Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kajian Ontologi: UU 1 Tahun 2025 BUMN, Keuangan Negara atau Bukan?
4 Mei 2025 14:47 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Ruslan Effendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Publik sering memperdebatkan apakah kekayaan yang dikelola oleh Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dan holding-holding BUMN lainnya dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 masih dikategorikan sebagai keuangan negara. Perdebatan ini berakar pada pertanyaan klasik yang sebenarnya lebih bersifat ontologis daripada semata-mata legalistik. Apakah hakikat keberadaan kekayaan tersebut masih dapat diidentifikasi sebagai bagian dari keuangan negara, ataukah ia telah berubah menjadi entitas yang lain?
ADVERTISEMENT
Doktrin lama keuangan negara, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, kosep kekayaan negara yang dipisahkan — seperti penyertaan modal di BUMN — tetap dianggap sebagai bagian integral dari keuangan negara. Prinsip ini juga diperkuat oleh berbagai putusan Mahkamah Konstitusi, termasuk putusan penting Nomor 48/PUU-XI/2013, yang menegaskan bahwa meskipun sudah dipisahkan, kekayaan tersebut tidak lepas dari prinsip akuntabilitas publik.
Namun UU Nomor 1 Tahun 2025 membawa perubahan arah. Definisi eksplisit tentang "kekayaan negara yang dipisahkan" tidak lagi ditemukan secara tegas. Pengelolaan kekayaan negara pada BUMN — khususnya yang telah dimasukkan ke dalam struktur holding di bawah BPI Danantara — diarahkan untuk tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan investasi korporasi. Tata kelola berbasis business judgment rule (BJR) diterapkan, yang berarti direksi dan manajemen tidak lagi secara otomatis bertanggung jawab hukum atas kerugian bisnis selama keputusan mereka diambil dengan itikad baik, tanpa konflik kepentingan, dan berdasarkan pertimbangan yang wajar.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang ontologi, perubahan ini mengisyaratkan bahwa negara bukan lagi sepenuhnya bertindak sebagai pengelola kekayaan publik dalam kerangka fiskal, melainkan sebagai investor strategis. Kekayaan yang dikelola oleh Badan dan holding-holding di bawahnya tetap berasal dari negara, namun keberadaannya lebih menyerupai portofolio investasi daripada instrumen anggaran negara. Ia masih milik negara, tetapi dengan karakteristik entitas korporasi, bukan lagi instrumen keuangan publik yang diatur dalam logika APBN atau APBD.
Maka, pertanyaan, "apakah ini masih keuangan negara?" dalam kerangka hukum positif saat ini justru menjadi tidak lagi valid secara substansial. Pertanyaan yang lebih relevan adalah, “apakah negara tetap memegang prinsip-prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan kekayaan ini? Apakah rakyat, sebagai pemilik kedaulatan, tetap mendapatkan jaminan bahwa kekayaan yang dikorporatisasi ini digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945?
ADVERTISEMENT
Di sinilah letak pergeseran besar itu. Kita bukan lagi sekadar mendefinisikan apa yang termasuk atau tidak termasuk keuangan negara, melainkan membangun standar baru tentang bagaimana negara bertindak sebagai pemilik aset di ruang korporasi, tanpa kehilangan ruh pertanggungjawaban publik. Ontologi kekayaan negara dalam konteks ini tidak hilang, melainkan mengalami transformasi esensial.
Kita sedang menyaksikan lahirnya satu babak baru dalam hubungan negara dan kekayaannya. Negara sebagai investor aktif, bukan hanya sebagai pengelola administratif. Pengawasan publik oleh karenanya tidak boleh melemah. Justru karena kekayaan itu telah berpindah ke bentuk yang lebih cair — menjadi saham, anak perusahaan, instrumen investasi — maka transparansi, integritas, dan pertanggungjawaban menjadi makin penting untuk dipertahankan.
Maka, jika hari ini publik bertanya, "apakah ini masih keuangan negara?", jawaban yang perlu diberikan adalah bahwa kekayaan ini telah bertransformasi dari keuangan negara dalam arti fiskal klasik menjadi kekayaan negara yang dipisahkan dengan karakteristik korporatis. Secara hukum, ia bukan lagi bagian dari siklus anggaran negara, namun tetap merupakan aset negara yang wajib dikelola berdasarkan prinsip akuntabilitas publik. Oleh karena itu, meskipun terjadi perubahan ontologis dalam bentuk dan pengelolaannya, nilai-nilai akuntabilitas, transparansi, dan orientasi sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 harus tetap dipertahankan tanpa kompromi.
ADVERTISEMENT