Cerita Mas Juned Berdagang Pentolan di Ternate Hingga Pagi

Konten Media Partner
25 Maret 2023 12:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mas Juned membungkus pentolan dan tahu isi pesanan konsumen. Foto: La Ode Zulmin
zoom-in-whitePerbesar
Mas Juned membungkus pentolan dan tahu isi pesanan konsumen. Foto: La Ode Zulmin
ADVERTISEMENT
Waktu menunjukkan pukul 01.38 WIT. Udara dingin seakan menikam kulit. Jalanan di seputaran Kota Ternate, Maluku Utara, terlihat sepi.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan pulang dari Sekretariat Forum Studi Independensi di Kelurahan Sasa ke tempat tinggal saya di Asrama Brimob, Kelurahan Ubo-ubo, hanya satu dua sepeda motor yang melintas.
Suasana hening terus menemani perjalanan saat memasuki Fitu hingga Ngade. Dua kelurahan ini memang tak banyak rumah penduduk.
Keheningan mulai tersingkap saat saya memasuki Kelurahan Kalumata dan Kayu Merah yang banyak berdiri rumah warga. Tapi semua penghuni terlelap, nyaris tak ada aktivitas.
Di depan PLTD Kayu Merah, saya mampir sejenak di gerobak pentolan bakso dan tahu milik Mas Juned. Tampak seorang remaja sedang asyik menikmati setusuk pentolan.
Mas Juned tampak enjoy berdagang dengan kemeja batik lengan pendek bermotif biru, hitam, dan kuning yang membungkus tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Kancing kemeja yang sengaja tak dikaitkan membuat kaus merah tua tampak gamblang di bagian dada. Setelan itu dipadu celana kain hitam beralas sendal jepit hitam merk Yeye.
Mas Juned yang kini berusia 49 tahun terlihat gigih, meski wajahnya sedikit berminyak, rambut acak-acakan, serta mata yang hampir redup seolah menyimpan lelah.
Ia duduk menyandarkan tubuh di kursi plastik merek Napollytop hijau muda. Kursinya dialas kardus bekas air kemasan Le Minerale agar sedikit empuk.
Tampak kaki kursinya dipotong ceper hingga nyaris menyentuh tanah. Ini untuk memudahkan Mas Juned meluruskan kaki di saat senggang.
Mas Juned tampak santai di atas kursi cepernya. Foto: La Ode Zulmin
Tiba-tiba sepasang kekasih yang berboncengan menyetop sepeda motornya di depan gerobak pentolan. Mas Juned pun sigap melayani.
Satu persatu pentolan dan tahu isi dimasukkan ke kantong plastik, dilumuri saus pedas. Kemudian diikat dan disodorkan ke pembeli.
ADVERTISEMENT
Usai melayani sepasang kekasih, suara Mas Juned membuyarkan lamunan saya, "Bang, pentolnya dikantongi atau makan di sini?"
"Makan di sini saja, Mas," jawab saya, dengan niat mengulik informasi lebih dalam tentang keberadaan Mas Juned di Ternate.
Mendengar itu, Mas Juned kembali duduk di kursinya. Sementara, saya, mulai melahap satu persatu pentolan dan tahu berisi pentolan.
Saya sangat suka pentolannya. Barangkali juga yang kerap mampir membeli. Pentolan dan sambalnya punya rasa khas yang masih terjaga.
Dalam kesempatan itu, saya menyantap 5 pentolan, 2 tahu isi, dan es nutrisari rasa lemon. Total yang saya bayar Rp 8.000.
Sambil menikmati es nutrisari di atas sebuah sofa bekas, saya mencoba berbasa-basi. Cerita mulai mengalir di seputar usaha Mas Juned.
ADVERTISEMENT
Jual Nasi Goreng hingga Gulung Tikar
Sebelum bertolak ke Ternate, pria berambut lurus itu pernah membuka usaha nasi goreng di Bandung, Jawa Barat, pada usia 19-34 tahun.
Tapi perlahan-lahan gulung tikar karena persaingan ketat. Ia sempat berniat menjual pentolan. Tapi diurungkan dengan alasan yang sama, persaingan.
Singkat cerita, Mas Juned mendapat kabar bahwa ada temannya yang buka usaha pentolan di Ternate. Katanya, usaha tersebut menjanjikan.
Mas Juned pun memutuskan berangkat menemui teman sekampungnya itu. Di Ternate, Mas Juned mulai merintis usahanya bermodal Rp 600.000.
Angka itu berbeda dengan usaha nasi goreng yang membutuhkan modal jutaan. Tapi keuntungan dari usaha pentolan pun tak mengecewakan.
Apalagi di Ternate tak banyak pesaing. Ini memberi peluang baginya. "Kalau sudah bosan dan usia menua, saya akan pulang kampung."
ADVERTISEMENT
Awalnya, Mas Juned berjualan dengan cara memikul barang dagangannya, menyusuri jalanan di Ternate. Itu berlangsung selama 11 tahun.
Setelah mendapat biaya lebih, pada 2019, Mas Juned memutuskan membuat sendiri gerobak sepanjang 1 meter dan lebar 60 centimeter.
Mas Juned sibuk melayani sejumlah pembeli. Foto: La Ode Zulmin
Pria asal Desa Baros, Ketanggungan, Brebes, Jawa Tengah, ini meninggalkan keluarga sekitar 2008 untuk mencari nafkah di Ternate.
Mas Juned pulang kampung bertemu istri dan kedua anaknya hanya 1-2 tahun sekali. "Terakhir saya pulang kampung di 2020," katanya.
Di momentum Ramadhan hingga Idul Fitri, terbesit keinginan Mas Juned untuk pulang. "Tergantung biaya. Kalau tidak ada ya terpaksa lebaran sendiri lagi di sini," ujarnya.
Di Ternate, kata Mas Juned, meski pun bersama kawannya, tapi masing-masing mengurus diri sendiri. "Apalagi soal dagangan," katanya.
ADVERTISEMENT
Asyik ngobrol, tiba-tiba hujan menetes kian deras. Karena tak punya payung, Mas Juned mendorong gerobaknya di samping kios warga.
Dalam kondisi itu, Mas Juned terus melayani pembeli. Salah satu pembeli bernama Taufik Umafagur, kepada saya mengaku sebagai pelanggan dan kawan Mas Juned.
Ia bilang, Mas Juned kerap duduk di kursi pojok kanan kios sampai subuh. "Kalau dagangan laku, pulangnya lebih awal," ucap Taufik.
Tapi Mas Juned menyebut pentolan yang dibuat hanya untuk stok semalam. "Kalau tidak laku mau gimana, rezeki hanya segitu," tuturnya.
Ihwal Mengais Rezeki di Malam Hari
Lalu apa alasan Mas Juned memilih berjualan di larut malam saat orang-orang sedang terlelap, ketimbang siang hari yang ramai?
Setiap pagi, Mas Juned bergegas ke Pasar Bastiong menumpangi angkot dengan tarif Rp 9.000 untuk berbelanja kebutuhan bahan dagangan.
ADVERTISEMENT
Setelah semua tersedia, Ia menyewa mesin penggilingan daging seharga Rp 350 ribu dan mengolah langsung bumbu di Pasar Ikan Bastiong.
Setelah beres, Mas Juned balik ke indekos di Kalumata untuk memasak. Aktivitas ini dimulai pukul 10.00 WIT hingga 16.00 WIT.
Di saat senggang, ia gunakan untuk beristirahat hingga mulai berjualan menjelang magrib. Lokasi mangkal tersebar di dua tempat.
Lokasi pertama di depan kios warga, tepat di sekitar Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan mesin ATM, tak jauh dari indekosnya.
Selepas Isya, Ia berkeliling menyusuri beberapa kelurahan di Ternate Selatan seperti Kayu Merah, Kalumata, Ubo-Ubo, Falajawa Dua, dan Bastiong.
Bila gerobak terparkir di depan PLTD Kayu Merah pukul 22.00 WIT, itu berarti Ia selesai berkeliling dan siap lanjut berdagang hingga menjelang subuh.
ADVERTISEMENT
Dengan aktivitas seharian seperti inilah yang membuat Mas Juned tak punya waktu untuk berjualan pada pagi atau siang hari.
Bagi Mas Juned, ramai dan sepinya pembeli menjadi dinamika sehari-hari. Saat ramai, Ia bisa meraup Rp 500 ribu dalam semalam.
"Kalau sepi kadang hanya Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu. Yah, beginilah. Kadang cepat habis, kadang juga tidak," ucapnya.
Menembus Pagi
Waktu menunjukkan pukul 02.08 WIT. Hujan mulai mereda. Gerobak kembali ditarik ke sisi jalan. Satu dua orang datang membeli. Mas Juned pun kembali melayani.
Di waktu bersamaan, 5 anak muda datang secara sempoyongan. Dari raut wajah mereka bisa ditebak baru saja meneguk minuman keras.
Tapi Mas Juned tak cemas sedikit pun. Ia mengaku pernah diancam saat berjualan. Tapi tidak sampai pada pemukulan.
ADVERTISEMENT
"Di sini orang-orang takut salah, jadi mereka tidak akan mengganggu orang yang tidak punya salah," kata Mas Juned.
Berbeda dengan kota-kota besar. Tanpa berbuat salah pun ditampar. "Sejauh yang saya alami mereka hanya menggertak saja," ucapnya.
Bagi sebagian orang, Ternate adalah kota paling aman. Ini yang membuat Mas Juned bebas berjualan di jalanan sampai larut malam.
Jarum jam pun menunjukkan pukul 03.09 WIT. Tapi Mas Juned masih terlihat berusaha terjaga. Sebab masih banyak pentolan dan tahu yang tersisa.
Ia mengaku tidak bisa membedakan pendapatan di awal merintis usaha ini hingga sekarang. "Dari dulu Rp 500 ribu kalau ramai," ucapnya.
Jika dalam sebulan, Juned bisa meraup Rp 15 juta. "Kalau rata-rata Rp 300 ribu dalam sehari, maka sebulan bisa Rp 9 juta," katanya.
ADVERTISEMENT
Sesaat kemudian, dua gadis datang memborong habis dagangan Mas Juned. Tapi Mas Juned belum segera beranjak pulang.
"Saya rehat sebentar dulu," ucap Mas Juned, sembari sandarkan tubuh ke kursi cepernya. Saya pun pamit.
---
La Ode Zulmin