Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Cara Memperlakukan Al-Qur’an yang Sudah Rusak
13 September 2021 10:44 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Cerita Santri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Belum lama, warga Parung Serab, Ciledug, Kota Tangerang, dibuat heboh dengan temuan petasan yang diduga dibuat dari kertas bertuliskan Al-Qur’an. Hal tersebut terungkap setelah petasan dibakar di acara hajatan seorang warga. Kejadian terjadi tanggal 11 September 2021 lalu, di Kelurahan Parung Serab, RT 01/06, Ciledug, Kota Tangerang.
ADVERTISEMENT
Sontak kejadian ini membuat geger se-Indonesia. Majelis Ulama Indonesia merespon dengan mengecam perbuatan tersebut, melalui Wakil Sekertaris Jenderal MUI, M. Ziyad. Ia mengatakan bahwa ini adalah sebuah penghinaan terhadap Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan kitab yang mulia. Terdapat tata cara memuliakannya mulai dari penulisan hingga penyimpanan. Bahkan bagi Al-Qur’an yang sudah usang di mana lembarannya bisa berserakan di mana saja. Lebih-lebih untuk lembaran Al-Qur’an yang masih utuh dengan sampul dalam kondisi baik.
Ziyad sekaligus mengungkapkan bagaimana cara memperlakukan lembaran Al-Qur’an yang tercecer. Menurutnya, ada 2 cara, yakni dikubur di tempat yang aman atau dibakar dengan api, bukan diledakkan.
Opsi pertama dipopulerkan oleh Mazhab Hanafi dan Hambali. Al-Hashkafi, salah seorang imam bermazhab Hanafi dalam kitab ad- Durr al-Mukhtar menjelaskan bahwa Al-Qur’an layaknya seorang Muslim, ketika tak lagi bernyawa maka ia akan dikubur di tanah. Sementara lokasi penguburannya bukan berada di jalan yang sering dilalui orang.
ADVERTISEMENT
Imam Ahmad, seperti yang dinukil al-Bahwati dalam kitab Kasyf al-Qanna’, pernah berkisah, ketika itu Abu al-Jauza’ memiliki mushaf usang. Abu al-Jauza’ akhirnya mengubur mushaf tersebut di salah satu sudut masjid.
Cara kedua ialah dibakar. Opsi ini banyak diadopsi di kalangan Mazhab Maliki dan Syafi’i. Dasar pendapat mereka merujuk keputusan Khalifah Usman bin Affan. Ketika itu, seperti yang dinukil dari Imam Bukhari dalam kitab hadits sahihnya, Usman meminta Hafshah menyerahkan mushaf yang ia simpan.
Khalifah ketiga itu pun lantas menginstruksikan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abudurrahman bin al- Harits bin Hisyam untuk mengopi mushaf itu. Setelah proses kodifikasi selesai, Usman memerintahkan mushaf-mushaf yang berada di tangan sejumlah sahabat untuk dibakar. Hal ini ditempuh guna mencari titik mufakat dan penyeragaman mushaf.
ADVERTISEMENT
Peristiwa tersebut oleh Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi Ulumul Qur’an dijadikan sebagai dasar diperbolehkannya membakar mushaf yang rusak. Ia berpandangan, bila lembaran-lembaran itu rusak maka tidak boleh hanya diselamatkan dengan meletakkan di tempat tertentu. Hal ini dikhawatirkan jatuh dan akan terinjak. Opsi menyobek juga kurang tepat. Pasalnya, sobekan masih menyisakan beberapa huruf atau kalimat. Ini bisa lebih fatal akibatnya.
Sementara itu keempat ulama mazhab, Syafi’I, Hanafi, Maliki, dan Hambali, sepakat kalau Al-Qur’an tidak diperkenankan disentuh kecuali dalam kondisi suci. Dinukil dari kitab al-Bahr ar-Raiq, juga ditegaskan larangan memegang mushaf tanpa bersuci, baik mushaf yang telah terbukukan maupun yang tercecer. Karena itu, dalam kondisi bagaimanapun, hendaknya Al-Qur’an kita jaga dengan tuntunan yang sudah disebutkan.
ADVERTISEMENT