Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pahitnya Perjalanan Hidup Seorang Pekerja yang Di-PHK Sepihak
14 Mei 2025 10:02 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Cahya Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 2011, Budi (bukan nama sebenarnya) telah mengabdikan diri di Bank Pratama sebagai tenaga outsourcing. Pekerjaan pertamanya sederhana, hanya sebagai admin regional yang bertugas membantu marketing dalam menganalisis dan merekap laporan rekening koran nasabah. Namun, baginya pekerjaan itu adalah awal dari harapan baru untuk memperbaiki kehidupan.
ADVERTISEMENT
Tahun 2013, Budi akhirnya diangkat sebagai karyawan tetap dengan posisi Assistant Business Analyst. Perubahan status itu bukan hanya sekadar kenaikan jabatan, tetapi juga bukti pengakuan atas kinerjanya selama dua tahun. Ia menjalani tugasnya dengan penuh tanggung jawab, memastikan setiap laporan nasabah dan transaksi berjalan lancar. Hari-hari panjangnya dipenuhi dengan pencairan fasilitas kredit, order appraisal, hingga mempersiapkan memo persetujuan kredit.
Namun, di penghujung Agustus 2023, kehidupan Budi berubah drastis. Tanpa pernah ia duga, ia dimutasi ke bagian marketing Cabang Mahkota Jaya. Jabatan barunya adalah Relationship Specialist, pekerjaan yang sama sekali tidak ia kuasai. 'Aku tidak punya passion di marketing. Aku tidak tahu cara mencari nasabah baru', kenangnya. Tapi janji manis sang atasan dan HR yang menyatakan bahwa posisinya akan tetap aman membuatnya terpaksa menerima.
ADVERTISEMENT
September 2023 menjadi bulan yang penuh tekanan bagi Budi. Setelah menjalani pelatihan selama dua minggu, ia langsung dibebani target tinggi hingga akhir bulan. Dari panggilan telepon hingga kunjungan langsung ke nasabah, Budi berusaha keras memasarkan produk bank. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada nasabah yang tertarik. Bahkan, setiap janji temu berakhir dengan penolakan.
'Aku tahu aku bukan orang marketing. Tapi apa aku pantas dinilai gagal hanya dalam dua bulan?' keluh Budi. Dan benar saja, di bulan November, ia menerima penilaian grade D (buruk), penilaian terendah yang pernah ia dapatkan selama bekerja.
Bukan hanya penilaian kinerja, Januari 2024 membawa Budi ke babak baru yang lebih getir. Ia mulai menerima Form Penilaian Kinerja (FPK) yang menjadi dasar untuk PHK. Formulir itu diberikan dalam kondisi kosong dan tanpa salinan. 'Aku bingung, kenapa aku harus tanda tangan formulir kosong? Aku hanya disuruh tanda tangan tanpa penjelasan', kata Budi.
ADVERTISEMENT
Bulan demi bulan berlalu, Budi semakin terjebak dalam ketidakpastian. Ia dimutasi lagi ke Cabang Sentral Utama, namun tugasnya tetap sama: mencari nasabah baru, mengaktifkan rekening yang sudah mati. Sementara tekanan terus meningkat, dukungan dari atasan nyaris tidak ada. Ia hanya mendengar sindiran, 'Kalau kamu tidak sanggup, lebih baik cari kerja di tempat lain'.
Di tengah tekanan tersebut, Budi mencoba mencari bantuan dari serikat pekerja internal perusahaan. Namun, harapannya berakhir kecewa. Bantuan yang diharapkannya datang setengah hati, sekadar formalitas tanpa tindakan nyata. Bahkan cenderung berpihak ke manajemen. 'Mereka bilang akan membantu, tapi pada kenyataannya aku harus berjuang sendiri', lirihnya.
Pada bulan Maret 2025, saat ia masih mencoba bertahan, Budi tiba-tiba menerima email dari HR. Email itu berisi proses penutupan administrasi untuk PHK, sesuatu yang ia tidak pernah sepakati. 'Bagaimana mungkin aku di-PHK sepihak? Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk memperjuangkan nasibku',ujarnya dengan suara bergetar.
Kini, Budi hanya bisa duduk termenung di rumahnya yang sederhana. Laptop kantor, akses email, fasilitas transportasi dan kesehatan semua telah dicabut. 'Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku adalah tulang punggung keluarga. Kalau aku tidak bekerja, bagaimana nasib anak-anakku?' tuturnya.
ADVERTISEMENT
Budi tidak sendiri. Di luar sana, ada ratusan, bahkan ribuan pekerja lain yang bernasib serupa. Mereka yang pernah setia mengabdi, namun harus tersingkir oleh sistem yang tidak berpihak. Hari-hari Budi kini penuh dengan kecemasan, menunggu keadilan yang entah kapan akan datang. 'Aku hanya ingin diperlakukan adil. Aku hanya ingin bekerja dengan tenang', bisiknya pelan, menatap kosong ke luar jendela.
Disclaimer: Kisah di atas adalah fiktif belaka. Jika terdapat kesamaan nama, tempat, atau kejadian maka semua itu hanya kebetulan semata.