Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Lanskap dan Tren Ancaman serta Problematika Terorisme Global
13 Februari 2023 21:33 WIB
Tulisan dari Caren Marvelia Jonathan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setelah peristiwa 9/11, terorisme merupakan salah satu isu yang menjadi problematika utama dalam Dewan Keamanan (DK) PBB karena implikasinya terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Dalam hal ini, globalisasi turut memiliki andil dalam perluasan rantai terorisme global, mengingat semakin mudahnya menjalin komunikasi lintas wilayah ditambah dengan teknologi persenjataan yang terus berkembang. Pandemi COVID-19 sebagai fenomena global juga telah memberikan pengaruh bagi tren terorisme global. Berbagai aksi terorisme yang menjadi catatan kelam di sepanjang sejarah membuat DK PBB bertindak tegas dengan memberikan kewajiban untuk membuat laporan per enam bulan sekali terkait pergerakan aksi terorisme global. Berangkat dari situ, menjadi menarik untuk mengulas bagaimana dinamika terorisme global dan perkembangannya secara khusus di Indonesia, serta upaya yang dilakukan untuk melawan aksi tersebut.
ADVERTISEMENT
Lanskap dan Tren Terorisme Global
Meskipun pandemi COVID-19 telah membatasi ruang gerak dan komunikasi antarjaringan terorisme, namun bukan berarti ancaman terorisme hilang begitu saja. Pembatasan yang dilakukan akibat pandemi COVID-19 di negara-negara yang tidak berada di daerah konflik memang dapat dikatakan telah menghambat pergerakan, aksi, maupun ancaman terorisme. Kendati demikian, lain halnya dengan negara-negara yang berada di zona konflik. Ancaman terorisme justru mengalami peningkatan di daerah konflik tersebut. Problematika lain terkait aksi terorisme adalah penggunaan internet sebagai medium yang memudahkan perekrutan dan mempropagandakan terorisme. Peningkatan ancaman ini juga mendorong terjadinya pelarian diri para pengungsi, seperti di kamp-kamp Suriah dan Irak. Dalam hal pengumpulan dana untuk menopang aksinya, kelompok teroris memanfaatkan cryptocurrency dan penambangan emas ilegal sebagai alternatif sumber pendanaan di situasi pandemi.
Di awal pandemi, DK PBB mengeluarkan Resolusi DK 2532 sebagai dorongan gencatan senjata global, tetapi tidak berlaku untuk melawan terorisme. Walaupun tingkat pergerakan terorisme global menurun di era pandemi, namun Sekjen PBB tetap melaporkan ancaman ISIS/Daesh terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Negara-negara diingatkan untuk tetap waspada terhadap ancaman terorisme. Pada bulan Juli 2020, United Nations Counter-Terrorism Committee Executive Directorate (UNCTED) mengeluarkan naskah kebijakan yang melihat potensi ancaman terorisme di masa pandemi dari kedua sisi, baik risiko jangka pendek maupun jangka panjang. Risiko jangka pendek yang diperkirakan ialah banyaknya audiens yang captive oleh internet sehingga memberikan kesempatan bagi kelompok teroris untuk memperluas narasi propagandanya dan sebagai penyedia jasa alternatif. Sementara itu, risiko jangka panjangnya ialah terjadi tekanan pada sumber daya kontraterorisme yang bergeser ke arah upaya penanggulangan penyebaran COVID-19, pengurangan kemampuan aktor non-negara dalam kerangka penanggulangan terorisme, serta meningkatnya paham-paham radikalisme.
ADVERTISEMENT
Sebagai upaya perlawanan terhadap terorisme, PBB menyelenggarakan Counter Terrorism Week pada bulan Mei 2021 lalu dengan menitikberatkan beberapa isu strategis yang dianggap kian signifikan dalam lanskap problematika terorisme global, yaitu upaya pemulihan wilayah yang ditinggalkan ISIL, penanganan FTF (Foreign Terrorist Fighters) beserta anggota keluarganya, meningkatnya ancaman terorisme di Afrika, munculnya ancaman terorisme baru yang didasari oleh xenophobia, rasisme, misogini, dan bentuk intoleransi lain yang melahirkan lone wolf. Selain itu, penggunaan teknologi dalam situasi pandemi COVID-19 turut memunculkan tiga tantangan utama bagi aksi kontraterorisme, yakni kemungkinan serangan siber, penggunaan cryptocurrency dan crowdfunding sebagai sumber pendanaan, hingga penggunaan AI, 3D printing, serta drone oleh kelompok teroris dalam melancarkan aksinya.
Dinamika Terorisme di Indonesia
ADVERTISEMENT
Di wilayah Asia Tenggara sendiri, muncul tren terorisme berupa penggunaan bom bunuh diri dengan memanfaatkan perempuan sebagai pelaku kejahatan terorisme, di mana tren ini semakin marak terjadi di Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Sebagai contoh, di Indonesia sendiri sepanjang tahun 2016-2020, sudah ada 40 perempuan yang ditangkap karena diduga sebagai pelaku aksi terorisme. Tidak hanya itu, tren online self-radicalization dalam bentuk serangan lone wolf juga kian menyulitkan aparat penegak hukum dalam mendeteksi potensi terjadinya serangan.
Menurut Global Terrorism Index (GTI) 2020, Indonesia berada pada peringkat 37 yang dikategorisasikan sebagai negara dengan medium impact dan menempati peringkat 42 berdasarkan Global Peace Index (GPI) 2021 yang menandakan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kedamaian tinggi. Kendati angka tersebut cukup membawa ‘angin segar’, aksi demonstrasi dan protes masyarakat mengenai UU Cipta Kerja sempat menyebabkan penurunan performa stabilitas politik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Modus-modus pendanaan aksi terorisme di Indonesia pun terus berkembang dan pada umumnya memanfaatkan kotak amal dan sumbangan, penggalangan dana dengan kedok bisnis lokal, penjualan aset pribadi, hingga crowdfunding oleh individu yang bekerja di luar negeri. Selain itu, modus pendanaan ini juga mendeteksi adanya ancaman baru yang memanfaatkan korporasi, penjualan obat-obatan terlarang, aset virtual, dan pinjaman online. Melihat maraknya penggalangan dana ilegal tersebut, pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan UU No. 9 Tahun 2013 sebagai instrumen regulasi dasar yang mengatur upaya disrupsi dan pemblokiran pendanaan kelompok teroris.
Apabila menelisik perkembangan terorisme di Indonesia, salah satu konflik yang mendorong aksi terorisme tersebut adalah gerakan separatisme dan tindakan KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) di Papua yang telah memakan ratusan korban masyarakat sipil, militer, dan polisi. BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) kemudian mendorong adanya pergeseran paradigma dalam penanggulangan terorisme, yang mana penggunaan KUHP dinilai tidak lagi dapat dijadikan sandaran tunggal terkait isu tersebut. Hal ini disebabkan KUHP tidak mencakup aturan mengenai penindakan kelompok atau organisasi dan tidak mencerminkan prinsip menjunjung tinggi HAM, melainkan hanya mengakomodir individu sebagai subjek hukum. Maka dari itu, BNPT lebih condong dan mendorong penggunaan UU No. 5 Tahun 2018 dan UU No. 9 Tahun 2013 sebagai upaya penegakan hukum yang lebih tegas. Adapun UU No. 5 Tahun 2018 meliputi pendefinisian KKB sebagai kelompok terorganisir yang melakukan tindak kejahatan ‘serius’ dan termasuk tindakan terorisme, serta memiliki unsur-unsur yang menjunjung tinggi HAM. Sementara itu, UU No. 9 Tahun 2013 mencakup pemblokiran pendanaan terorisme.
ADVERTISEMENT
Refleksi dan Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat direfleksikan bahwasanya dunia internasional tidak dapat menutup mata terhadap dinamika terorisme global. Perkembangan teknologi secara masif yang disebabkan oleh adanya globalisasi sejatinya bagaikan dua sisi koin, yang mana di satu sisi dapat membawa dampak baik, dan di sisi lain memberikan dampak yang buruk. Terkait aksi terorisme, dampak negatif yang dibawa oleh globalisasi ialah memudahkan penyebaran jaringan terorisme global dan modus operandi terorisme yang kian variatif dan modern. Pandemi COVID-19 pun turut andil dalam memengaruhi tren terorisme global ini. Meskipun tampaknya situasi yang disebabkan oleh pandemi telah membatasi ruang gerak bagi teroris dalam melancarkan aksinya, namun realitanya ancaman terorisme justru meningkat di negara-negara yang berada di wilayah rawan konflik.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, dunia internasional harus selalu waspada dan siaga terhadap segala bentuk tren ancaman dan problematika terorisme yang dapat berdampak pada keamanan dan perdamaian internasional, tak terkecuali Indonesia. Meskipun dikatakan sebagai negara dengan medium impact dan memiliki tingkat kedamaian yang tinggi, Indonesia juga harus tetap waspada terhadap berbagai potensi dan ancaman terorisme. Adanya pergeseran paradigma dalam penanggulangan terorisme oleh BNPT pun diharapkan dapat membuat upaya kontraterorisme di Indonesia ke depannya lebih tegas dan efektif dalam menindak segala modus operandi terorisme, terutama KKB di Papua.