Ketidakpastian Hukum Pidana Pajak Mengancam Wajib Pajak

Chessa Ario Jani Purnomo
Dosen dan Peneliti Fakultas Hukum Universitas Pamulang
Konten dari Pengguna
16 Desember 2021 21:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chessa Ario Jani Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Hukum Pidana Pajak, Sumber Gambar: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Hukum Pidana Pajak, Sumber Gambar: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pada 21 November 2020 penulis mencatat absennya Pasal 13A Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UU Cika) dalam tulisan berjudul "Aspek Hukum Pidana Pada Undang-Undang Cipta Kerja Klaster Perpajakan" yang terbit di Kumparan.
ADVERTISEMENT
Secara pokok, penulis menyinggung proses formal pembentukan UU Cika yang sering dikritik publik antara lain penggunaan metode omnibus bill. Secara resmi, UU Cika mencakup klaster perpajakan yang merevisi Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU No. 16 Tahun 2009). Berbagai literatur menyebut UU No. 16 tahun 2009 sebagai hukum pajak formil.
Selanjutnya secara subtansi, jika terjadi pelanggaran perpajakan oleh wajib pajak bisa saja tidak dilakukan teguran atau denda administrasi tetapi dilakukan upaya hukuman (primum remedium) karena dihapusnya Pasal 13A dalam UU Cika.
Belakangan ini, terbit Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020 yang kontroversial karena berhasil mengandung dan mengundang perhatian sebagian masyarakat. Pada titik ini penulis hendak berdiskusi mengenai ketidakpastian hukum pidana pajak pada klaster perpajakan pasca putusan MK itu.
ADVERTISEMENT
Dari segi kebijakan kriminal, apakah Putusan MK akan menghilangkan perumusan perbuatan yang dilarang (dekriminalisasi) UU Cika pada klaster perpajakan sementara amar Putusan MK antara lain menyatakan ditangguhkan? Penulis kira dibutuhkan penelitian untuk menjawab ini. Namun bila jawabannya "iya" maka Pasal 13A kembali hidup berdasarkan UU No. 16 Tahun 2009. Artinya, hukum pidana pajak kembali ke marwahnya sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan pelanggaran perpajakan oleh wajib pajak.
Secara hukum bahwa Pasal 1 ayat (2) KUHP Indonesia terkait aturan peralihan (atper) berdasarkan asas lex favor reo di mana jika terjadi perubahan undang-undang pidana diterapkan yang paling ringan bagi Terdakwa. Lalu, secara teori hukum pidana menurut Barda Nawawi Arief aturan peralihan berdasarkan Pasal 1 ayat (2) KUHP itu bahwa bukan berarti terjadi kekosongan hukum hukum tetapi hukumnya telah ada namun berubah. Tegasnya, hukum pidana tidak berlaku kebelakang setalah dinyatakan berlaku dan mengikat (non-retroaktif) dan undang-undang lama pun tetap berlaku (Arief, 2013: 7). Celakanya, Pasal 13A UU Cika dihapus bukan ditambah.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pasca Putusan MK bila Wajib Pajak dituntut atas pelanggaran Pasal 13A dimana hal ihwal Wajib Pajak melaporkan SPT dengan kelalaian untuk pertama kali karena substansi/lampiran SPT yang tidak mencerminkan keadaan sebenarnya tidak dapat dipidana, apakah penuntutan pidananya dapat ditangguhkan sebagaimana amar Putusan MK? Penulis kira dapat menjadi isu penelitian dimasa datang.
Kemudian, sebagaimana dikatakan di atas bahwa Pasal 13A dalam UU Cika dihapus. Perkembangan terbaru bahwa terbit Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU No. 7 Tahun 2021). Tetapi UU No. 7 Tahun 2021 tidak melahirkan kembali Pasal 13A meski mengusung ide keadilan restoratif dan hadirnya Pasal 44B ayat (2a) dan ayat (2b) yang merevisi prosedur penghentian penyidikan/penuntutan pidana pajak. Jadi UU No. 7 tahun 2021 juga tidak mencerminkan hukum pidana pajak sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan pelanggaran perpajakan oleh wajib pajak (ultimum remedium).
ADVERTISEMENT
Jadi, dalam UU No. 7 Tahun 2021 pun pembentuk undang-undang telanjur kehilangan arah pengaturan dan nyata ada dishormanis mengenai substansi ketentuan pidana pajak. Penulis teringat ucapan Rollo May, "sudah menjadi kebiasaan lama dan ironis bagi manusia: bila tersesat malah berlari lebih kencang."
Dari berbagai webinar nasional yang penulis ikuti terkait implikasi Putusan MK terhadap UU Cika timbul berbagai pendapat sebagai solusi antara lain mencabut terlebih dahulu UU Cika oleh sebagai wewenang pemerintah (asas contararius actus). Kemudian, membangun ulang UU Cika per klaster agar arah pengaturan dan materi muatan menciptakan kepastian hukum bagi wajib pajak. Bukan tambal sulam.