Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Aborsi dan Hukumnya di Indonesia: Opsi Legal bagi Korban Kekerasan Seksual?
2 Oktober 2022 22:03 WIB
Tulisan dari Chelsea Raphael Rajagukguk tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia sudah memasuki status darurat kekerasan seksual . Tetapi, pemerintah seakan-akan kurang menanggapi permasalahan tersebut dengan serius. Hal ini dapat dibuktikan melalui data Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang dirilis oleh International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) pada bulan September 2020 silam. Lima puluh tujuh persen dari 1.586 responden survei yang merupakan korban kekerasan seksual mengaku bahwa kasus yang mereka laporkan tidak diselesaikan oleh penegak hukum, sedangkan responden lain mengatakan bahwa solusi yang ditawarkan adalah dengan menerima sejumlah uang dari pelaku (39,9%), menikah dengan pelaku (26,2%), berdamai secara kekeluargaan dengan pelaku (23,8%), dan pemenjaraan pelaku (19,2%).
ADVERTISEMENT
Secara umum, kekerasan seksual dapat didefinisikan sebagai setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal. Salah satu konsekuensi terbesar yang berpotensi untuk ditanggung oleh korban adalah kehamilan tidak diinginkan (KTD), yang kemudian menyebabkan munculnya tekanan psikologis akibat sanksi sosial, putus sekolah, kerentanan terhadap gangguan kesehatan organ reproduksi, perasaan malu hingga depresi, sensitif atau mudah marah, serta dilaksanakannya tindakan aborsi yang dapat menyebabkan terjadinya mandul hingga kematian.
Aborsi merupakan kegiatan pengguguran kandungan yang biasanya dilakukan pada trimester pertama , yaitu pada umur kehamilan kurang dari 22 minggu. Apabila dilihat secara sekilas, aborsi adalah tindakan pembunuhan. Akan tetapi, dalam hal ini, kehamilan dan eksistensi janin justru membahayakan sang ibu secara fisik maupun mental. Lantas, apakah aborsi dapat menjadi pilihan bagi korban kekerasan seksual di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Mengingat bahwa aborsi adalah tindakan untuk menghentikan pertumbuhan dan perkembangan janin, Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap anak, terhitung sejak ia berada dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Statusnya sebagai manusia pun tercatat dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan bahwa janin atau seorang anak dianggap telah lahir atau dinyatakan sah sebagai subjek hukum apabila terdapat kepentingan hak waris yang mengehendakinya sebagaimana diatur lebih lanjut melalui Pasal 836 dan pasal 899 KUHPer. Tidak hanya itu, hak janin pun dilindungi oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melalui Pasal 299, 346, 348, dan 349 yang salah satunya mendefinisikan aborsi sebagai tindakan pengguguran kandungan yang dilakukan secara sengaja, sehingga dapat berakibat pidana penjara bagi pelakunya.
ADVERTISEMENT
Melalui pernyataan di atas, tentu dapat dengan mudah disimpulkan bahwa aborsi bukanlah tindakan yang didukung oleh hukum di Indonesia. Akan tetapi, memahami bahwa korban adalah pihak yang harus dilindungi dan dibantu dalam suatu tindakan kekerasan seksual, tindakan tersebut dapat mengacu pada Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa larangan terhadap aborsi dikecualikan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
ADVERTISEMENT
Adanya perundang-undangan ini tentu dibentuk untuk memfasilitasi para korban kekerasan seksual yang mengalami KTD untuk mendapatkan akses aborsi legal yang prosedurnya pun dilaksanakan dengan aman, sehingga hak korban untuk hidup dengan layak dapat terpenuhi sebagaimana mestinya. Memang, peraturannya seakan-akan berdiri sendiri dan kurang didukung, tetapi adanya perundang-undangan lain yang mendukung sudah cukup untuk memberikan aborsi sebagai opsi bagi korban kekerasan seksual.
Penulis pun percaya bahwa aborsi bukanlah hanya sekadar pilihan, melainkan merupakan sebuah hak bagi para korban kekerasan seksual yang seharusnya difasilitasi dengan perlengkapan medis yang memadai dan dibimbing secara penuh oleh psikolog. Terlepas dari aspek hukum, hak untuk melakukan aborsi pun akan menghindari hal-hal negatif yang berpotensi dialami oleh sang anak kedepannya, seperti kekurangan gizi karena ketidakmampuan sang ibu untuk memenuhi kebutuhannya secara ekonomis, perkembangan yang tidak optimal karena ketidakcakapan ibu untuk merawat seorang anak, kurangnya perlindungan dan kasih sayang orang tua karena ketidaksanggupan ibu secara psikis untuk mendukung mentalitas sang anak, serta lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sebagai kesimpulan, aborsi merupakan tindakan ilegal, tetapi dikecualikan kepada para korban kekerasan seksual. Walaupun lebih banyak perundang-undangan Indonesia yang melarang keras tindakan aborsi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dihadirkan untuk melindungi dan membantu korban kekerasan seksual. Dengan demikian, aborsi dapat dijadikan sebagai opsi, tetapi tindakannya haruslah dilakukan secara legal dan melalui prosedur kesehatan yang benar. Untuk itu, pemerintah dapat meningkatkan fasilitas medis dan memberikan bantuan psikologis pula bagi korban yang bersangkutan.