Konten dari Pengguna

Branding Humas Pemerintah: Strategi atau Sekadar Pencitraan?

Cely Julianti
Pranata Humas - Anggota Iprahumas Indonesia
27 Januari 2025 11:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cely Julianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi by freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi by freepik.com
ADVERTISEMENT
Dalam era digital yang semakin dinamis, humas pemerintah memegang peran vital sebagai wajah institusi publik. Tugasnya tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun citra positif di tengah masyarakat. Namun, belakangan muncul kritik yang menyebutkan bahwa aktivitas branding ini lebih banyak terfokus pada pencitraan semata, alih-alih memberikan dampak nyata.
ADVERTISEMENT
Humas pemerintah kerap kali terlihat berlomba-lomba menampilkan kinerja instansi melalui media sosial, siaran pers, atau kampanye publik. Konten-konten yang dihasilkan seringkali didesain menarik secara visual dan naratif, sehingga terlihat seperti strategi pemasaran perusahaan swasta. Pesan-pesan tersebut menyasar semua kalangan, mulai dari generasi muda hingga masyarakat di pedesaan, dengan tujuan membangun persepsi positif terhadap program dan kebijakan yang dijalankan.
Namun, tidak sedikit yang menilai bahwa branding ini terlalu fokus pada kulit luar. Konten sering kali terlihat lebih "wah" dibandingkan dampak kebijakan yang dihasilkan. Misalnya, kampanye besar-besaran tentang pembangunan infrastruktur atau subsidi program sosial seringkali hanya menyajikan angka-angka keberhasilan tanpa disertai transparansi atau laporan evaluasi yang mendalam. Akibatnya, masyarakat mempertanyakan apakah branding ini benar-benar mencerminkan kinerja atau hanya sekadar pencitraan untuk mempertahankan kepercayaan publik.
ADVERTISEMENT
Masalah lain yang sering muncul adalah kurangnya konsistensi antara narasi branding dan realita di lapangan. Di media sosial, pemerintah terlihat mendorong pesan optimisme dan progres, tetapi banyak laporan di lapangan yang mengungkapkan adanya persoalan implementasi, seperti lambannya birokrasi atau kurangnya akses masyarakat terhadap program-program tersebut. Situasi ini menciptakan celah kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat yang semakin kritis.
Tidak bisa dipungkiri bahwa branding dalam humas pemerintah memang penting. Era digital menuntut lembaga publik untuk bersaing di tengah derasnya arus informasi. Jika pemerintah tidak memanfaatkan strategi komunikasi yang menarik, pesan-pesan yang ingin disampaikan bisa tenggelam oleh isu lain yang lebih sensasional. Namun, branding yang terlalu berlebihan tanpa diimbangi dengan hasil nyata justru berisiko merusak kredibilitas.
ADVERTISEMENT
Humas pemerintah juga menghadapi tantangan dalam mengelola ekspektasi publik. Ketika program-program besar dipromosikan dengan slogan-slogan megah, masyarakat cenderung menaruh harapan tinggi. Jika ekspektasi ini tidak terpenuhi, kekecewaan masyarakat akan lebih besar dibandingkan jika pemerintah sejak awal menyampaikan informasi secara realistis dan transparan.
Di sisi lain, beberapa pakar komunikasi menilai bahwa branding semata tidak selalu menjadi hal negatif. Dalam kondisi tertentu, pendekatan ini dapat membantu mempercepat pemahaman masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Dengan narasi yang mudah dicerna, masyarakat lebih cepat memahami tujuan dan manfaat program yang sedang dijalankan. Tantangannya adalah memastikan bahwa narasi ini didukung oleh aksi nyata di lapangan, bukan sekadar janji.
Kemajuan teknologi juga menjadi pedang bermata dua bagi humas pemerintah. Di satu sisi, media sosial memberikan platform yang efektif untuk menjangkau masyarakat secara luas. Di sisi lain, platform ini memungkinkan kritik dan opini negatif menyebar dengan cepat. Jika pesan yang disampaikan oleh humas pemerintah tidak relevan atau dianggap hanya sekadar pencitraan, masyarakat dengan mudah melontarkan kritik secara terbuka. Hal ini dapat memperburuk citra pemerintah alih-alih memperbaikinya.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi isu ini, humas pemerintah perlu mengedepankan pendekatan yang lebih transparan dan berbasis data. Informasi yang disampaikan harus mencakup hasil nyata dan dampak kebijakan yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Selain itu, kolaborasi dengan media independen juga penting untuk menciptakan narasi yang lebih seimbang. Dengan cara ini, humas pemerintah tidak hanya menjadi corong institusi, tetapi juga menjadi jembatan komunikasi yang efektif antara pemerintah dan masyarakat.
Pada akhirnya, branding atau pencitraan hanyalah alat, bukan tujuan. Fokus utama harus tetap pada memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Ketika dampak nyata dari kebijakan pemerintah dirasakan secara langsung, branding yang dilakukan akan secara otomatis membangun kepercayaan tanpa perlu berlebihan. Strategi komunikasi yang baik bukan tentang membuat semuanya terlihat sempurna, tetapi tentang menyampaikan apa adanya dan terus memperbaiki diri sesuai kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pencitraan semata tanpa aksi nyata mungkin dapat menarik perhatian dalam jangka pendek, tetapi untuk membangun kepercayaan jangka panjang, humas pemerintah perlu menempatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sebagai inti dari semua strategi komunikasi mereka. Sebab pada akhirnya, masyarakat tidak hanya melihat apa yang dikatakan, tetapi juga apa yang dilakukan.