Manusia Perak, Pengamen Anak, dan Degradasi Nurani

Caroline Constant
Mahasiswa Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
7 Oktober 2021 20:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Caroline Constant tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Michal Matlon, Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Michal Matlon, Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Keberadaan pengamen, pengemis, dan penjual berbagai macam barang mulai dari tisu, koran, hingga lem Korea di jalanan merupakan sesuatu yang sudah lumrah bagi warga perkotaan di Indonesia. Baik laki-laki maupun perempuan, lansia hingga anak-anak, "pekerjaan" sebagai pengemis dilakoni oleh berbagai macam orang tanpa mengenal batasan.
ADVERTISEMENT
Meningkatnya jumlah pengemis dan pengamen dengan modus yang sama selama bertahun-tahun akhirnya mendorong pengamen-pengamen lain untuk tampil lebih mencolok, lebih menangkap perhatian. Seperti menawarkan performa baru dengan penampilan dari ujung rambut hingga ujung kaki yang mengkilap berwarna silver. Mereka seringkali berpose dan berlagak seperti patung atau robot, umumnya dikenal dengan julukan Manusia Silver. Kehadiran manusia silver yang pada mulanya hanya sebatas pada pemuda hingga remaja pria, sekarang telah dilakoni oleh segala usia, dari anak-anak hingga wanita paruh baya. Lambat laun, kehadiran manusia silver semakin lazim ditemukan oleh warga kota-kota besar. Terlepas dari peringatan dari ahli kesehatan yang tak pernah diindahkan mengenai bahaya cat silver yang mereka pakai. Keberadaan manusia silver yang muncul sebagai upaya untuk membedakan diri dari yang lain, perlahan menjadi suatu modus pengemis yang kini tidak dipandang dua kali lagi oleh para pengendara yang berhenti.
ADVERTISEMENT
Namun, hal tersebut berubah pada tanggal 25 September lalu, tatkala Satpol PP dikejutkan oleh bayi 10 bulan yang ditemukan dengan kondisi badan berwarna silver. Menurut pengamatan, hal ini terjadi sebab terhimpit kebutuhan ekonomi, sehingga oknum tersebut menggunakan kreativitasnya dengan mempertaruhkan kesehatan bayi tersebut untuk mencari nafkah.
Penemuan di Pamulang, Tangerang Selatan ini menyoroti tindakan keji yang termasuk eksploitasi anak yang sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu. Eksploitasi anak merupakan masalah yang tidak ada habisnya di Indonesia. Kasus eksploitasi anak ini adalah salah satu bentuk pelanggaran hak anak yang paling sering ditemukan di negara kita. Hal ini tentunya memunculkan banyak pertanyaan-pertanyaan, karena pada dasarnya, anak-anak merupakan kelompok rentan. Maka, seharusnya ada suatu instrumen hukum untuk melindungi hak mereka baik dari pemerintah dengan berupa peraturan perundang-undangan atau melalui badan seperti KPAI untuk menghindari kejadian seperti ini. Lebih-lebih, mengapa negara terus membiarkan hal-hal seperti ini terjadi berulang-ulang meskipun eksploitasi terhadap anak semakin marak terjadi?
ADVERTISEMENT
Hak Asasi Anak dan perlindungan Hak tersebut oleh Negara
Banyak sekali instrumen HAM internasional yang membahas dan mengatur mengenai hak-hak asasi anak. Pertama, ada Convention on the Rights of the Child (CRC) dan Convention No. 182 on the Worst Forms of Child Labour. Indonesia telah meratifikasi instrumen-instrumen HAM internasional, yang berarti Indonesia tunduk kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh konvensi-konvensi tersebut. Salah satu di antaranya adalah Pasal 19 ayat (1) dari CRC yang mewajibkan negara pihak untuk mengambil tindakan yang dapat melindungi anak dari eksploitasi yang dilakukan oleh orang tua, wali, atau orang lain yang merawat anak tersebut. Selain itu, dalam ILO Convention on the Worst Forms of Child Labour, pada Pasal 1 dijelaskan bahwa negara pihak harus menghapuskan tindakan yang oleh ILO dianggap sebagai ‘Worst Forms of Child Labour’ yang diterangkan lebih lanjut dalam Pasal 3 huruf (d) bahwa salah satu bentuk pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keamanan, dan moral dari anak tersebut. Eksploitasi anak juga diatur oleh instrumen nasional, dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 76I bahwa “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh, melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan atau seksual terhadap anak.” Penjelasan angka 43 kurang lebih menjelaskan eksploitasi anak sebagai tindakan yang memanfaatkan tenaga atau kemampuan anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil. Berdasarkan penjelasan dari pasal-pasal UU dan Konvensi, dapat kita simpulkan dengan pasti bahwa memaksa maupun mengajak anak untuk ikut mengemis, atau menggunakan anak sebagai properti yang mengundang empati adalah bentuk pelanggaran hak anak.
ADVERTISEMENT
Jika eksploitasi anak sudah secara jelas diatur baik dalam instrumen hukum internasional maupun nasional, mengapa negara seakan-akan membiarkan pelanggaran ini terjadi, bahkan setelah berkali-kali ada eskalasi yang dilakukan dengan menyampingkan hak anak? Dari anak-anak yang dipaksa berhenti sekolah, bayi hingga balita yang diberi obat-obatan, dan sekarang bayi yang dilumuri cat silver. Hal-hal yang dipaksakan oleh pihak lain kepada anak-anak bahkan bayi untuk mendapatkan recehan saat mengemis di jalan terus saja berkembang menjadi semakin parah, dan semua ini terjadi tanpa adanya perubahan signifikan untuk perlindungan yang diberikan kepada mereka. Terlebih lagi, mengingat bahwa akar permasalahan dari keberadaan pengemis/orang jalanan adalah kemiskinan, ditambah dengan datangnya pandemi COVID-19 di Indonesia, membuat keadaan menjadi semakin gawat. Usaha pemerintah untuk menangani kasus-kasus pengemis anak juga belum maksimal.
ADVERTISEMENT
Mengutip SindoNews, KPAI menyatakan, dari survei dan evaluasi yang telah dilakukan, mereka masih menganggap bahwa SOP yang dijalankan pemerintah dalam menangani kasus penangkapan anak-anak jalanan belum maksimal, mengingat rehabilitasi belum menjadi solusi yang permanen sebab masih banyak pengemis yang kembali mencari nafkah di jalanan setelah ia direhabilitasi. Selain itu, KPAI juga menganggap bahwa pemerintah belum menaruh perhatian yang cukup dalam permasalahan ini, Jasra Putra, Kepala Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi KPAI, mengatakan bahwa berdasarkan Evaluasi Kota Layak Anak, Jasra menyatakan bahwa pemerintah belum bisa menangani secara serius dan tuntas permasalahan-permasalahan terkait dengan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Walaupun dalam kasus kali ini, bayi yang malang tersebut langsung ditanggapi secara sigap dan keduanya, baik orang tua maupun bayinya masing-masing telah ditangani oleh Dinas Sosial dan bahkan Kementerian Sosial. Sayangnya, tidak semua pengemis anak mendapatkan nasib yang sama. Mengutip dari The Jakarta Post, Kemensos sendiri mengatakan bahwa pada tahun 2018 ada lebih dari 16.000 anak jalanan di Indonesia, belasan ribu anak tersebut atau bahkan sekarang lebih masih menjadi korban dari eksploitasi anak. Menurut saya pribadi, situasi ini secara menyeluruh adalah tanda peringatan keras bagi pemerintah untuk terus meningkatkan usaha-usaha perlindungan hak-hak anak. Bagaimanapun, negara yang memegang kewajiban HAM. Di mana ia bukan hanya diwajibkan untuk melindungi HAM, namun juga untuk menghormati dan memenuhi HAM. Dari kasus ini, saya dapat menyimpulkan bahwa negara perlu melakukan perubahan atau pembaharuan mengenai peraturan yang ada dalam mengatasi masalah pengemis anak-anak. Semakin meningkatnya intensitas tindakan keji yang dilakukan pihak lain kepada anak-anak merupakan bukti utama bahwa instrumen hukum yang berlaku saat ini tidak memadai, dan negara perlu dengan segera melakukan kewajibannya untuk memenuhi hak asasi rakyat-rakyatnya, terlebih lagi hak anak-anak yang sangat rentan.
ADVERTISEMENT