Konten Media Partner

Bawa Nama Maluku Utara dalam International Ethnic Music Festival

7 November 2022 15:16 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hasan Ali, pemilik nama panggung Atadengkofia. Foto: Faris Bobero/jalamalut
zoom-in-whitePerbesar
Hasan Ali, pemilik nama panggung Atadengkofia. Foto: Faris Bobero/jalamalut
ADVERTISEMENT
Atadengkofia, nama panggungnya tidak asing lagi di telinga Maluku Utara. Seniman yang tiap saat menggunakan peci itu, bernama lengkap Hasan Ali, pendiri Sanggar Timur Jauh. Saat ini, komunitas yang ia bangun sejak 2012, tengah ikut dalam event International Ethnic Music Festival.
ADVERTISEMENT
Sanggar Timur Jauh adalah salah satu dari lima penampil, yang mewakili Indonesia dalam event internasional ini. Empat penampil lainnya yang diundang Dewan Kesenian Jakarta adalah Rapai Pase Raja Buwah (Aceh), Riau Rhythm (Riau), Kadapat (Bali), dan Sinar Baru (Bogor). Event tersebut akan berlangsung di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 7 hingga 8 November 2022.
“Mereka (International Ethnic Music Festival) menilai, kami layak ikut karena kami membawa musik tradisional yang membawa genre klasik. Anggota kami ada yang underground, metal, original musik tradisi yang sudah sepuh,” ungkap Ata, sapaan akrab, Hasan Ali, ketika dihubungi cermat, Senin (07/11).
“Selain dari Indonesia, kata Ata, ada juga penampil dari Mexiko dan Ecuador. International Ethnic Music Festival yang digelar Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) itu dilaksanakan sebagai ruang apresiasi untuk musik tradisi agar terus bertahan dan beradaptasi dengan kemajuan zaman,” ujar Ata.
ADVERTISEMENT

Rekam Jejak Sanggar Timur Jauh

Sanggar Timur Jauh adalah anak ideologisnya. Didirikan pada April 2012 tanpa bantuan pemerintah, misi edukasi sebagai wadah menjaga kearifan, nilai-nilai kebudayaan itu. Alat-alat musik yang dipakai ia beli dengan uang Hasan Ali. Nama Timur Jauh sendiri ia ambil dari sebuah langgam di dalam sastra lisan Ternate"dolobololo".
“Ada kalimat toma wange bala, algafllun, ma temo gaku gam, yang artinya, di negeri matahari terbit, Timur Jauh, yang terlupakan, namanya Gapi,” kisahnya. Nama itu kemudian setujui oleh para tetua itu kemudian dipakai sebagai nama sanggarnya.
Sampai saat ini, Sanggar Timur Jauh sudah memilki anggota sekitar lebih dari 500 orang. Menariknya, selain memainkan musik tradisional, Sanggar Timur Jauh juga memiliki kelas musik klasik yang dilakukan setiap Sabtu dan Minggu sore.
ADVERTISEMENT
Hasan Ali, seorang honorer itu juga, kerap kali membantu sekolah-sekolah dalam hal pengajaran seni musik tradisional. Mimpinya selama bergelut dalam dunia musik tradisional sudah terwujud setelah menyaksikan bahwa anak muda Ternate masih memiliki minat pada musik moyangnya.
“Mimpi saya yang belum terwujud adalah membangun sekolah musik. Ini sejak 2005. Kala saya dan teman-teman membuat Dodoku Acustic,” ungkapnya.
Ata dan teman-teman saat ini mulai mempelajari kurikulum untuk persiapan membangun mimpi mereka. Ia mengaku, sudah ada dari akademisi yang fokus pada musik, siap membantu mereka. “Kami tidak bisa pungkiri. Apa yang kami bangun dari awal itu, autodidak,” ungkapnya.

Terus Membawa Nama Maluku Utara

Keuletan Ata dan kawan-kawan, membawa nama Maluku Utara ke kancah nasional sudah terekam:
ADVERTISEMENT
“Meski saat itu, tahun 2019 hingga 2021 masih pandemi COVID-19, kami terus berupaya mengikuti event, yang saat itu digelar secara virtual.

Harapan Hasan Ali

Rekam jejak yang dilakukan Hasan Ali dan teman-teman tentu tidak mudah. Selain itu, ada spirit dan cita-cita mereka. Harapan Hasan Ali, musik tradisi harus lebih harus mendunia. Sebab, menurutnya musik tradisional itu tidak terlepas dari ekspansi dan eksistensi leluhur kerajaan Moloku Kieraha, yang mendunia.
“Musik tradisi di Maluku Utara ini masuk dua karakter, dua budaya bangsa. Secara geografis timurnya Melanesia barat Austronesia. Jadi budaya kami itu kaya karena ada Austronesia dan Melanesia. Artinya, musik kami bukan terpengaruh dari itu. Tapi kita punya kedua itu,” katanya.
Menurut Hasan, di Maluku Utara punya Mago, salah satu music ciptaan para leluhur. “Pada Abad ke-15 itu berkembang tari soya-soya. Saat ini, kami di bawah Lembaga Seni Budaya Moloku Kieraha ingin memposisikan bahwa musik tradisional tidak terbelakang. Pendapat yang salah jika menganggap musik tradisional tertinggal,” ungkap Ata.
ADVERTISEMENT
Ata juga menyarankan, agar orang yang melakukan remix music tradisional harus memeriksa dengan cermat. Sebab, banyak yang remix musik tradisional tapi tidak mengetahui makna lirik dari music tersebut. “Salah satu contoh musik dari Weda. Ada yang remix musiknya ke modern tapi tidak tahu kalau lirik dari musik itu adalah zikir, puji-pujian pada sang pencipta,” tambahnya.
Ata bilang, hal itu, bukan berarti ia tidak suka musik modern. Bahkan, katanya, musik tradisional bisa terbantu dengan perkembangan musik modern. Jadi, menurutnya, jika ingin kolaborasi musik, minimal tidak menghilangkan makna lirik dan tepat untuk di-remix.