Jejak Bangsa Spanyol dan Portugal di Tidore

Konten Media Partner
2 Agustus 2020 14:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Foto udara Benteng Tahula di Kelurahan Soasio, Tidore Kepulauan. Foto: Faris Bobero/cermat
zoom-in-whitePerbesar
Foto udara Benteng Tahula di Kelurahan Soasio, Tidore Kepulauan. Foto: Faris Bobero/cermat
ADVERTISEMENT
Aroma cengkeh (Syzygium aromaticum) dan pala (Myristica- fragrans) di gugusan pulau Kecil di Kepulauan Maluku telah menjadi saksi sejarah hegemoni rempah oleh bangsa-bangsa besar. Hingga sekarang, jejak hegemoni oleh bangsa asing itu masih bisa kita jumpai di Pulau Ternate dan Tidore.
ADVERTISEMENT
Sejak abad ke-16, Bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda saling berebut ingin menguasai jalur rempah. Monopoli perdagangan memuncak. Wangi rempah pun berbuah petaka di kepulauan rempah Maluku ( Ternate, Tidore, Moti, dan Bacan). Perebutan penguasaan ini karena rempah-rempah saat itu menjadi komoditi penting dalam pasar internasional.
Kondisi Benteng Tahula terlihat dari atas. Foto: Faris Bobero/cermat
Pada Sabtu (01/8), tepatnya hari kedua Lebaran Idul Adha 1441 Hijriah, saya berkesempatan bepergian dari Ternate ke Tidore, melihat jejak benteng peninggalan Spanyol dan Portugal, di sana.
Pagi itu, beberapa speed boat di Pelabuhan Bastiong, Ternate, sudah dipenuhi penumpang yang berdesakkan, meski di masa pandemi COVID-19. Suasana terlihat seperti lebaran pada tahun sebelumnya, orang antar pulau saling mengunjungi ke kerabat dan saudara mereka. Kebanyakan warga terlihat tak menggunakan masker. Tak lagi ada petugas kesehatan yang berjaga di pelabuhan.
Susana Kota Tidore dilihat dari atas Benteng Tahula. Foto: Faris Bobero/cermat
Karena speed boat reguler penuh sesak, saya dan salah satu teman senior, Handi, memilih menyewa speed boat, sekadar menjaga jarak, menyesuasikan dengan protokol kesehatan. Untuk speed boat reguler, biasanya perorang membayar Rp10 ribu. Namun, jika menyewa speed boat, Anda harus mengeluarkan uang Rp100 ribu sampai Rp135 ribu. Perjalanan saat itu hanya memakan waktu 8 menit, untuk tiba di pelabuhan Rum, Tidore.
ADVERTISEMENT
Di Rum, kami menyewa mobil, untuk diantar keliling Pulau Tidore seharga Rp350 ribu, untuk menyinggahi beberapa benteng, Kedaton Kesultanan Tidore, Ziara Makam Sultan Nuku, lalu makan siang sebentar, dan setelah itu kami balik ke Ternate sekira pada pukul 13.00 WIT.
Kurang lebih 20 menit perjalan, kami tiba di Kelurahan Soasio, Tidore Kepulauan. Di samping kiri terlihat tebing bebatuan besar. Ada kurang-lebih 100 anak tangga untuk naik ke sana. Di atas tebing itu, masih berdiri kokoh fondasi benteng peninggalan Spanyol. Benteng Tahula namanya.
Tak ada penjaga di sini. Kami menuju tengah benteng. Ada dua makam di sana. Tak ada keterangan siapa yang bersemayam di situ.
Salah satu makam yang berada di tengah Benteng Tahula. Foto: Faris Bobero/cermat
Irfan Ahmad, Pengajar Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun Ternate, Senin (02/8) mengatakan, Benteng Tahula atau Tohula ini dibangun pada tahun 1610 dan selesai pada tahun 1615, kemudian diberinama Santiago de los Cabaileros, oleh Gubernur Don Jeronimo de Silva (1612-1617).
ADVERTISEMENT
“Benteng ini dibangun pada saat Sultan Mole Majimu (1599-1626). Fungsi dari benteng ini adalah sebagai benteng pertahanan sekaligus sebagai benteng pengintai orang Spanyol,” Kata Irfan, yang juga sebagai peneliti di Yayasan The Tebings.
Kondisi Makam yang berada di tengah Benteng Tahula. Foto: Faris Bobero/cermat
Setelah kepergian Spanyol pada 1707, Belanda mengambil alih pemerintahan di Tidore, Benteng Tahula atau dikenal dengan Kota Tahula, sempat diminta oleh pemerintah Kolonial Belanda agar dibongkar. Karena ada ketakutan orang Belanda, bila sewaktu-waktu orang Spanyol akan datang dan menempati.
“Akan tetapi, permintaan ini ditolak oleh Sultan Hamzah Facroedin (1659-1700), dengan alasan Sultan sendiri ingin menempati benteng tersebut. “Dan sejarah mencatat, di masa Sultan Hamzah, pemerintahan Tidore dijalankan dalam benteng ini. Itulah kenapa, bagian kanan (posisi berdiri menghadap laut) terdapat jejak pemukiman. Dugaan, pemukiman ini adalah para kuwala (serdadu) yang ikut menempati benteng untuk menjaga keselamatan sultan Tidore, waktu itu. Bahkan semasa Nuku menjadi sultan Tidore ((1797-1805) Benteng Tahula berdiri, sering dijadikan kediamannya untuk beristrahat sambil memantau lalu-lintas kapal dari arah benteng,” kata Irfan.
Makam Sultan Nuku. Foto: Faris Bobero/cermat
Angin berhembus pelan dari arah laut. Suasana jalan dalam Kota Tidore terlihat lengang dari atas benteng Tahula. Pulau Halmahera pun terlihat jelas dari kejahuan. Setelah memotret Suasana ini, kami pun turun dari benteng, lalu berjiarah ke makam Sultan Nuku.
ADVERTISEMENT
Setelah dari itu, kami mengunjungi lokasi Kadaton Kesultanan Tidore. Bendera Kesultanan tak berkibar. Kata sopir yang mengantar kami, jika bendera tak berkibar, itu tandanya Sultan Tidore lagi berada di luar daerah.
Handi, salah satu warga Aceh, saat berkunjung ke Kedaton Kesultanan Tidore. Foto: Faris Bobero/cermat
Biasanya, meski Sultan lagi keluar, para pengunjung bisa diajak masuk oleh penjaga Kadatan ke dalam. Sekedar melihat beberapa peninggalan.
Kadaton Kesultanan Tidore berlatar gunung Kiebatubu. Foto: Faris Bobero/cermat
Kami pun menuju Benteng Torre, benteng yang dibangun pada 1578 atas permintaan Sancho de Vasconcelos, di masa Sultan Tidore Iskandar Sani (1569-1586) berkuasa. Pembangunan benteng ini bertepatan dengan hari Epiphany. Menurut Irfan, Hari Empiphany adalah Hari Raya Penampakan Tuhan--sebuah hari raya keagamaan bagi kristen Katolik.
Benteng Torre di Tidore. Foto: Faris Bobero/cermat
Berbeda dengan Benteng Tahula yang dibangun Spanyol. Benteng Torre sendiri dibangun oleh Portugal dan diberi nama oleh dan Tome de Torres.. “Hingga Belanda bersama pasukan Ternate berhasil merebut dan menempati benteng tersebut dan berhasil mengambil mesiu satu gudang milik orang Portugis.
ADVERTISEMENT
“Sayangnya, sejauh ini benteng tersebut jarang terdokumentasi dalam sumber-sumber Portugis maupun Belanda, sekalipun benteng ini merupakan benteng Portugis yang pertama kali dibuat di Tidore sebagai benteng pertahanan dan pengintai bagi aktivitas Sultan Tidore,” tambah Irfan.
Kondisi Benteng Tore dilihat dari udara. Foto: Faris Bobero/cermat
Selain itu, ada salah satu Benteng peninggalan Spanyol, dibangun sebagai penanda orang Spanyol pertama sekali turun berlabu di Tidore. Benteng San Joseph de Chobo namnaya, dibangun pada 1637 oleh orang Spanyol, belakangan sebagian besar sumber menyebut sebagai benteng Cobo atau Tjsobbe. Pembangunan benteng ini sejak Sultan Tidore, Kaicil Gorontalo (1633-1653) berkuasa.
Benteng ini terletak di atas bukit yang curam, benteng ini difungsikan sebagai benteng pertahanan yang paling kokoh karena dapat mengontrol Selat antara Tidore dan Halmaheira sekaligus dapat mengintai pulau Ternate. Orang Spanyol meninggalkan benteng ini pada 1640. “Orang Ternate dan orang Belanda pernah menempati benteng ini pada 1664, kemudian Belanda mengambil alih benteng tersebut pada 1666 dan diberikan pada Sultan Tidore untuk dijadikan barak para prajurit,” kata Irfan.
Beberapa pengunjung terlihat berkunjung ke Benteng Torre di Tidore. Foto: Faris Bobero/cermat
Pada tahun 1700 benteng Tjsobbe mengalami rusak yang cukup parah, mulai saat itu, benteng ini tidak lagi mendapat perhatian serius dan pada 1928 sebagain benteng mengalami rusak total karena tidak terawat, dan terakhir didokumentasi oleh Van de Wall pada 1928. “Pada laporan tersebut, Van Wall menemukan bahwa, kerusakan benteng secarah total, disebabkan oleh masyarakat untuk menghapus jejak satu kejadian penting yang pernah terjadi di benteng tersebut,” tambah Irfan.
Irfan Ahmad, Pengajar Ilmu Sejarah di FIB Unkhair Ternate, Peneliti di Yayasan The Tebings. Sketsa Disain: April dan Faris Bobero
Irfan bilang, banyak tinggalan Portugis, Spanyol, maupun Belanda di Tidore, sayangnya bentuk pengelolaan belum maksimal, contoh misalnya plang, sebagai papan informasi benteng juga tidak ada. Padahal, sebagian besar orang berkunjung ingin mengetahui informasi yang jelas terkait dengan narasi benteng.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
“Yang menyedihkan lagi kondisi benteng Tjsobbe yang tidak ada perhatian sama sekali, benar memang kita tidak perlu lagi buat atau revitalisasi benteng tersebut, tapi paling tidak pemerintah terkait harus memiliki denah atau gambar benteng yang boleh didapatkan dibeberapa perpustakaan Eropa. Ini penting karena tidak lama lagi Pemerintah Tidore akan mengelar Sail Tidore dan melibatkan berbagai negara, terutama orang Spanyol. Oleh karena itu, semua plang harus terdapat disetiap benteng yang memuat tentang UU CB dan sedikit informasi tentang benteng tersebut,” ujarnya.