Sementara itu, tarif kamar kelas III di rumah sakit yang sama hanya sekitar Rp320.000 per hari dengan fasilitas standar, seperti Ruangan ber AC, TV LED, Bedsite kabinet untuk setiap tempat tidur, dan Kamar mandi dalam (sharing). Berdasarkan hal ini, konsumen kelas VVIP diasumsikan dapat menanggung beban yang lebih besar dibandingkan dengan kelas kamar di bawahnya.
ADVERTISEMENT
Pengenaan PPN atas fasilitas peralatan kesehatan mewah juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, yang kemudian akan digunakan untuk mendanai program prioritas kesehatan masyarakat, seperti percepatan penurunan angka stunting, pengendalian penyakit menular, serta peningkatan akses kesehatan melalui JKN.
Namun, upaya pemerintah ini ternyata masih dinilai kurang optimal. Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) mengingatkan pentingnya definisi yang jelas terkait layanan kesehatan premium yang dikenakan PPN. Mereka juga menekankan perlunya kajian mendalam dari aspek etika dan Hak Asasi Manusia (HAM), mengingat PPN ini diterapkan pada layanan yang berkaitan dengan kesehatan seseorang. Dalam beberapa kasus, pasien yang berobat melalui BPJS Kesehatan dan memilih naik kelas ke VIP atau VVIP bisa saja merasa terbebani dengan kebijakan ini. Walaupun, selama pandemi Covid-19, pemerintah juga memberikan fasilitas pembebasan PPN dan bea masuk untuk impor alat kesehatan guna mendukung penanganan pandemi, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 34/PMK.04/2020.
ADVERTISEMENT
Jadi kesimpulannya, pengenaan pajak pada fasilitas peralatan kesehatan mewah merupakan hal yang positif dan achievable. Namun, pemerintah juga harus berhati-hati dalam menerapkan kebijakan PPN 12% pada sektor kesehatan yang merupakan hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh sebab itu, harapan penulis tentang kebijakan PPN terhadap fasilitas jasa kesehatan mewah ini dapat terus dievaluasi agar tetap sejalan dengan prinsip keadilan dan tidak menimbulkan beban berlebih bagi masyarakat. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa tarif pajak yang diterapkan tidak memberatkan, serta mensosialisasikan kebijakan ini dengan baik kepada seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dilakukan agar penerapan PPN pada layanan kesehatan mewah atau premium benar-benar dapat memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional tanpa mengorbankan hak dasar masyarakat atas layanan kesehatan yang layak dan terjangkau.
ADVERTISEMENT