Melawan 'Serampah' di Tanah Asmat

Bukan Remahan Rengginang
Kisah Orang Muda di Istana. Link untuk mengunduh e-book 'Bukan Remahan Rengginang': http://ksp.go.id/unduh-buku/
Konten dari Pengguna
8 Oktober 2019 11:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bukan Remahan Rengginang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kedeputian II Foto: Bukan Remahan Rengginang
zoom-in-whitePerbesar
Kedeputian II Foto: Bukan Remahan Rengginang
ADVERTISEMENT
Hari itu panas dan lembap. Bau rawa yang tengik terasa pekat dan memabukkan. 18 hari setelah tahun baru 2018, saya berada di tempat terbuka di tengah-tengah kampung As-Atat, di Distrik Pulau Tiga Kabupaten Asmat. Suasana duka mengepung udara. Kematian datang beruntun karena wabah campak.
ADVERTISEMENT
“Tolong sampaikan kepada Bapak Jokowi agar tolong kami,” kata Imagoreti. Dia menatap saya dengan pandangan putus asa. Tak kuasa saya membalas tatapannya yang penuh duka. Salah seorang anggota keluarga perempuan muda ini adalah korban wabah campak.
Serampah–istilah setempat untuk campak—begitu cepat merenggut nyawa anak-anak di Kampung As-Atat. Kondisi geografis sulit, petugas di pusat kesehatan absen, tiada kendaraan buat mengantar anak-anak ke pos kesehatan lain, dan obat tak tersedia. “Akhirnya kemarin banyak yang mati. Saya mau bantu tapi saya tidak sekolah. Saya tamat SD saja,” kata Melania Basin, seorang kader kesehatan
Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah campak dan gizi buruk melanda Kabupaten Asmat, sepanjang Desember 2017 - Februari 2018. Wabah yang disebabkan penyebaran virus ini merenggut setidaknya 72 nyawa anak Asmat. Total, 650-an orang yang terkena campak di Asmat pada rentang tiga bulan itu. Kombinasi antara cakupan imunisasi yang rendah dan gizi buruk membuat komunitas itu rentan campak.
ADVERTISEMENT
Ini tragedi besar. Sebulan sebelum wabah bermula, Presiden Joko Widodo meneken Instruksi Presiden 9/2017 mengenai percepatan pembangunan kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Laporan korban wabah segera diteruskan ke Istana.
Sebagai anggota tim kesehatan, saya ditugaskan menyusun memo untuk Kepala Staf Kepresidenan. Belum lagi memo selesai, Deputi II Yanuar Nugroho dan Deputi V Jaleswari Pramodhawardani mendadak menugaskan saya dan senior saya Bimo Wijayanto ke Asmat. Kami harus menyaksikan dan menyerap situasi lapangan secara langsung.
Theresia Sri Menda Foto: Dok: Bukan Remahan Rengginang.
Kami berangkat ke Asmat dengan persiapan terbatas. Penerbangan dari Jakarta sampai ke Timika memakan waktu hampir 10 jam termasuk transit di Makassar. Dari Timika ke Ewer, kami naik pesawat capung sekitar 45 menit. Saat tiba di Agats, sekitar satu jam naik speedboat dari Ewer, saya tertegun dengan suasananya. Kota Agats dibangun di atas rawa-rawa. Bangunan, rumah, jalanan, semua didirikan di atas panggung. Fasilitas higiene, sanitasi permukiman, tak memadai.
ADVERTISEMENT
“Cepat sekali datang dari Jakarta,” kata Bupati Asmat, Elisa Kambu, yang memimpin rapat pertama Satuan Tugas penanganan KLB Campak dan Gizi Buruk.
Hati saya serasa tertusuk ketika ia bertanya, “Apakah nanti sore sudah akan kembali ke Jakarta?” Sepertinya kebiasaan pejabat yang langsung kembali ke Jakarta setelah melihat-lihat dan memfoto-foto telah menorehkan trauma di sana. “Kami akan di sini sampai satgas sudah punya rencana kerja ke depan. Rencana kerja ini yang kami akan bawa ke Jakarta,” kata saya.
Dari Agats, saya memutuskan untuk mengunjungi kampung As-Atat. Antara Agats dan As-Atat harusnya dapat ditempuh dalam 6-8 jam. Namun, kami membutuhkan lebih dari 8 jam karena speedboat kami sempat tersesat.
ADVERTISEMENT
Menembus belantara pekat lebih dalam, saya yang dipanggil “Kaki tangan Bapak Jokowi” merasa sangat tidak berdaya di hadapan wajah-wajah warga kampung As-Atat. Air mata tidak terbendung ketika saya berkeliling kampung dan menemukan lebih banyak keluarga yang jatuh sakit. Bahkan ada keluarga yang tiga dari empat anaknya terkena gizi buruk dan campak. Sungguh, fakta yang menyakitkan.
Saya sudah tinggal di luar negeri sejak umur 14 tahun, di Singapura, Jepang, Inggris, untuk studi dan berkarir. Pada 2016, saya kembali ke Indonesia dan bergabung dengan Kantor Staf Presiden. Saya ingin membantu mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Sekarang saya melihat sendiri, Asmat bukanlah gambaran tentang negeri indah yang saya dapatkan di bangku kuliah dan karier di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Sampai di Jakarta, saya melengkapi draft memo. Saya tuangkan pemahaman saya yang baru dan yang lebih dalam mengenai kehidupan masyarakat Asmat.
Semua ini membuat saya berpikir bahwa memahami persoalan masyarakat Asmat tidak cukup dari Jakarta. Yang mengerti Asmat adalah masyarakat Asmat sendiri. Memang ada masalah koordinasi dan pembagian tugas untuk mengatasi persoalan. Namun yang terpenting adalah penegasan bahwa relokasi bukanlah jawaban. Mereka menjunjung tinggi tanah yang menjadi tempat tinggal. Memindahkan masyarakat dari tanah leluhur akan menjadi bumerang dan berpotensi memicu perang suku.
Kesimpulan ini saya tuliskan bersama dengan tim dalam memo yang disambut baik oleh Deputi dan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko. Kini, saya semakin terlibat dalam koordinasi lintas kementerian, lembaga, dan daerah. Presiden akhirnya memanggil Gubernur Papua, Lukas Enembe dan Bupati Asmat, Elisa Kambu, ke Jakarta pada 23 Januari 2018.
ADVERTISEMENT
Saya tidak bisa berhenti. Tidak terhitung malam-malam tanpa tidur untuk memastikan data dan informasi akurat. Saya berusaha keras agar seluruh materi tersusun rapi dan mudah dipahami para pengambil keputusan.
Akhirnya wabah itu berakhir. Pada 5 Februari 2018, Bupati Asmat mencabut status KLB. Menghela nafas lega, saya haturkan doa semoga wabah campak tidak singgah lagi di Asmat. Keadaan sudah sangat membaik. Pada 12 April 2018, Presiden Joko Widodo berkunjung ke Asmat.
Saya bangga atas perjuangan bersama melawan campak di tanah Asmat. Saya mencatat dalam hati, bahwa dalam memahami persoalan lokal, tidak ada yang lebih baik daripada meminjam mata dan hati orang lokal.