Konten dari Pengguna

Satwa dan Nasionalisme Indonesia

Budi Gustaman
Dosen Departemen Sejarah dan Filologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran
25 Januari 2025 9:56 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Budi Gustaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petani membajak sawah menggunakan kerbau di Desa Darmaraja, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Foto: ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
zoom-in-whitePerbesar
Petani membajak sawah menggunakan kerbau di Desa Darmaraja, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Foto: ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 17 Agustus, nuansa nasionalisme begitu kental dengan berbagai simbol yang merepresentasikan ke-Indonesiaan. Mulai dari bendera merah putih, alunan lagu perjuangan hingga visualisasi burung garuda kerap hadir pada ornamen dekorasi bernuansa nasionalisme. Khusus lambang Garuda, nyatanya selalu hadir dalam keseharian masyarakat, baik di muka ruangan yang bernuansa formal ataupun di dada para atlet Indonesia yang bertarung di arena internasional sehingga memunculkan seruan “garuda di dadaku”.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi secara historis, burung Garuda adalah bentuk konsensus para pendiri bangsa yang masih dalam proses pencarian identitas yang konkret, sejak Indonesia diproklamirkan pada tahun 1945.
Sang perancang, Sultan Hamid II, beserta Muhammad Yamin dan Soekarno yang memiliki andil dalam perumusan, mengambil filosofi Garuda sebagai representasi dari kegagahan, keberanian, dan pengorbanan – yang diadopsi dari kisah Garuda sebagai kendaraan Dewa Wisnu dan pemelihara alam semesta dalam kitab Mahabharata.
Sejatinya, sebelum burung Garuda lahir sebagai lambang negara, masyarakat Indonesia secara kultural dan politis, menjadikan kerbau dan banteng sebagai representasi tentang identitas ke-Indonesiaan.
Kerbau dan Budaya Agraris
Kerbau yang erat kaitannya dengan kehidupan agraris adalah hewan yang 'merakyat' dan vital bagi para petani. Berdasarkan catatan perjalanan seorang berkebangsaan Inggris bernama Harriett Winifred Ponder – dalam buku Java Pageant (1942) – kerbau banyak dibudidayakan dalam jumlah besar di Jawa, kemudian diperlakukan dengan sangat baik sebagai sesuatu yang bernilai.
Petani membajak sawah menggunakan kerbau di Desa Darmaraja, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Foto: ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Pemaknaan tentang signifikansi kerbau juga hadir di beberapa daerah. Masyarakat Aceh memiliki kepercayaan terhadap keubeu jagat atau kerbau albino yang dianggap suci. Pun dengan kepercayaan tentang kebo bule di Keraton Surakarta yang masih dipelihara hingga sekarang. Bahkan, dalam masyarakat Minang, kerbau adalah bagian penting dari narasi tentang sejarah dan asal usulnya, hingga secara kultural simbol-simbol kerbau diimplementasikan dalam arsitektur rumah dan pakaian adat.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks lainnya, kerbau diadopsi sebagai nama bagi orang-orang terhormat. Raffles dalam The History of Java (1817) menarasikan bahwa penyebutan munding dan mahisa di wilayah Sunda, serta maisa, kebo, dan lembu pada masyarakat Jawa, adalah sebutan yang diperuntukkan untuk seorang raja atau pangeran. Untuk itu, dikenal lah nama-nama, seperti Munding sari, Maisa lalean, Mudinglaya, Lembu sora, Lembu peteng, dan lainnya.
Kerbau sebagai Representasi Pribumi
Dalam karya monumental, Max Havelaar (1860), terdapat suatu segmen cerita tentang para petani yang tiba-tiba diserang oleh seekor harimau, yang kemudian seekor kerbau tampil sebagai sosok pahlawan yang mengalahkan sang harimau. Multatuli menarasikan hal ini cukup heroik.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, plot kecil harimau versus kerbau dalam Max Havelaar mencerminkan realitas yang besar tentang pertarungan antara pribumi dan kolonialisme. Dalam budaya Jawa, kerbau dan harimau adalah dua makna yang bertentangan. Pemaknaan ini menjadi semacam 'tren' pada abad ke-19, seiring dengan populernya penyelenggaraan rampok macan atau rampogan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, serta merambah ke beberapa kabupaten di Jawa Timur. Rampok macan adalah rangkaian pertarungan antara kerbau melawan harimau, kemudian dilanjutkan dengan menombak harimau sampai mati oleh para prajurit bertombak. Raffles menyebutkan bahwa rampok macan adalah tontonan ‘nasional’ yang paling banyak disenangi, meski penyelenggaraannya penuh dengan 'keberpihakan'.
Robert Wessing dalam A Tiger in the Heart: The Javanese Rampok Macan (1992) menarasikan tentang kerbau yang sering menjadi pemenang dibandingkan harimau. Penombak selalu bersiap menghalau harimau jika kerbau tersudutkan. Selain itu, kerbau yang terluka biasanya diganti dengan kerbau yang lebih segar, serta selalu disiram air mendidih dan jelantang untuk membuatnya buas. Kesimpulannya, kerbau harus selalu menang melawan harimau.
ADVERTISEMENT
Tendensi tersebut tidak lepas dari pemaknaan orang Jawa bahwa kerbau merepresentasikan diri mereka sendiri sebagai orang Jawa yang tertindas tetapi bisa melawan, sedangkan harimau mencerminkan orang Belanda yang dianggap ‘buas’. Kemunculan pemaknaan ini tidak lepas dari intervensi kolonial yang semakin kuat terhadap kekuasaan Jawa. Menariknya, rampok macan terkadang selalu dihadirkan dalam penyambutan tamu asing di istana, seperti yang digambarkan Peter Carey tentang penyambutan utusan Belanda, Jacob Andries van Braam di Keraton Surakarta pada Oktober 1808. Seperti yang dikutip dari buku Kuasa Ramalan (2011), pertarungan tersebut dianggap sebagai penghormatan oleh utusan Belanda, meski makna sesungguhnya cenderung sebaliknya.
Dalam konteks yang lebih luas, harimau dimaknai sebagai dorongan-dorongan yang kuat atau nafsu yang berasal dari dasar hati manusia, sedangkan kerbau memiliki makna yang menunjukkan idealisme masyarakat Jawa tentang kesetiaan dan penguasaan diri. Simbol keduanya terlihat dalam kayon atau gunungan wayang, yang menggambarkan harimau dan kerbau berdiri sejajar di atas sebuah pondok kecil di bawah pohon di Gunung Meru. Hal tersebut memiliki filosofi bahwa kedamaian hati manusia akan dicapai jika emosi dapat diseimbangkan dan dikendalikan.
ADVERTISEMENT
Visualisasi tentang kebuasan harimau umumnya selalu menjadi objek dalam lukisan-lukisan Raden Saleh. Banyak tafsiran bahwa lukisan-lukisan Raden Saleh yang berjudul “Antara Hidup dan Mati”, “Antara Harimau dan Kerbau”, “Dua Ekor Singa Melawan Seekor Banteng”, “Harimau dan Mangsanya”, “Para Pemburu Bedoin Berkuda Diterkam Singa” - merupakan simbolisasi terhadap pergulatan antara pribumi dan Eropa.
Kerbau, Banteng dan Anti-Kolonialisme
Bambang Purwanto dalam tulisannya berjudul “Memahami Kembali Nasionalisme Indonesia” (2001), menjelaskan bahwa nasionalisme Indonesia merupakan nilai-nilai yang diformulasikan sebagai antitesa terhadap kolonialisme Belanda. Dalam hal ini, kerbau menjadi salah satu simbol perlawanan yang dimunculkan secara politis dalam gerakan para intelektual di dalam dan luar negeri.
Di luar negeri, gerakan mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Belanda-yang tergabung dalam Perhimpoenan Indonesia (PI) - menjadikan bendera merah putih dengan lambang kepala kerbau di tengahnya sebagai lambang perkumpulan. Harry Poeze dalam buku Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (2014) menarasikan tentang makna 'sakral' bendera tersebut bagi para intelektual, baik dalam perjalanan akademis maupun dalam diskusi-diskusi politik. Munculnya kepala kerbau sebagai bagian dari PI berbanding lurus dengan gerakannya yang lebih radikal, dengan seruan-seruan kemerdekaan yang kerap disuarakan dalam media pergerakan, seperti Hindia Poetra, Indonesia Merdeka, dan Oedaya.
ADVERTISEMENT
Perlawanan yang disimbolkan dalam moncong dan tanduk tersebut kemudian mendapat warna baru dengan transformasi simbolik dari kerbau menjadi banteng. Hal ini tercermin dari lambang Serikat Islam sejak 1917, yang memunculkan bulan bintang, matahari terbit, keris, timbangan, hati, kemudi kapal, dan gambar lelaki Jawa (Cokroaminoto). Nampaknya, banteng dianggap lebih liar dan “revolusioner”.
Banteng pun kemudian sangat identik dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno pada 1917. Dikabarkan bahwa Soekarno terlebih dahulu meminta izin kepada gurunya, Cokroaminoto untuk memasukkan unsur banteng pada lambang PNI. Cokro pun setuju sehingga kemudian kepala banteng pun kerap menghiasi rapat-rapat pemuda. Robert Elson dalam buku The Idea of Indonesia (2008) menyebutkan bahwa pada pendirian Jong Indonesia di Bandung pada 1927, di segala penjuru ruang pertemuan bertebaran warna merah-putih dan lambang kepala banteng.
Presiden pertama Soekarno. Foto: AFP
Secara umum, pengadopsian simbol satwa mulai kerbau, banteng, hingga garuda pada dasarnya merupakan bagian dari pencarian tentang identitas ke-Indonesiaan. Pemaknaan kerbau yang muncul pada abad ke-19, serta banteng yang muncul pada awal abad ke-20 adalah bentuk perlawanan simbolik terhadap kolonialisme. Pada akhirnya, banteng pun menjadi bagian dari sila yang terpampang pada dada Garuda, yakni sila ke-4 Pancasila yang bermakna demokrasi, musyawarah, dan mufakat. Nampaknya, sifat banteng atau kerbau yang suka berkumpul, dimaknai sebagai harapan bagi terciptanya tatanan masyarakat yang suka musyawarah bagi terciptanya kerukunan antar sesama.
ADVERTISEMENT