Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.3
19 Ramadhan 1446 HRabu, 19 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Tentang Kelompok Miskin yang Rentan terhadap Perubahan Iklim
26 September 2022 13:15 WIB
Tulisan dari Wahyu Candra Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Upaya penghapusan kemiskinan di berbagai belahan dunia selama kurang lebih 10 dekade patut diapresiasi. Sinergi internasional terbukti mampu menurunkan tingkat kemiskinan global dari 52 persen pada tahun 1981 menjadi 8,6 persen per tahun 2018 (Aguilar, et al., 2022). Meskipun demikian, capaian yang luar biasa ini terancam mengalami regresi akibat krisis lingkungan yang nampaknya semakin sulit untuk ditangani.
Perubahan iklim masih menjadi isu yang marginal dalam perpolitikan global sampai pada awal tahun 1990-an. Dekade tersebut menjadi titik balik yang menandai perubahan persepsi negara terkait isu lingkungan. Alih-alih menganggapnya sebagai masalah lokal, negara mulai melihat bahwa isu perubahan iklim merupakan permasalahan global yang membutuhkan kerjasama internasional. Pandangan inilah yang kemudian banyak melahirkan rezim dan traktat internasional yang berkaitan dengan penanganan krisis lingkungan, seperti United Nations Framework Convention on Climate Change, Kyoto Protocol, dan The Paris Agreement. Dari tahun ke tahun, isu perubahan iklim menjadi isu fundamental yang didiskusikan dalam berbagai forum multilateral seperti G20. Tujuannya tentu untuk menghasilkan langkah-langkah strategis yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim serta mencegah semakin memburuknya kualitas lingkungan. Akan tetapi, berbagai upaya tersebut nampaknya belum memberikan hasil yang signifikan, terbukti salah satunya dari temperatur global yang terus mengalami kenaikan secara progresif sejak tahun 1985. Gelombang panas yang menyerang Eropa pada pertengahan tahun 2022 dan banjir di Pakistan yang menelan kurang lebih 1000 korban jiwa, juga menjadi indikasi semakin memburuknya krisis lingkungan.
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim merupakan isu kompleks yang dampaknya dirasakan oleh semua negara hingga pada level individual. Meskipun demikian, pertemuan COP-19 PBB pada tahun 2013 di Warsawa lalu agaknya membawa perhatian baru bagi masyarakat global. Pasalnya diskusi terkait dengan kerugian dan kerusakan yang diakibatkan oleh perubahan iklim pada forum tersebut, menunjukkan adanya ketidaksetaraan terkait dengan dampak perubahan iklim. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang lebih rentan terhadap efek krisis lingkungan, salah satunya adalah kelompok masyarakat miskin. Berbagai literatur terkait, melihat bagaimana kemiskinan dipahami sebagai faktor kunci yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap dampak perubahan iklim (Leichenko & Silva, 2014). Individu yang hidup dalam kondisi miskin dengan pendapatan kurang dari USD 1,25 perhari memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk dirugikan oleh perubahan iklim karena berbagai alasan:
ADVERTISEMENT
Ketergantungan kelompok miskin yang cukup besar terhadap alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, membuat mereka memiliki resistensi yang rendah dalam menanggulangi dampak perubahan iklim – sehingga krisis lingkungan menjadi tantangan baru dalam upaya penghapusan kemiskinan global. Bukan sesuatu yang tidak mungkin apabila dampak perubahan iklim ini akan memperburuk tingkat kemiskinan dan menjadikan kelompok miskin semakin miskin. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bagaimana kerusakan ekonomi sudah mulai terasa di berbagai sektor yang rentan terhadap perubahan iklim seperti pertanian. Produktivitas pertanian yang menurun akan berdampak pada sektor ketahanan pangan sehingga berpotensi untuk meningkatkan harga pangan secara global. Akibatnya tentu akan semakin banyak kelompok masyarakat yang memiliki akses terbatas terhadap sumber daya pangan yang mereka butuhkan. Dari sinilah bagaimana lingkaran kemiskinan itu muncul yang kemudian semakin diperparah dengan memburuknya krisis lingkungan. Nyatanya, kemiskinan dan perubahan iklim berkelindan satu sama lain. Maka dari itu, penghapusan kemiskinan secara menyeluruh tidak akan mungkin terjadi apabila perubahan iklim dan dampaknya terhadap kelompok masyarakat miskin tidak diperhitungan dalam kebijakan-kebijakan politik dan sosial. Pun demikian, upaya untuk memperbaiki lingkungan dan mencegah perubahan iklim semakin memburuk diperlukan ketahanan masyarakat yang lebih kuat – artinya penghapusan kemiskinan harus menjadi prioritas utama.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Aguilar, R. A., Eilertsen, A., Fujs, T., Lakner, C., Mahler, D. G., Nguyen, M. C., & Schoch, M. (2022). April 2022 global poverty update from the World Bank. Retrieved September 2022, from World Bank Blog: https://blogs.worldbank.org/opendata/april-2022-global-poverty-update-world-bank
Hallegatte, S., Bangalore,, M., Bonzanigo, L., Fay, M., Kane, T., Narloch, U., Vogt-Schilb, A. (2016). Shock Waves Managing the Impacts of Climate Change on Poverty. Washington D.C.: World Bank Group.
Leichenko, R. M., & Silva, J. A. (2014). Climate Change and Poverty: Vulnerability, Impact, and Alleviation Strategy. WIREs Climate Change.