Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kesalehan yang Menindas: Banalitas Kejahatan dan Topeng Religius di Kantor
12 Mei 2025 12:37 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Cahya Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di ruang-ruang rapat yang wangi kopi dan sejuk pendingin udara, lahir keputusan-keputusan yang tampak biasa: efisiensi biaya, pemangkasan tenaga, atau pembekuan pelatihan kerja. Namun, di balik keputusan yang terdengar teknokratis itu, tersimpan luka yang dalam. Kehidupan berubah. Nasib terguncang. Tapi tak ada yang merasa bersalah. Karena itu semua “sudah prosedur”.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, sering kali keputusan-keputusan itu diambil oleh mereka yang paling religius, yang membuka rapat dengan doa, yang mengutip ayat kitab suci nan bijak di media sosial, dan yang selalu menutup pidato dengan "mari kita bersyukur".
Inilah wajah baru kejahatan: bukan bengis, bukan jahat dalam niat, tapi patuh, tenang, dan religius.
Ketika Nurani Dikalahkan SOP
Saat seorang atasan yang memutus kontrak lima pekerja outsourcing hanya dengan dua kalimat:
“Biaya terlalu tinggi.”
“Tidak ada anggaran.”
Tak ada debat. Tak ada empati. Semua hanya menunduk dan mencatat.
atau
Ketika seorang pejabat HR memberikan surat PHK kepada seorang pekerja mengatasnamakan direktur HR sambil mengatakan : "Maaf, ini sudah keputusan dari perusahaan".
ADVERTISEMENT
Apakah para pengambil keputusan tersebut membenci para pekerja tersebut? Mengenal mereka secara pribadi? Tidak !
Mereka adalah pribadi ramah yang murah senyum dengan penampilan anggun dan sopan. Tutur kata mereka lembut kadang religius nan membius.
Mereka hanya takut kehilangan jabatan, rasa hormat dari orang lain dan materi yang menyertainya.
Inilah bentuk kejahatan yang disebut Hannah Arendt sebagai banalitas kejahatan: ketika pelaku bukan monster kejam, tapi manusia biasa yang begitu taat pada sistem hingga berhenti berpikir tentang dampaknya secara sistemik pada manusia lain.
Setiap kali kita berkata, “Saya hanya menjalankan SOP”, atau “Itu keputusan pusat", kita sedang memindahkan tanggung jawab moral ke struktur tanpa wajah. Kita menyederhanakan penderitaan manusia lain sebagai prosedur.
ADVERTISEMENT
Pencitraan Religius dan Kekosongan Moral
Agama di kantor hari ini lebih sering menjadi kosmetik daripada kompas. Ia digunakan untuk membangun citra: agar terlihat bijak, integritas, dan visioner. Tapi ketika tiba saatnya membuat keputusan penting, nilai-nilai itu tak ikut hadir.
Direktur yang rajin membagikan pesan-pesan motivasi spiritual, bisa dalam waktu yang sama menandatangani pemutusan hubungan kerja massal tanpa kompensasi yang layak. Manajer yang selalu bicara soal etika, justru membiarkan karyawan outsourcing kerja lembur tanpa hak dasar.
Religiusitas menjadi bungkus yang membius. Kita merasa suci karena sering menyebut nama Tuhan, sambil menindas tanpa rasa bersalah.
Ironisnya, semakin tinggi jabatan seseorang, semakin piawai ia menggunakan agama sebagai tameng moral. Ia akan bicara soal keadilan ilahi, sambil menandatangani skema kerja outsourcing yang minim jaminan sosial. Ia akan mengajak bawahannya “menjaga etika”, sambil melanggengkan sistem kerja kontrak yang memeras tenaga, namun tidak pernah mengangkat harkat manusia.
ADVERTISEMENT
Agama berhenti sebagai identitas. Ia gagal menjadi tindakan.
Dunia Kerja yang Memproduksi Ketidakpedulian
Profesionalisme hari ini diterjemahkan sebagai “jangan baper”. Kita diajarkan untuk tidak peduli, karena terlalu peduli dianggap tidak rasional. Padahal justru di kantor lah, tempat keputusan hidup orang lain dibuat, kita seharusnya paling peduli.
Ketika tenaga outsourcing tidak mendapat pelatihan yang layak atau akses pada jaminan sosial, jawabannya selalu:
“Itu urusan vendor".
Vendor dijadikan tameng, perusahaan cuci tangan. Padahal sistem itu dibuat oleh orang-orang yang tahu persis dampaknya.
Atau ketika karyawan outsourcing tidak mendapat pelatihan kerja yang layak, atau ketika bonus dibagi tidak adil, atau ketika pelecehan verbal dibungkam demi citra perusahaan, semua diredam dengan kata-kata: “Kita ini keluarga besar”, "Jaga suasana kondusif" atau “Rezeki sudah ada yang atur".
ADVERTISEMENT
Agama yang seharusnya menggerakkan empati, justru dilucuti menjadi jargon kosong.
Dosa yang Tak Terlihat
Agama sering mengajarkan kita menjauhi dosa yang tampak: mencuri, berbohong, berzina. Tapi dalam dunia kerja, ada dosa yang tidak pernah dicatat dalam presensi: ketika kita tahu sistem menindas, tapi kita diam. Ketika kita melihat ketidakadilan, tapi kita berlindung di balik KPI dan target tahunan.
Dan justru orang-orang yang paling religiuslah yang sering melakukannya. Karena mereka takut kehilangan jabatan. Karena mereka ingin tetap dianggap "berintegritas" oleh struktur yang tidak adil.
Keberanian Bertanya adalah Doa yang Sejati
Kita tidak butuh revolusi besar. Cukup satu suara di ruang rapat yang berani berkata:
“Apakah keputusan ini adil?”
ADVERTISEMENT
“Apakah kita sudah mempertimbangkan dampaknya bagi pekerja?”
“Saya tidak setuju".
Suara seperti itu adalah bentuk ibadah paling jujur. Karena ia lahir dari keberanian dan nurani yang masih berdenyut, bukan dari pencitraan.
Tuhan Tak Hadir di Slide Presentasi
Tuhan tidak hidup di dalam slide presentasi pembuka rapat. Ia hadir dalam keberpihakan pada yang tertindas. Dalam kejujuran yang dibayar mahal. Dalam keberanian mempertanyakan sistem.
Jika kita terus bersembunyi di balik SOP, takut berkata benar, dan terus menindas demi pencapaian target, maka seberapa pun banyak kutipan ayat yang kita tempel di dinding, kita sedang mengubah kesalehan menjadi alat penindasan.
Janganlah kita menjadi Eichmann modern.
Mari berpikir.
Bukan hanya patuh.
ADVERTISEMENT
Kita manusia, bukan robot atau kecerdasan buatan yang hanya mengenal kepatuhan tanpa punya nurani.