Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.2
Konten dari Pengguna
Dominus Litis, Hakim PP dan Perlindungan HAM Dalam Pembaharuan KUHAP
24 Februari 2025 12:53 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Chessa Ario Jani Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Menurut berita pada dua atau empat hari belakangan, rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) jadi inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) namun publik mengalami kesulitan akses naskah akademik (NA) dan draf RUU KUHAP.
ADVERTISEMENT
Disisi lain, masih menurut berita bahwa berkenaan dengan isi/konten RUU KUHAP yakni pihak Pemerintah c.q. Wakil Menteri Hukum Eddy O. S. Hiariej menyatakan ketidaksetujuannya perihal konsep hakim pemeriksan pendahuluan (hakim PP) dengan argumentasi banyaknya beban perkara bagi pengadilan, luas geografis wilayah Indonesia dan jangka waktu yang ketat.
Akan tetapi, apa konteks atas pernyataan pemerintah di atas? Apa dasar ide dan bukti empirisnya yang mendukung pernyataanya sedemikian rupa? Apakah ia akan menggunakan pengalamannya menang dan lepas status tersangka korupsi oleh putusan praperadilan untuk mendukung argumentasinya?
Tentu publik masih ingat bahwa Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy O. S. Hiariej pada periode kedua Pemerintah Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa Polisi, Jaksa dan Hakim yang membuat LAPAS penuh--yang mana menjadi tugas dan fungsi Kemenkumham ketika itu. Perlu diingat bahwa proses peradilan pidana selalu dimulai dari penyidikan, dan seterusnya atas konsekuensi konsep besar sistem peradilan pidana terpadu (SPPT). Dengan demikian, argumentasi jika banyaknya beban perkara bagi pengadilan maka mesti ada saringan (filter) perkara pada tahap sebelum persidangan agar perkara tidak berlanjut dan masuk ke proses persidangan yang berujung membuat LAPAS menjadi penuh.
ADVERTISEMENT
Artikel ini hendak menyoal dominus litis, peran Hakim PP dan kepentingan kemanusiaan atas RUU KUHAP yang sedang bergulir kini di Senayan, terlepas isu tidak transparan yang menguap atas proses dan prosedurnya sehingga publik tidak mengetahui pasti ide pokok RUU KUHAP itu.
Konteks Hakim PP Dalam SPPT Sebagai Saringan Perkara dan Perwujudan Kekuasaan Kehakiman Menegakan Hukum Pidana
Dalam draft RUU KUHAP tahun 2023, Hakim PP masih dipertahankan dalam ketentuan Pasal 123. Ia memiliki wewenang untuk menetapkan atau memutuskan antara lain kesatu, sah atau tidaknya upaya paksa. Kedua, menilai bukti yang diperoleh secara tidak sah (unlawful legal evidence) pada level penyidikan. Ketiga, layaknya atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. Keempat, pelanggaran hak tersangka apa pun yang lain yang terjadi selama penyidikan.
ADVERTISEMENT
Memperhatikan ketentuan Pasal 123 RUU KUHAP tahun 2023 di atas, boleh dikatakan bahwa konsep ini radikal bila diperbandingkan dengan lembaga praperadilan berdasarkan KUHAP yang mana ia bersifat pasif, pembuktian formil yang sering dikatakan mirip pembuktian hukum perdata serta mengabaikan hak asasi manusia tersangka secara substansial.
Lebih jauh, penulis banyak mendengar argumentasi yang bernada sentimen bahkan negatif atas ide Hakim PP bahwa ia akan cenderung korupsi. Dalam pada itu, penulis justru bertanya sebaliknya bahwa siapa pihak-pihak yang mengambil keuntungan untuk mempertahankan status quo? Bagi penulis, ide dasar atau konteks Hakim PP adalah check and balance alias pemencaran kekuasaan dan perwujudan kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana dalam arti yang sebenarnya (kebenaran ilmu hukum) sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Pengendali Perkara Pidana (Dominus Litis) dan Marwahnya
Guna mengaktifkan Hakim PP hanya bisa dilakukan oleh Jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis) dalam sistem peradilan pidana terpadu. Di sini kebenaran ilmu hukum atas dominus litis mengemuka bahwa penyidikan hanya untuk kepentingan penuntutan yang selaras dengan penjelasan ketentuan Pasal 132 KUHP Nasional (UU Nomor 1 Tahun 2023). Best practice international dan perbandingan negara juga menyatakan konsep dominus litis hanya dimiliki Jaksa.
Misalnya di Belanda, Jaksa sebagai criminal fighter memiliki wewenang apakah ia akan melakukan penuntutan atau tidak meski alat bukti yang sah dirasa cukup. Dalam RUU KUHAP tahun 2023, ketentuan Pasal 45 ayat (1) mengandung konsep dominus litis yang merupakan hak penuntut umum untuk melakukan penuntutan atau tidak yang termaktub dengan kata "dapat" dan terhubung kepada Hakim PP sebagai wujud check and balance.
ADVERTISEMENT
Namun, penulis juga banyak mendengar bahwa counter narrative dominus litis dan Hakim PP dilancarkan melalui pendengung (buzzer) di internet dan omon-omon akademisi ilmu hukum yang menyerang dominus litis sebagai kebenaran universal. Bahkan penulis juga menyaksikan kelompok orang melakukan demo pada suatu hari di DPR dengan spanduk menolak dominus litis.
Disisi yang lain, menurut berita bahwa Kepolisian dan Kejaksaan seolah-olah khawatir dibatasi, dikurangi atau direbut wewenangnya dalam RUU KUHAP. Semacam egosentris lembaga. Indikatornya berlebihan atau salah kaprah mendudukan loyalitas dan cinta terhadap korps. Padahal RUU KUHAP memiliki ultimate goals untuk memperbaiki sistem peradilan pidana demi kepentingan kemanusiaan.
Sehingga siapa yang melindungi hak asasi manusia tersangka di tengah-tengah egosentris lembaga penegak hukum dan pembaharuan KUHAP? Dalam draft RUU KUHAP tahun 2023, tersangka wajib didampingi advokat sejak proses penyidikan. Bukan hanya Jaksa mengetahui telah dimulainya penyidikan. Ide ini merupakan cerminan keseimbangan dari tiga kepentingan yaitu Penyidik, Jaksa dan Advokat sebagai pendamping dan pembela tersangka sejak penyidikan dimulai. Concern-nya adalah tidak ada monopoli informasi penyidikan hanya oleh penyidik.
ADVERTISEMENT
Teori Labeling atas Sistem Peradilan Pidana dan Implikasinya
Kriminologi mengenal teori labeling yang menyatakan intervensi negara untuk pengendalian kejahatan dalam sistem peradilan pidana justru menimbulkan efek samping yang tak terbayangkan seperti kejahatan bersumber dari SPPT itu sendiri. Bukan dari individu atau lingkungan seperti dipikirkan orang sebelumnya. Oleh karena itu, implikasi kebijakan dari teori labeling dalam SPPT yaitu pembatasan intervensi itu sehingga melahirkan konsep seperti dekriminalisasi, diversi, proses hukum yang adil (due process of law) hingga keadilan restoratif.
Namun, teori labeling sebagai produk pemikiran memiliki latar belakang dan konteksnya sendiri seperti perang Amerika-Vietnam, kerusuhan Attica hingga krisis kepercayaan terhadap kemampuan pejabat-pejabat pemerintah Amerika mengatasi kejahatan.
Di Indonesia kini, krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum dan proses peradilan pidana di setiap tingkat pemeriksaan sudah telanjang dan barangkali telah masuk ke sum-sum tulang belakang warga negara. Pada titik ini, Anda akan dengan mudah menemukan berita semacam itu melalui mesin pencari dengan kata kunci kasus ditambah nama lembaga, bukan? Pada titik ini, semoga penulis keliru.
ADVERTISEMENT
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara diresmikan Senin (24/2). Danantara dibentuk sebagai superholding BUMN dengan tujuan mengoptimalkan kekayaan negara melalui investasi strategis. Aset yang dikelola Rp 14.659 triliun.