Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Konten dari Pengguna
Bangganya Saya Memijat Bu Menteri Susi Pudjiastuti
27 Februari 2018 15:44 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
Tulisan dari Cak Ali Fikri Chobil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aplikasi WhatsApp saya berbunyi, kira-kira jam 10 pagi, Selasa, 27 Februari 2018. Ada pesan dari Arifin Asydhad, Pemimpin Redaksi kumparan. Dia bertanya jadwal saya, kebetulan saya sedang bersantai di rumah saya di Pamulang, Tangerang Selatan.
ADVERTISEMENT
Kalimat selanjutnya bikin saya bergegas: "Mau saya kenalkan ke bu Susi?" kata Arifin. "Dia mencari orang yang bisa pijat keras." Saya, yang biasa dipanggil Cak Ali oleh Pak Arifin, memang berprofesi sebagai tukang pijat sejak 1989.
Saya jadi gugup kala mobil Uber yang saya tumpangi tiba di Kompleks Menteri di Widya Chandra, Jakarta Selatan. Waktu menunjukkan sekitar pukul 11.00 WIB. Saya dipersilakan masuk oleh para pemuda yang nampaknya ajudan sang menteri.
"Oh, ini orangnya," begitu kata Bu Susi saat melihat saya. Tak sangka, Bu Susi orangnya asyik. Penampilannya juga santai: Mengenakan kaus abu-abu yang disandingkan dengan celana panjang. Seketika itu gugup saya hilang, blas!
Bu Susi lalu telungkup di matras, di ruangan tengah rumah bernomor 26 itu. Pijat dimulai.
Awalnya, saya memijit kaki Bu Susi. Kakinya keras, otot-ototnya tegang. Kakinya keras seperti kaki atlet. Memang, tubuh setiap orang berbeda. Ada yang keras, ada yang tidak.
ADVERTISEMENT
Badan Bu Susi termasuk yang keras--mungkin setelah bertanding dengan Wakil Gubernur DKI Sandiaga Uno di acara kumparan, Festival Danau Sunter.
Bu Susi mengeluhkan pegal di kaki dan pinggang. Berdasarkan pengalaman saya, orang yang pegal itu hampir pasti karena syarafnya tegang--makanya harus direlaksasi.
Sembari dipijat, Susi tidak tidur. Dia terus mengobrol dengan saya dan bos Arifin. Obrolannya macam-macam, kebanyakan bicara politik. Saya tidak terlalu menyimak.
Susi berkelakar, pernah punya tukang pijat pribadi asal Thailand. Tapi pria impor itu tak kembali lagi setelah pulang kampung karena ada masalah keluarga.
Urusan pijat-memijat ini cocok-cocokan. Ada yang mau dipijat keras, ada yang enggak mau keras. Kontur tubuh masing-masing juga harus diperlakukan khusus.
Setelah pijat kaki, saya langsung memijat pinggang dan punggung Bu Susi. Tak lama, ada pujian. Katanya, minyak yang saya bawa itu rasanya "pas".
ADVERTISEMENT
"Minyak" itu sebetulnya hanya campuran air dan jahe. Sejak awal saya memakai ramuan tersebut. Tidak memakai minyak gosok, tidak memakai balsem.
"Wah, ini cocok. Panasnya anget, tidak panas seperti obat gosok yang lain," kata Bu Susi sambil dipijat.
Ramuan andalan saya ini memang juara. Tidak bau justru harum jahe dan tidak lengket. Ketika digunakan untuk memijat, air jahe juga tidak bikin kesat kalau tekniknya pas.
Kata Bu Susi lagi, biasanya ia tidak kuat kalau pemijat pakai obat gosok lain.
Pijatan berlanjut ke tangan dan kepala, tak lupa leher. Saya fokuskan ke syaraf di leher karena biasanya para pekerja keras, keras juga syaraf lehernya.
Sepertinya Bu Susi cocok dengan pijatan saya. Tidak tahu juga, biasanya pasien saya itu sudah punya bawaan penyakit seperti stroke, hernia nukleus pulposus alias syaraf kejepit atau gampangnya ada bantalan di antara ruas tulang yang keluar dari tempatnya.
ADVERTISEMENT
Makan Bersama
Bu Susi, terlepas dari sosoknya sebagai menteri yang ditakuti, membuat saya tersanjung pada siang itu. Setelah urusan pijat selesai, saya diajak makan siang bersama. Pak Arifin juga ikut.
Menunya spesial: Nasi, sop ikan, udang, dan tahu. Saya perhatikan, Bu Susi makan sedikit nasi. Ia juga membanggakan tahunya. "Ini kedelai lokal, bukan impor," kata dia.
Makan-makan itu berlangsung selama setengah jam. Pak Arifin pamit, saya juga.
Saya merasa sangat bangga. Semoga Bu Susi suka pijatan saya, dan saya harap Bu Susi mau memakai jasa saya lagi.