Konten dari Pengguna

Greenwashing: Ketika Keberlanjutan Hanya Sekadar Pencitraan

Ruslan Effendi
Suka mengamati anggaran negara dan BUMN. Lulusan S3 Akuntansi UGM.
10 Maret 2025 11:57 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ruslan Effendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Prolog
Dalam beberapa tahun terakhir, konsep Environmental, Social, and Governance (ESG) semakin populer di dunia bisnis. Konsep ESG pertama kali diperkenalkan secara resmi dalam laporan Who Cares Wins yang diterbitkan pada tahun 2004 oleh United Nations Global Compact bersama institusi keuangan global. Inisiatif ini bertujuan untuk mengintegrasikan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam keputusan investasi guna menciptakan pasar keuangan yang lebih berkelanjutan. ESG kemudian diperkuat oleh berbagai inisiatif global seperti Principles for Responsible Investment (PRI) yang diluncurkan PBB pada 2006 dan Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD) pada 2015, serta didukung oleh kebijakan seperti European Green Deal dan Sustainable Finance Disclosure Regulation (SFDR) (Lehmann, 2020). Inisiatif-inisiatif ini mendorong perusahaan dan investor untuk lebih memperhitungkan dampak lingkungan dan sosial dalam strategi bisnis mereka.
ADVERTISEMENT
Perusahaan berlomba-lomba menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap lingkungan, memiliki praktik sosial yang baik, dan menerapkan tata kelola yang transparan. Konsumen dan investor pun semakin menaruh perhatian pada aspek keberlanjutan ini, berharap bahwa bisnis dapat berkontribusi lebih dalam mengatasi krisis lingkungan dan sosial. Namun, di balik tren positif ini, muncul fenomena greenwashing—strategi di mana perusahaan mencitrakan diri sebagai bisnis yang ramah lingkungan tanpa perubahan nyata dalam operasional mereka (Shanor & Light, 2022).
Fenomena Greenwashing dalam Bisnis
Sumber: AI tentang fenomena greenwashing
Fenomena greenwashing muncul karena meningkatnya tekanan dari pasar dan investor untuk menerapkan praktik keberlanjutan. Sayangnya, tidak semua perusahaan benar-benar berkomitmen terhadap prinsip ESG. Beberapa di antaranya hanya memoles citra melalui kampanye pemasaran yang mengklaim ramah lingkungan, padahal aktivitas inti bisnis mereka tetap merusak ekosistem. Greenwashing bukan sekadar bentuk pencitraan yang tidak etis, tetapi juga berbahaya karena menyesatkan konsumen dan menghambat perubahan nyata menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan (Hart-Landsberg, 2022).
ADVERTISEMENT
Salah satu kasus paling terkenal adalah Volkswagen Dieselgate pada tahun 2015. Volkswagen memasarkan mobil diesel mereka sebagai kendaraan yang lebih ramah lingkungan dan rendah emisi. Namun, investigasi mengungkap bahwa Volkswagen menggunakan perangkat lunak khusus untuk memanipulasi hasil uji emisi, sehingga mobil mereka tampak lebih bersih daripada kenyataan sebenarnya. Akibatnya, Volkswagen harus membayar denda miliaran dolar dan menghadapi krisis kepercayaan yang merusak reputasi mereka selama bertahun-tahun (Abate, 2024). Selain itu, industri mode juga memiliki sejarah panjang dalam praktik greenwashing. Misalnya, H&M Conscious Collection dipasarkan sebagai produk yang lebih ramah lingkungan dengan penggunaan bahan yang lebih berkelanjutan. Namun, investigasi menunjukkan bahwa banyak pakaian dalam koleksi ini tetap mengandung bahan sintetis yang sulit terurai di alam. Selain itu, model bisnis fast fashion yang diusung H&M sendiri sangat boros sumber daya dan menghasilkan limbah tekstil dalam jumlah besar (Hart-Landsberg, 2022). Di sektor energi, BP (British Petroleum) pernah melakukan rebranding dengan slogan Beyond Petroleum untuk menggambarkan transisi mereka menuju energi bersih. Namun, laporan keuangan mereka tetap menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan masih berasal dari bahan bakar fosil. Langkah seperti ini menunjukkan bahwa greenwashing tidak hanya terjadi dalam skala kecil, tetapi juga dilakukan oleh korporasi besar yang ingin tetap menarik perhatian investor hijau tanpa harus mengubah strategi bisnis mereka secara mendasar (Jacobs & Finney, 2019). Greenwashing juga terjadi dalam skema kompensasi karbon, seperti dalam kasus Danish Crown, salah satu perusahaan daging terbesar di Eropa. Mereka mengklaim bahwa daging mereka diproduksi dengan metode climate-controlled yang ramah lingkungan. Namun, pengadilan menemukan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat dan akhirnya dinyatakan menyesatkan (Abate, 2024).
ADVERTISEMENT
Kesulitan Deteksi Greenwashing dan Peran Standarisasi
Fenomena greenwashing menjadi semakin sulit dideteksi karena kurangnya standar yang jelas dan regulasi yang ketat. Banyak perusahaan melaporkan ESG mereka berdasarkan parameter yang dipilih sendiri, sehingga tidak memberikan gambaran yang objektif. Beberapa standar pelaporan yang sebenarnya bisa membantu menilai keberlanjutan perusahaan secara lebih transparan adalah Global Reporting Initiative (GRI), Sustainability Accounting Standards Board (SASB), EU Green Taxonomy, dan Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD) (Lehmann, 2020). Namun, karena sebagian besar standar ini bersifat sukarela, perusahaan masih memiliki banyak ruang untuk memilih hanya aspek yang menguntungkan mereka dan mengabaikan bagian yang kurang mendukung citra hijau mereka.
Untuk menghindari tertipu oleh greenwashing, konsumen dan investor harus lebih kritis dalam menilai klaim keberlanjutan suatu perusahaan. Tidak semua label "eco-friendly" atau "sustainable" benar-benar mencerminkan praktik bisnis yang bertanggung jawab. Sebelum membeli produk atau berinvestasi, penting untuk mencari tahu apakah perusahaan tersebut mengikuti standar ESG yang kredibel dan melakukan pelaporan yang transparan. Beberapa organisasi independen seperti Greenpeace dan Carbon Disclosure Project juga sering memberikan laporan mengenai dampak lingkungan dari berbagai industri, yang bisa menjadi sumber referensi tambahan (Overbeek, 2019).
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan regulator juga memiliki peran besar dalam menekan praktik greenwashing. Regulasi yang lebih ketat diperlukan agar perusahaan tidak bisa sembarangan menggunakan klaim keberlanjutan tanpa bukti yang jelas. Di beberapa negara, kebijakan mulai diperketat untuk memastikan transparansi, seperti European Green Deal yang mewajibkan perusahaan besar di Eropa untuk lebih terbuka dalam pelaporan keberlanjutan mereka. Namun, di banyak negara lain, aturan semacam ini masih lemah atau belum diterapkan secara efektif (Lehmann, 2020).
Epilog
ESG adalah alat yang sangat penting dalam membangun bisnis yang lebih berkelanjutan. Namun, jika disalahgunakan untuk greenwashing, maka kredibilitasnya akan runtuh. Keberlanjutan seharusnya bukan sekadar strategi pemasaran, melainkan komitmen nyata yang tercermin dalam seluruh aspek operasional perusahaan. Konsumen, investor, dan regulator harus bersinergi untuk menekan praktik greenwashing dan memastikan bahwa ESG benar-benar membawa perubahan, bukan sekadar menjadi slogan kosong dalam dunia bisnis.
ADVERTISEMENT
Bibliografi
Abate, R. (2024). Putting Lipstick on a Pig: Greenwashing in Fossil Fuel Industry. Lewis & Clark Law School.
Hart-Landsberg, M. (2022). Don't Believe the Hype: ESG and Greenwashing in Investment Funds. Class, Race and Corporate Power.
Jacobs, B. & Finney, B. (2019). Defining Sustainable Business Beyond Compliance. Virginia Environmental Law Journal.
Lehmann, A. (2020). Regulation of Green Finance and Climate Risks. Center for Global Development.
Narain, S. & Goswami, A. (2022). Forest Offsets and Climate Change. Centre for Science and Environment.
Overbeek, A. (2019). Examining the Efficacy of Fair Trade and Alternative Consumption. Consilience.
Shanor, A. & Light, S. (2022). Greenwashing and the First Amendment. Columbia Law Review.
ADVERTISEMENT