Korban Tindak Pidana dan Peran Alternatif Pendidikan Tinggi Hukum

Chessa Ario Jani Purnomo
Dosen dan Peneliti Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
18 November 2022 9:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chessa Ario Jani Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar: pexels.com
ADVERTISEMENT
Pembentuk undang-undang nampak menghendaki pembaharuan hukum pidana melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak sebatas pada bentuk pengaturan tetapi paradigma hukum pidana antara lain pemikiran neoklasik dan viktimologi. KUHP saat ini yang diberlakukan berdasarkan Pasal II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 jo Undang-Undang No 4 Tahun 1946 dan perubahan terakhir rupa-rupanya akan berakhir jika RKUHP ditetapkan berlaku dan mengikat menjadi undang-undang pada tahun ini.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, kasus-kasus hukum pidana seperti jamaah travel, perkara Indra Kenz hingga perkara tindak pidana pajak belakangan menunjukan gejala sistem peradilan pidana kita terlampau positivistik dan tidak menyelesaikan masalah korban tindak pidana (viktimogen) melalui putusan pengadilan pidana. Rupa-rupanya, masalah elementer dalam pembaharuan hukum pidana bukan saja pada produk hukum yang akan dihasilkan tetapi menjurus kepada paradigma kita dalam berhukum.
Pembaharuan Hukum Pidana dan Pendidikan Tinggi Hukum
RKUHP didasarkan pada paradima neoklasik dan pemikiran viktimologi. Paradigma neoklasik mengatakan bahwa kepentingan individu harus dijamin dan dilindungi dalam hukum pidana. Ia menghendaki keseimbangan atau proporsionalitas antara pelaku dan korban tindak pidana yang menghasilkan pemikiran kontemporer seperti keadilan restoratif (restorative justice/RJ) yang berkarakter memulihkan korban kejahatan dan memperbaiki perilaku pelaku kejahatan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan hukum pidana oleh institusi seperti kepolisian dan kejaksaan dalam kurun 2 atau 3 tahun belakangan berupaya mewujudkan RJ itu. Ambil contoh, jika A adalah korban tindak pidana pencurian oleh B maka dikedepankan pemulihan berdasarkan keadilan RJ dengan syarat-syarat formil dan materiil. Jika syarat-syarat terpenuhi, maka A tidak ada alasan untuk dihukum.
Permasalahan menjadi kompleks jika A adalah negara yang merugi (victim state) akibat perbuataan B dalam hal penetapan besaran kerugian keuangan atau pendapatan negara. Tanpa membuat simplifikasi, ilustrasi di atas merupakan gambaran umum RJ dalam hukum pidana.
Pembaharuan hukum pidana tidak sebatas pada RKUHP namun berkait-kelindan dengan pembaharuan paradigma berhukum melalui Pendidikan Tinggi Hukum sebagai “pabrik pemikiran” bagi sarjana hukum yang diproduksi dan dipersiapkan antara lain menjadi penegak hukum (pengemban hukum praktis).
ADVERTISEMENT
Pengemban hukum seperti akademisi (dosen dan mahasiswa) hukum mesti membuka jalan bagi pemikiran alternatif yang non-positivistik dan berkelanjutan. Pendidikan Tinggi Hukum sebagai institusi hukum pertama bagi calon praktisi hukum mesti membuka jalur-jalur penelitian-kolaboratif yang diharapkan menghasilkan struktur kurikulum Pendidikan Tinggi Hukum yang berorientasi kepada korban tindak pidana. Pada titik ini, diharapkan ada keterhubungan (interconnection).
Pendidikan Tinggi Hukum dan Paradigma Viktimologi
Implikasi ketidakhubungan antara Pendidikan Tinggi Hukum dan Pembaharuan Hukum Pidana dalam konteks viktimologi justru pada level implementasi terutama pada penekanan ganti rugi korban tindak pidana oleh pelaku.
Umumnya, dari sisi penegak hukum RJ dipersempit pada selesainya kasus pidana (case close). Bagi pelaku, tujuan RJ diharapkan diterimanya pembayaran ganti rugi kepada korban seperti restitusi. Bagi korban, adanya pemulihan kerugian korban termasuk pemulihan keuangan negara apabila negara sebagai korban. Jika tak terpenuhi ganti kerugian, proses hukum berlanjut. Lebih jauh, kompensasi sebagai bentuk tanggungjawab negara sebagai bentuk alternatif perlindungan hak korban menjadi penting bila pelaku tak mampu membayar ganti kerugian sekaligus ambigu bahwa korban tindak pidana tak selalu berhubungan dengan kerugian akibat tindak pidana pelaku. Barangkali implementasi RJ yang perlu disoroti adalah luputnya memperbaiki perilaku pelaku tindak pidana itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Secara sosiologis, pada level implementasi dapat saja terjadi seolah-olah pelaku merasa rugi untuk meminta ganti kerugian kepada korban. Atau, dapat saja penegak hukum menduga berlebihan kepada pelaku sebagai si bersalah dalam benaknya untuk melanjutkan proses hukum pidana padahal ia mampu dan mau (beritikad baik) memulihkan hak-hak korban tindak pidana.
Oleh karena itu, butuh penilaian objektif terkait pemahaman hukum yang lengkap (non-positivistik). Hal ini merupakan tugas Pendidikan Tinggi Hukum mempersiapkan academic standing yang baik (well eduacated) bagi sarjana hukum yang hendak bekerja sebagai penegak hukum (as a legal standing on due process of law). Bukan sekadar berijasah sarjana hukum.
Penegak hukum dapat melakukan penilaian objektif dalam melindungi korban tindak pidana dimana membutuhkan kepatuhan terhadap hukum berpikir (logika) sebagai modal dasar. Disisi lain, komunikasi berbagai kebijakan yang dihasilkan dan kasus-kasus hukum pidana yang ditangani oleh institusi kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan semestinya perlu diberi saran dan kritik oleh Pendidikan Tinggi Hukum secara proporsional jika tak mampu melindungi hak-hak korban.
ADVERTISEMENT
Misalnya, promosi maupun kampanye terkait akses hak-hak korban tindak pidana melalui Advokat atau Lembaga Bantuan Hukum kampus mesti menjadi agenda yang sebangun dalam pembaharuan hukum pidana itu.
Harapan Masyarakat Terhadap Perlindungan Korban Tindak Pidana
RKUHP sebagai harapan publik barangkali akan menjadi produk hukum terbaik bangsa kita dibidang hukum pidana. Dan mesti diapresiasi, pembaharusan hukum pelaksanaan pidana yang kini diakomodir melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Meskpun mesti dilengkapi dengan pembaharuan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang naskahnya mangkrak sejak tahun 2009 silam. Jika RKUHP dan RKUHAP terwujud dapat diharapkan "3 paket undang-undang hukum pidana" menjadi lengkap secara normatif.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana saat ini tak mewadahi hak korban tindak pidana dalam bentuk prosedural yang lengkap. Sistem peradilan pidana kita dapat dikatakan produk ide 1960-an yang memiliki preferensi mencari kebersalahan pelaku sebagaimana penulis tulis pada kumparan atas dugaan kasus extrajudicial killing. Ia seringkali menjadi viktimogen bagi korban tindak pidana. Hampir selalu demikian.
ADVERTISEMENT
Langkat jangka pendek, perlu dilakukan penelitian sinkronisasi vertikal maupun horizontal oleh Pendidikan Tinggi Hukum sebagai awal untuk membangun paradigma hukum non-positivistik terkait pengaturan hak-hak korban tindak pidana akibat pengaturannya yang tersebar pada berbagai undang-undang.