Kesaksian Para Jenderal : Kegagalan Lawan Gerilya Di Timor Timur

Bung Gunawan
Analis kebijakan publik, penulis, kolumnis, paralegal dan konsultan independen.
Konten dari Pengguna
30 Januari 2018 0:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bung Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Resensi Buku
Judul : Timor-Timur The Untold Story
ADVERTISEMENT
Penulis : Kiki Syahnakri
Penerbit : Kompas
Tahun : 2013
Tebal : xliii-436
Akhir Perang Dunia II, sesungguhnya adalah dimulainya Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet yang melibatkan sekutunya masing-masih. Perang Korea, Perang Vietnam, bahkan perang Indonesia di Timor Portugis, tidak lepas dari konteks Perang Dingin.
Adalah Robert Strage McNamara, sang arsitek Perang Vietnam, lewat film Fog of War memberikan penjelasan dan pengakuan soal blunder Amerika dalam Perang Vietnam sebagaimana dikutip Majalah Angkasa Edisi Koleksi Vietnam War, Perang Darat di Belantara Vietnam (Edisi No. LIX 2009). Hebatnya justru McNamara, selepas jabatan Menteri Pertahanan, justru terpilih menjadi Direktur Bank Dunia (World Bank), memang dia punya pengalaman bisnis sebelumnya di perusahaan Ford.
ADVERTISEMENT
Adalah Kiki Syahnakri “Sang Pembuka dan Penutup” perang Indonesia di Timor Portugis atau Timor Timur yang kini menjadi Timor Leste, yang lewat otobiografinya mencoba memberikan penjelasan dan pengakuan tentang kegagalan Indonesia dalam perang di Timor Timur. Berbeda dengan Robert S McNamara, sang arsitek perang. Kiki Syahnakri adalah pelaku dalam perang di Timor Timur, dialah orang yang termasuk melakukan pengamatan awal dan mempersiapkan lapangan guna menyambut kemungkinan intervensi militer Indonesia di Timor Portugis serta pihak pertama yang memerintah tembakan mortir pertama ke wilayah Timor Portugis. Kemudian dia terlibat dalam operasi militer dan operasi teritorial dan akhirnya berkoordinasi dengan badan-badan PBB/UN (Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations) khususnya UNAMET (United Nations Mission in East Timor/ Misi PBB untuk Timor Timur) dan INTERFET (International Force for East Timor/Pasukan Internasional untuk Timor Timur)) guna mengakhiri periode Indonesia di Timor Timur. Tour of Duty Kiki Syahnakri mulai dari komanda peleton, Panglima Darurat Militer di Timor-Timur hingga Pangdam Udayana. Pasca dinas militer beliau sekarang bekerja sebagai di perusahaan swasta.
ADVERTISEMENT
Di sinilah bobot buku ini. Pertama, dibandingkan buku-buku serupa yang mengambil latar belakang konflik bersenjata di Timor-Timur, akan tetapi hanya mengambil periode tertentu. Namun buku ini memberikan pengalaman perang semenjak era invasi TNI hingga ditariknya TNI dari Timor-Timur. Kedua, bobot buku ini terletak pada penjelasan dan pengakuan. Sebagai uraian penjelasan dalam rangka kontra terhadap opini yang menyudutkan Pemerintah RI dan TNI dan kecurangan yang ditutupi dalam jajak pendapat di Timor-Timur.
Buku ini berisi pengakuan, penyebab kegagalan Indonesia dalam perang di Timor-Timur. Kiki Syahnakri melihat dalam perspektif operasi militer. Standar operasi militer Amerika yang dipergunakan tidak sesuai dengan kemampuan Indonesia. Militer Amerika sebelum mendaratkan pasukan, akan melakukan bombardemen guna mendisorganisasi musuh. Dalam kasus serbuan TNI ke Timor Portugis pada 7 Desember 1975, pengeboman yang dilakukan tidak didukung daya tembak yang memadai, sehingga bukannya kekuatan musuh terdisorganisasi, tetapi justru terbangun dan siaga akan kedatangan TNI.
ADVERTISEMENT
Menurut Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, dalam prolog buku ini, rmenyebutkan ketidakberesan ini bersumber sejak awal, karena tidak dilibatkannya Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional), para Kepala Staf TNI AD, AL dan AU serta Pangkostrad (Panglima Komando Strategis Angkatan Darat). Informasi yang dia dapat karena ini adalah operasi intelijen, sehingga banyak yang tidak dilibatkan, dan LB Moerdani selaku Asisten Intelijen Menhankam/Pangab (Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglim ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) adalah pihak yang paling bertanggung-jawab.
Namun jika kita bandingkan dengan Biografi LB Moerdani (Beni Moerdani Profil Prajurit Negarawan, Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman, 1993) yang ditulis Julius Pour, wartawan senior Kompas, Beni Moerdani menjelaskan memang pada tahap awal yang dilakukan adalah operasi intelijen yang dilakukan BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) –sekarang BIN (Badan Intelijen Negara) dan Kopasandha (Komando Pasukan Sandiyudha – sekarang Kopassus (Komando Pasukan Khusus). Kopasandha telah melukan operasi intelijen tempur terbatas yang terdiri dari tiga tim (Umi, Susi dan Tuti) guna melatih dan mendukung serangan sukarelawan atau milisi yang anti Freetin. Dalam perkembanganya operasi intelijen ini berubah menjadi operasi militer terbuka yang dipimpin oleh Panglima ABRI, sehingga di luar kewenanganganya.
ADVERTISEMENT
Ketidakpaduan ini dirasakan sendiri oleh Kiki Syahanakri, baik ketika berselisih dengan Tim Susi dan berselisih dengan Prabowo Subianto, yang kala itu perwira Kopassus, maupun berbagai kebijakan yang tidak padu di Timor-Timur,
Perang di Timor-Timur sesungguhnya adalah bentuk dari perang non kovensional dalam rangka menumpas gerilyawan pro kemerdekaan. Dalam model konflik seperti itu seharusnya tujuan dari operasi adalah memenangkan hati dan pikiran rakyat, guna memisahkan air dengan ikan, harapanya rakyat tidak memberi dukungan terhadap gerilyawan.
Tetapi, sebagaimana diungkap Kiki Syahnakri dalam buku ini upaya tersebut di atas gagal karena pemerintah dan TNI mengabaikan masyarakat adat, gereja, media massa yang membikin antipasti rakyat kepada Pemerintah dan TNI, bahkan antipasti itu bertambah ketika terjadi kekerasan militer, pelecahan terhadap struktur adat dan gereja, pembangunan yang tidak tepat sasaran, korupsi. dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Beberapa pihak di Timor-Timur mengusulkan otonomi khusus sebagai resolusi konflik di Timor Timur, secara terpisah Sintong Panjaitan, yang kala itu selaku Pangdam Udayana dan Kiki Syahnakri, kala itu selaku Komadan Korem, pernah menyampaikan gagasan Otonomi Khusus ini, tapi Pak Harto selaku Presiden dengan tegas menolak gagasan ini.
Tapi nasib Kiki Syahnakri “lebih baik” dibandingkan Sintong Panjaitan. Dalam biografinya (Hendro Subroto, Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Parakomando, Kompas, 2009), Sintong juga pernah berselisih dengan Prabowo, dan menasehati anak Pak Harto terkait kegiatan bisnisnya, serta sempat tidak hadir karena harus meninjau pasukan di Timor-Timur sewaktu Pak Harto merayakan ulang tahunnya di Bali, padahal waktu itu Sintong adalah Pangdam Udayana. Sintong Panjaitan dicopot sebagai jabatan Pangdam akibat insiden Santa Cruz tahun 1991. Kiki Syahnakri beruntung meski ada peristiwa Gariana, dimana tentara membunuh tawanan dan peristiwa tentara melecehkan gereja (Peristiwa Hostia di Remexio), dia tidak pernah dicopot sebagai Komandan Korem 164/Wira Dharma.
ADVERTISEMENT
Pelajaran dari kegagalan kontra gerilaya di Timor-Timur, juga bisa kita jadikan pelajaran untuk mengkaji hal serupa di Aceh dan Papua. Di Aceh konflik bersenjata telah berhenti dan diberlakukan otonomi khusus. Tetapi di Tanah Papua, meski telah dilakukan otonomi khusus, konflik bersenjata belum bisa dihentikan, artinya ada faktor-faktor politik, ekonomi dan budaya yang menyebabkan di tanah Papua masih ada konflik kekerasan bersenjata.