Konten dari Pengguna

Resurgensi Proteksionisme: Respons terhadap Kontradiksi Internal Neoliberalisme

Ruslan Effendi
Suka mengamati anggaran negara dan korporasi. Lulusan S3 Akuntansi UGM.
1 April 2025 17:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ruslan Effendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Trump (Ilustrasi)/AI generated
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Trump (Ilustrasi)/AI generated
ADVERTISEMENT
Selama lebih dari empat dekade, neoliberalisme mendominasi arsitektur ekonomi global. Sebagai proyek ideologis dan kebijakan, ia mempromosikan liberalisasi perdagangan, deregulasi sektor keuangan, dan pelepasan peran negara dalam alokasi sumber daya. Namun sejak krisis keuangan global 2008 dan terlebih lagi dalam dekade terakhir, kita menyaksikan tanda-tanda resurgensi proteksionisme di berbagai belahan dunia. Puncaknya terlihat dalam kebijakan tarif era Trump, keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit), serta adopsi strategi industrial policy dan reshoring oleh negara-negara maju pasca-COVID-19. Artikel ini berargumen bahwa kebangkitan proteksionisme bukan sekadar kebijakan ekonomi ad hoc, tetapi merupakan respons sistemik terhadap kontradiksi internal neoliberalisme.
ADVERTISEMENT
Neoliberalisme dan Janji-Janjinya
Neoliberalisme lahir dari krisis stagflasi 1970-an sebagai respons terhadap kegagalan intervensi negara Keynesian. Dengan menekankan efisiensi pasar dan rasionalitas individual, neoliberalisme menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan distribusi yang lebih adil melalui mekanisme pasar. Kebijakan deregulasi, liberalisasi perdagangan, dan privatisasi menjadi pilar utama dari model ini, dipromosikan melalui lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO. Dalam dua dekade awal penerapannya, neoliberalisme memang berkontribusi pada pertumbuhan perdagangan dan integrasi global, tetapi juga memperbesar kesenjangan sosial dan ketimpangan antar negara (Piketty, 2020; Milanovic, 2016).
Kontradiksi Internal Neoliberalisme
Neoliberalisme mengandung kontradiksi internal yang mendalam (Harvey, 2005). Ia bergantung pada negara untuk menciptakan dan menjamin hak milik, penegakan kontrak, serta keterbukaan pasar—tetapi secara bersamaan mendorong pelemahan negara dalam fungsi redistributif dan pengawasan terhadap akumulasi kapital. Dalam jangka panjang, kondisi ini menciptakan disonansi antara efisiensi ekonomi dan legitimasi sosial.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan yang dihasilkan dari kebijakan pasar bebas menciptakan tekanan sosial dan politik. Dampaknya paling terasa di negara-negara industri maju yang mengalami deindustrialisasi, stagnasi upah, dan meningkatnya kerentanan pekerjaan. Fenomena ini dikenal sebagai the globalization backlash, yaitu munculnya resistensi politik terhadap liberalisasi yang dianggap merugikan kelompok domestik tertentu. Kenneth Arrow (1963), melalui impossibility theorem-nya, menjelaskan bahwa tidak mungkin menciptakan satu kebijakan ekonomi yang mampu memenuhi semua preferensi individu dalam masyarakat. Artinya, ketika globalisasi menguntungkan pemilik modal tetapi merugikan pekerja industri, maka akan muncul tuntutan politik untuk mengoreksi kebijakan tersebut.
Regulasi ekonomi sering kali bukan hasil pertimbangan rasional demi kepentingan publik, tetapi merupakan hasil lobi dan tekanan dari kelompok-kelompok berkepentingan (Stigler, 1971). Ketika kelompok yang dirugikan oleh neoliberalisme (misalnya serikat buruh, petani lokal, atau industri strategis) berhasil membangun kekuatan politik, maka negara akan dipaksa untuk mengadopsi kebijakan proteksionistik sebagai bentuk koreksi.
ADVERTISEMENT
Krisis Legitimasi dan Kebangkitan Proteksionisme
Krisis keuangan 2008 menjadi titik balik bagi legitimasi neoliberalisme. Kebijakan penyelamatan bank (bailout), pemotongan anggaran sosial, dan tingginya pengangguran memperkuat argumen bahwa pasar tidak mampu mengatur dirinya sendiri. Globalisasi neoliberal sebagai proses yang timpang, didesain oleh dan untuk kepentingan negara-negara maju dan korporasi global (Stiglitz, 2017). Ia menegaskan bahwa asimetri informasi, market failure, dan dominasi aktor kuat dalam lembaga internasional menjadikan liberalisasi sebagai instrumen ketimpangan, bukan kemakmuran kolektif.
Respon terhadap krisis ini tidak melahirkan tatanan baru, melainkan mendorong negara kembali pada peran protektifnya. Era pemerintahan Donald Trump di AS menjadi ilustrasi konkret: tarif perdagangan terhadap China, penolakan terhadap TPP, dan renegosiasi NAFTA menjadi simbol dari proteksionisme kontemporer. Namun proteksionisme hari ini berbeda dari bentuk klasiknya; ia tidak sekadar bertujuan melindungi pasar domestik, tetapi juga menjadi strategi geopolitik dan rekayasa ulang rantai pasok global.
ADVERTISEMENT
Menafsirkan Proteksionisme Secara Teoretik
Dengan menggunakan lensa teori informasi dan teori regulasi, kita dapat melihat bahwa keputusan kebijakan ekonomi tidaklah netral secara teknis, tetapi penuh dengan ketegangan antara efisiensi dan distribusi, antara informasi dan kekuasaan. Dalam dunia yang ditandai oleh informasi yang asimetris dan preferensi yang beragam, setiap sistem pasar pada akhirnya akan membutuhkan intervensi negara untuk menjaga kestabilannya.
Proteksionisme adalah manifestasi dari intervensi tersebut. Ia menjadi alat untuk mengoreksi ketidakseimbangan struktural yang diciptakan oleh neoliberalisme. Dalam kerangka ini, proteksionisme bukanlah anomali irasional, melainkan sebuah gejala rasional dari sistem yang menghadapi krisis akumulatif.
Dari Globalisasi ke Re-Negosiasi Global
Resurgensi proteksionisme menandai berakhirnya konsensus tunggal tentang superioritas pasar bebas global. Kita tidak sedang menyaksikan kematian globalisasi, melainkan negosiasi ulang atas bentuk dan batas-batasnya. Negara-negara mencari keseimbangan baru antara keterbukaan dan kedaulatan, antara efisiensi ekonomi dan legitimasi sosial. Kontradiksi internal neoliberalisme, yang selama ini ditutup dengan jargon teknokratik, kini menjadi pangkal krisis dan peluang bagi rekonstruksi paradigma ekonomi global.
ADVERTISEMENT
Pustaka
Arrow, K. J. (1963). Social Choice and Individual Values. Yale University Press.
Bown, C. P., & Irwin, D. A. (2019). The Trump Trade War: Its Motivations, Manifestation, and the Future. Brookings Papers on Economic Activity, Fall.
Harvey, D. (2005). A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press.
Milanovic, B. (2016). Global Inequality: A New Approach for the Age of Globalization. Harvard University Press.
Piketty, T. (2020). Capital and Ideology. Harvard University Press.
Stigler, G. J. (1971). The Theory of Economic Regulation. The Bell Journal of Economics and Management Science, 2(1), 3–21.
Stiglitz, J. E. (2017). Globalization and Its Discontents Revisited: Anti-Globalization in the Era of Trump. W.W. Norton & Company.
ADVERTISEMENT