6 Poin Desakan AlDP Usai Penyerangan Tenaga Kesehatan di Kiwirok Papua

Konten Media Partner
20 September 2021 10:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tenaga kesehatan (nakes) di Oksibil, Pegunungan Bintang turun ke jalan usai penyerangan nakes di Kiwirok. (Dok Polres Pegubin)
zoom-in-whitePerbesar
Tenaga kesehatan (nakes) di Oksibil, Pegunungan Bintang turun ke jalan usai penyerangan nakes di Kiwirok. (Dok Polres Pegubin)
ADVERTISEMENT
Jayapura, BUMIPAPUA.COM- Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) mengeluarkan 6 poin pernyataan usai sejumlah kekerasan yang terjadi di Bumi Papua.
ADVERTISEMENT
AlDP mencatat sepanjang September 2020 hingga September 2021, sejumlah kekerasan terhadap warga sipil masih terjadi, di antaranya penyiksaan dan pembunuhan di luar hukum terhadap Pendeta Yeremias Zanambani dan rangkaian peristiwa lainnya di Intan Jaya, Nduga, Yahukimo, Puncak dan Timika.
Sedangkan pada tahun ini, peristiwa yang sangat mengenaskan masih terjadi di Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Nduga dan Pegunungan Bintang.
Peristiwa yang baru saja terjadi pada Senin (13/9), sebanyak 9 orang nakes yang bertugas di Puskesmas Kiwirok Pegunungan Bintang mengalami penyiksaan dan satu orang meningal dunia yakni Suster Gabriella Meilani (22).
Direktur AlDP, Latifah Anum Siregar menyebutkan para nakes mengalami penderitaan luar biasa, sebelum akhirnya meninggal dunia.
“Mereka (nakes) juga menyimpan trauma bagi mereka yang selamat termasuk keluarga mereka bahkan mungkin akan mengalami gangguan stress pasca trauma atau PTSD (post-traumatic stress disorder). Rangkaian tragedi kemanusiaan ini mengoyak-ngoyak akal sehat dan hati nurani kita,” katanya dalam siaran pers yang dikirimkan ke BumiPapua.com, Senin (20/9).
ADVERTISEMENT

Tuduhan Mata-mata

Evakuasi nakes dari Kiwirok, Pegunungan Bintang ke Jayapura. (Dok istimewa)
Sejumlah peristiwa di atas dari rangkaian aksi kekerasan yang telah mengorbankan masyarakat sipil setidaknya sepanjang 3 tahun terakhir. Ketika terjadi pergeseran dan perluasan aksi, berimplikasi pada meluasnya target.
“Masyarakat sipil menjadi target atas tuduhan sebagai mata-mata TNI Polri atau sebaliknya sebagai mata-mata Tentara Pembebasan Nasional Papua Merdeka (TPNPB). Bahkan aksi kekerasan menyisir siapapun dari mereka yang mengabdikan diri mereka dengan sungguh-sungguh di tempat-tempat terpencil,” jelas Anum.
Meluasnya korban dari masyarakat sipil juga dikarenakan ruang gerak dan ruang perang di antara para pihak (TNI/Polri dan TPNPB) cenderung dilakukan di ruang publik, tempat masyarakat sipil hidup, tinggal dan beraktivitas sehari-hari.
Padahal di tempat-tempat terpencil seperti itu pada situasi yang tanpa perang sekalipun, mereka bagian dari kelompok yang tidak berdaya karena keterbatasan akses dan fasilitas untuk pemenuhan hak-hak dasar.
ADVERTISEMENT
Aksi kekerasan juga berimplikasi pada meluasnya korban masyarakat sipil karena mereka terpaksa meninggalkan kampung, kebun dan ternak mereka untuk mencari perlindungan dengan cara mereka sendiri.
Evakuasi nakes dari Kiwirok, Pegunungan Bintang ke Jayapura. (Dok istimewa)
“Arus pengungsian yang terus mengalir mengindikasikan tidak ada yang dapat dipercaya untuk menjamin keselamatan dan pemenuhan kebutuhan dasar mereka, termasuk ketika mereka hidup di pengungsian,” jelasnya.
Di belahan dunia manapun dalam perspektif hukum dan etis(moral), masyarakat sipil haruslah diperlakukan adil dan setara. Apapun kepentingan politik yang dianut (ideologi ataupun politik lokal) oleh negara atau kelompok tertentu harus dapat melindungi minoritas (karena agama dan suku atau minoritas dari aspek sumber daya ekonomi, sosial dan kemampuan melindungi diri) dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
“Kekerasan yang mengorbankan masyarakat sipil karena kepentingan politik yang berbeda merupakan kejahatan HAM yang sangat serius dan tidak dapat ditoleransi, siapapun pelakunya apakah atas nama negara ataukah atas nama kelompok tertentu,” katanya.
ADVERTISEMENT
Kegagalan kita untuk menghentikan kekerasan adalah ketika pendekatan keamanan menjadi satu-satunya pilihan untuk mengatasi konflik di Papua dan di saat yang sama para elit pemerintahan lainnya di berbagai tingkatan (kabupaten, provinsi dan pusat) bersikap pasif bahkan mengabaikan kapasitas atau sumber daya lainnya yang dimiliki serta lemahnya konsolidasi diantara masyarakat sipil dan masih adanya perspektif yang berbeda terkait HAM.
Apalagi jika aksi kekerasan yang satu seolah dianggap dapat dibarter dengan aksi kekerasan lainnya dan berkembangnya informasi atau kesimpulan berdasarkan stigma dan prejudice, tanpa bukti yang dapat diverifikasi. Hal ini sama artinya dengan membiarkan (memelihara) kekerasan tumbuh subur diantara kita (siklus kekerasan-violence cycle) dimana masyarakat sipil terus dikorbankan.
Tenaga kesehatan (nakes) di Oksibil, Pegunungan Bintang turun ke jalan usai penyerangan nakes di Kiwirok. (Dok Polres Pegubin)
Oleh karenanya, AlDP mendesak :
ADVERTISEMENT
1. Para pihak yang menggunakan kekuatan bersenjata yakni TNI/POLRI dan TPNPB menghentikan aksi kekerasan karena telah mengorbankan masyarakat sipil di manapun berada dengan berbagai latar belakang (penduduk setempat) ataupun profesi lainnya yang telah berkomitmen dengan sungguh-sungguh menjalankan tugasnya di tanah Papua;
2. Aparat keamanan dan aparat penegak hukum yang melakukan pengejaran dan penegakan hukum terhadap pelaku, mengedepankan sikap yang profesional dan terukur agar tidak menyebabkan masyarakat sipil makin terdesak, distigma atau menjadi korban berikutnya;
3. Pemerintah memberikan perlindungan terhadap masyarakat sipil secara khusus kepada tokoh agama, para guru dan tenaga medis yang menjadi ujung tombak dari pelayanan hak-hak dasar masyarakat di daerah-daerah terpencil. Sejalan dengan itu, pemerintahan sipil di provinsi terutama di kabupaten hadir, menjalankan tugas dan tanggung jawabnya serta mengambil inisiatif dengan melibatkan para tokoh masyarakat guna pemenuhan hak korban termasuk penanganan terhadap pengungsi sesuai kebutuhannya;
ADVERTISEMENT
4. Dilakukan investigasi independen yang melibatkan pemerintah (Komnas HAM) dan masyarakat secara proporsional dan imparsial guna mengungkapkan fakta yang sebenarnya terkait peristiwa 13 September 2021 di Kiwirok Pegunungan Bintang dan tempat lainnya di tanah Papua yakni Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, Timika, Puncak dan Maybrat dan pemenuhan keadilan bagi para korban;
5. Pemerintah menghentikan kebijakan yang diskriminatif, sentralistik dan represif dengan membuka ruang dialog yang inklusif dan setara untuk menyelesaikan akar masalah di Papua;
6. Konsolidasi masyarakat sipil yang diprakarsai oleh tokoh agama dan tokoh adat untuk mendapatkan lebih banyak informasi yang terverifikasi. Menciptakan inisiatif dan ruang-ruang komunikasi serta kerjasama dengan berbagai pihak untuk memperkuat masyarakat sipil dan bebas dari kekerasan.
ADVERTISEMENT