Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Musik Era Digital dan Makin Langkanya Album Fisik
9 Maret 2017 8:03 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Meski penetapan hari musik nasional baru diresmikan oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden Nomor 10 tahun 2013, tanggal 9 Maret tentu patut diperingati sebagai hari besar industri musik di Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Hari Musik Nasional bertepatan dengan hari kelahiran Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu kebangsaan 'Indonesia Raya'. Meski demikian, ia tidak sempat menyaksikan lagu tersebut dinyanyikan saat teks proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945. WR Soepratman sudah lebih dulu berpulang ke Yang Maha Kuasa pada tahun 1938.
Selama 5 tahun terakhir, banyak perubahan yang terjadi di industri musik Indonesia. Masuknya era digital ke Indonesia tentu memberi banyak dampak, baik positif maupun negatif terhadap industri yang satu ini.
Perubahan itu dirasakan sendiri oleh para pelaku dunia musik, yakni para musisi. Vokalis Gigi, Armand Maulana, dan salah satu anggota Project Pop, Yosi, contohnya. Ia mengakui bahwa bentuk fisik sebuah album kini sudah tidak laku. Bahkan, hampir menghilang.
ADVERTISEMENT
"Sekarang zaman sudah digital. Ada istilah sharing dan ada istilah streaming yang legal," ucap Armand ketika dihubungi kumparan.
Begitu juga dengan Yosi yang membenarkan perkembangan teknologi sangat mempengaruhi perkembangan industri musik, mulai dari analog hingga digital. Semakin ke sini, bentuk fisik sebuah album juga semakin tidak dicari.
"Sudah ada music store digital, jadi sudah enggak mencari lagi bentuk fisiknya," ujar Yosi pada kumparan.
Berbeda dengan Rinni Wulandari, juara satu Indonesian Idol musim ke-4. Berubahnya industri musik di Tanah Air membuatnya tidak berani mengeluarkan album fisik. Padahal, ia mengakui bahwa bentuk fisik sebuah album musik adalah sebuah mahakarya.
"Jujur, aku enggak berani mengeluarkan album fisik karena kita enggak tahu dimana untung dan ruginya. Aku takut albumku dibajak, sedangkan gara-gara pembajakan, produksi fisik hampir musnah," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, ia bersyukur era digital sudah masuk ke Indonesia dan memberi dampak positif.
"Orang-orang semakin banyak berlangganan layanan streaming lagu. Jadi, itu agak menurunkan angka pembajakan kalau menurutku," ujar Rinni.
Selain Armand, Yosi, dan Rini, Triawan Munaf selaku Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia juga mengakuinya. Ia sadar, dunia tengah menghadapi perubahan musik, terutama dari cara menikmatinya.
"Cara orang-orang mengonsumsi musik berubah. Mulai dari beli CD, download musik, hingga streaming," tuturnya pada kumparan.
Raksasa-raksasa yang merupakan pelaku bisnis yang mengapresiasi para musisi, yakni label musik juga memberi anggukan pada era digital. Warner Music Indonesia, misalnya.
"Sekarang ada layanan streaming premium seperti Spotify, Joox, Yonder ataupun yang lain. Beberapa di antaranya bisa dinikmati secara gratis. Tinggal register dengan mudahnya, kita bisa menikmati sekitar 30 juta lagu yang ada, mulai dari lagu zaman dulu sampai sekarang," ujar Toto Widjojo, Managing Director Warner Music Indonesia pada kumparan.
ADVERTISEMENT
Toto menambahkan, kalaupun berbayar, layanan premiumnya juga tidak mahal. Hanya membayar sekitar Rp 50.000,- per bulan, orang-orang sudah bisa menikmati berpuluh-puluh juta lagu melalui layanan streaming.
"Jadi, yang biasa membajak, lupakan saja kebiasaan itu. Mari nikmati layanan yang legal," tambahnya.
Dari segi bisnis, Toto yakin kalau layanan streaming semakin populer, maka industri musik di Indonesia akan semakin maju seperti zaman CD dan kaset yang berjaya kala itu. Karena dengan kehadiran layanan streaming, untuk pertama kalinya di dunia, industri musik mengalami pertumbuhan yang luar biasa sejak 12 tahun terakhir.
Layanan streaming musik asal Swedia, Spotify, mengungkapkan dalam konferensi Data For Life 2016 di Jakarta pada akhir tahun lalu bahwa terjadi penurunan untuk pembelian musik dalam bentuk fisik (CD dan kaset) dan jumlah unduhan sejak tahun 2012. Penurunan ini diprediksi akan terus berjalan hingga tahun 2020.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pengguna layanan musik streaming semakin bertambah dengan pesat. Di tahun 2015, pendapatan dari layanan tersebut telah mencapai 15 miliar dolar AS dan sekitar 45 persennya berasal dari musik digital.
Di Indonesia sendiri, Spotify telah digunakan lebih dari 1,1 miliar menit di lima bulan pertama.
Ya, orang-orang mulai beralih dari versi fisik ke versi digital. Lebih mudah, lebih praktis, and just one click away, membuat penampakkan CD dan bentuk fisik sebuah album menjadi jarang.
Meski demikian, label Sony Music Entertainment masih menganggap penting bentuk fisik sebuah album musik. Meski sudah waktunya beralih ke dunia digital, salah satu label musik terbesar di Indonesia itu terus mencari cara bagaimana cara mendistribusikan musik seorang musisi menggunakan album fisik agar tetap dinikmati masyarakat.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, tercetus ide kreatif yang menjadikan Sony Music Entertainment sebagai pelopor ide tersebut; menjual CD di restoran cepat saji. Tentu saja, ide tersebut berangkat dari keprihatinan akan punahnya bentuk fisik sebuah album musik.
"Kemana orang-orang mau beli CD kalau toko-toko yang menjualnya sudah pada tutup? Alternatif lain dari kami, ya, bekerja sama dengan restoran cepat saji," tutur Sundari Mardjuki, Senior Manager Marketing & Communication Sony Music Entertainment Indonesia.
Sundari mengatakan, hasil penjualan CD dari hasil kerja sama dengan restoran cepat saji cukup memuaskan. Pada kumparan, ia mengaku daya beli orang-orang masih tinggi karena memang jalur distribusinya--seperti toko CD--sudah tidak ada.
"Ada cara yang mudah dan terjangkau, bundling dengan makanan, dan itu memudahkan orang untuk membeli. Makanya penjualan CD di restoran cepat saji itu bagus-bagus, jauh dibanding dengan toko-toko tradisional," tambahnya. "Penjualannya stabil dari tahun ke tahun."
ADVERTISEMENT
Namun, penjualan sebuah album juga ditentukan oleh materi album yang dijual, lengkap dengan kualitas musisinya.
"Kalau materinya enggak bagus, ya, orang juga mikir kan, mau beli apa enggak. Kami tentu memikirkan hal itu. Jadi, harus kreatif dalam mencari cara untuk jualan," ujarnya.
Sundari memberi sebuah contoh. Sony Music Entertainment Indonesia kerap bekerja sama untuk sebuah Production House (PH) film untuk soundtrack album film tersebut.
"Itu terbukti sukses, PH-nya happy karena ada kendaraan untuk promo dan lagu-lagunya juga happening. Contoh lain, Isyana Sarasvati dengan produk Cornetto. Kami memproduksi album fisiknya. Tapi, CD fisik itu dibeli pihak brand yang nantinya menjadi activation mereka. Itu sangat bagus. Jadi, fans bisa mendapatkan album Isyana dengan serangkaian activation. Menarik, bukan? CD-nya pun eksklusif dan tidak dijual di mana-mana, lengkap dengan berbagai bonus. Itu yang dicari fans," jelas Sundari.
ADVERTISEMENT
Sony Music Entertainment memang banyak melakukan breakthrough untuk musisi-musisi yang mereka naungi, seperti kolaborasi The Overtunes dan GAC untuk soundtrack 'Cek Toko Sebelah' dan soundtrack film 'Galih & Ratna'.
"Kami punya historical yang bagus. Materi kami buat lebih bagus. Ya, balik lagi ke kualitas produk, artis, dan strategi pemasaran lengkap dengan distribusinya," ucap Sundari.
Sundari mengaku, Sony Music Entertainment bersikap transparan dengan musisi-musisi yang mereka naungi. Ia juga bersyukur para musisi tersebut mengerti dengan kondisi industri musik saat ini.
"Semua sudah ada Standar Operasional Prosedurnya dan artisnya tahu langsung seperti apa prosesnya sejak awal. Musisi-musisi kami paham dengan apa yang terjadi di industri ini. Misalnya, artis yang tidak aktif menggunakan media sosialnya tentu tidak memiliki engagement dengan penggemarnya, sehingga penggemar ogah-ogahan. Jadi. mereka juga harus aktif dan peduli," terang Sundari.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Warner Music Indonesia, label tersebut menjunjung tinggi penjualan secara digital. Menurut Toto, penjualan secara digital sangat berpengaruh dan mengalami peningkatan yang signifikan.
"Penjualan album fisik itu sudah seharusnya berubah. Kalau kata orang kan sejarah pasti berulang. Di tahun 60-an, zamannya piringan hitam. Lalu, di tahun tahun 70-an, berubah jadi kaset. Tahun 80-an di Eropa dan Amerika Serikat, kaset tergantikan CD. Di tahun 2000-an, mulai terganti dengan digital," jelasnya.
Menurutnya, Indonesia harus menerima perubahan tersebut. Ya, CD akan menjadi salah satu barang langka.
"Anak muda sekarang mana ada yang dengar melalui CD? Pasti sudah digital semuanya. Musisi-musisi di bawah naungan kami juga sudah didigitalisasi, baik online maupun mobile. Kami sudah tidak mencetak CD lagi," aku Toto.
ADVERTISEMENT
Namun, Toto mengakui bahwa bekerja sama dengan restoran cepat saji untuk urusan penjualan masih sangat membantu. Tapi, penjualannya hanya dalam jumlah terbatas.
"Menurut saya, sampai sejauh ini masih cukup baik penjualannya. Ada album dari label kami yang dijual disana, yaitu album musik milik band Kotak," ujar Toto.
Ada satu kelemahan jika penjualan karya musik dilakukan secara digital; hak-hak pencipta lagunya semakin kecil. Untuk itu, Triawan Munaf mewakili Bekraf memiliki cara tersendiri agar para musisi mendapat kesejahteraan.
"Kami mendorong para pemusik untuk lebih banyak melakukan seni pertunjukan. Itu harus. Untuk kesejahteraan para pemusik, kami akan cover dengan memfasilitasi menggunakan BPJS Tenaga Kerja dan untuk ke depannya, BPJS Kesehatan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Permasalahan industri musik di Indonesia tidak berhenti di perubahan zamannya, tapi juga dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI/HaKI). Simak di story selanjutnya.