Bukan Opor Ayam Buatan Mama

Chairunisa Rohadi
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
17 Mei 2021 12:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chairunisa Rohadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi opor ayam (kumparan.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi opor ayam (kumparan.com)
ADVERTISEMENT
Suara sahutan takbir dalam menyambut 1 Syawal 1442 Hijriah meramaikan langit malam. Sudah lewat pukul delapan malam saat gadis yang baru menjalani perkuliahan semester empat tersebut memutuskan memasak guna menyemarakkan tradisi sebagaimana biasanya. Tradisi biasa yang kini berbeda.
ADVERTISEMENT
Panggil saja dia Indah, mahasiswa Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta yang kini hidup berdua kakak laki-lakinya menutup Ramadhan 2021 ini. Belum genap dua minggu usai kabar duka menyelimuti, ia mengaku jauh lebih getir dalam situasi yang seharusnya penuh semarak sebagaimana Idul Fitri.
Sang ibu pergi ke pangkuan Ilahi di awal Mei setelah satu minggu di rawat akibat positif terserang virus COVID-19. Pandemi yang sudah terjadi lebih dari satu tahun, dan baru benar-benar menemui keluarganya hingga merenggut ibu dari sisinya.
“Pas awal positif terus ternyata drop, langsung dirujuk ke RS Marinir Cilandak, tapi karena fasilitasnya kurang akhirnya dirujuk lagi ke RS. Pasar Rebo,” ungkap Indah menjelaskan situasi pertama kali.
Satu minggu yang sudah terasa sepi selagi sang ibu dirawat. Bahkan komunikasi tetap sulit terjalin karena ibunya harus benar-benar beristirahat. Siang itu pada Sabtu 1 Mei 2021, Indah sangat bersyukur ibunya yang sudah masuk ke ruang ICU justru menerima panggilannya. Nampak jauh lebih baik dari semula, Indah berharap bisa mendapati kabar pulih orang tua satu-satunya yang tersisa.
ADVERTISEMENT
Sebab sudah dua tahun berlalu pula sang ayah wafat dalam ruang perawatan serupa, akibat sakit tua yang dideritanya. Indah bahkan masih berada di sekolah kala itu. Ia hanya bisa meratapi melihat jasad sang ayah yang siap dikebumikan kala itu.
Namun sebagaimana ungkapan pemberi tegar, Tuhan lebih menyayangi mereka yang meninggalkan. Ahad pukul dua pagi saat orang lain masih dalam lelap, bahkan belum terbangun menemui waktu sahur. Duka menyelimuti kakak beradik yang tinggal tak jauh dari kompleks Universitas Indonesia tersebut.
“Abang masih berusaha bersikap tenang dan nyuruh aku tidur lagi, tapi aku tau hatinya dia pasti sedih banget,” cerita Indah diselingi tangis mengenang.
Usai dua minggu berlalu dalam segenap kenangan di rumah, baik Indah dan abangnya sudah membenahi rumah. Berusaha menyembunyikan barang-barang yang bisa membuka rindu dan berlanjut kesedihan.
ADVERTISEMENT
“Sekarang sebenarnya kami sudah berusaha ikhlas, sudah waktunya Mama pergi. Untuk rezeki, alhamdulillah masih ada dan kami juga berusaha semampu kami saat ini. Keluarga besar minta tinggal sama mereka, tapi aku dan abang sudah yakin bisa mandiri,” lanjut Indah dengan wajah jauh lebih tegar.
Mengenai tradisi lebaran yang berusaha tetap dihidupkannya meski seadanya saja, adalah opor ayam yang selalu dimasak sang ibu. Dibanding rasa pilu, ia mengaku lebih menyesal karena seumur hidup bersama ibunya belum sempat ia belajar memasak. Hal yang sering dilakukannya sebatas membantu berbelanja di pasar.
“Setidaknya semoga mama ngeliat, anak-anaknya sudah berusaha lebih dewasa. Walaupun sebenarnya aku merasa, aku belum bisa dilepas dari bimbingan mama,” ucap Indah.
ADVERTISEMENT
Opor ayam pertamanya tanpa ada campur tangan sang mama, bagi Indah barangkali jadi awal baru dalam hidupnya yang penuh akan makna. Bahwa sesedih apapun hidup, tanpa lagi orang tua mendampingi, Indah tetap bisa melangkah untuk menunjukkan pada mereka yang sudah pergi. Bahwa ia tak gagal, ia tak patah arang. (CR)