Konten dari Pengguna

Mengapa Delik Pencemaran Nama Baik di Dalam UU ITE Perlu Direvisi?

Chessa Ario Jani Purnomo
Dosen dan Peneliti Fakultas Hukum Universitas Pamulang
20 Februari 2021 7:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chessa Ario Jani Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Dalam waktu belakangan ini Presiden Joko Widodo membuat pernyataan kepada publik hendak merevisi secara bersama-sama dengan DPR atas Undang-Undang ITE (UU ITE) yang didakwa tidak dapat memberikan rasa adil. Tak lama, Menkominfo berniat membuat semacam dokumen “penafsiran” hukum atas UU ITE itu. Menurut penulis niat tersebut perlu dipersoalkan bahkan dipermasalahkan sebab secara teorites bahwa “penafsiran” hukum tidak dibenarkan diatur di dalam peraturan perundang-undangan, Jadi, penafsiran hukum bukan regulasi.
ADVERTISEMENT
Penafsiran atau interpretasi hukum dilakukan oleh Hakim sebagai pejabat yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk melakukan aktivitas memeriksa, memutus, dan mengadili perkara sebagai wujud dari eksistensi kekuasaan kehakiman. Penulis berpendapat penafsiran hukum adalah seni berpikir. Letaknya di akal pikiran yang sehat.
Pernyataan Presiden dan Menterinya menuai perhatian, saran, dan perbincangan di ranah publik sebagai bentuk kebebasan berpendapat yang dijamin dan dilindungi Konstitusi. Maka, tulisan ini juga mesti dipandang sebagai bentuk kebebasan berpendapat itu. UU ITE bukan undang-undang di bidang hukum pidana, tetapi Undang-undang administrasi yang mengandung ketentuan pidana. Pembentuk undang-undang semacam overdosis mengatur delik dan sanksi pidana di dalam Undang-undang administrasi, contoh lain ialah UU Kekarantinaan Kesehatan.
Dalam konteks ini, penulis berpendapat sebagai berikut. Pertama, secara teoretis bahwa pemerintah mempunyai kekuasaan untuk melindungi kepentingan hukum yang diakui dalam hukum pidana. Oleh sebab itu, Pasal 103 KUHP memungkinkan pembentuk undang-undang menciptakan delik khusus di luar KUHP.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, pemerintah mempunyai kekuasaan pula untuk melakukan “kontrol kejahatan.” Dalam literatur juga disebut sebagai “kontrol sosial.” Nah, dalam logika kontrol sosial ia berbasis kepada norma dan nilai-nilai yang ada dan hidup di dalam masyarakat. Sering kali kontrol sosial, menurut Horwitz (1990) dikatakan “social control now is often used to indicate a coercive process imposed upon individuals to enforce normative conformity.”
Penekanannya dalam pandang di atas, norma sosial tidak pernah berdasarkan konsensus dan tak lebih sebagai teknik pengambilan keputusan belaka yang menimbulkan konsekuensi berupa proses pemaksaan moralitas kelompok tertentu kepada individu. Dalam hal ini, kita tidak kekurangan stock untuk belajar dari signifikansi data kasus delik UU ITE yang “dipaksakan” penegakan hukumnya seperti Prita hingga Baiq Nuril.
ADVERTISEMENT
Kedua, masih secara teori, delik UU ITE melanggar asas legalitas dalam hukum pidana mengenai makna lex stricta. Kita ambil contoh lagi, Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 mengenai delik penghinaan/pencemaran nama baik di mana penjelasan otentik pasal tersebut berbasis kepada delik penghinaan di dalam KUHP.
Artinya, tidak ada perbedaan perihal jiwa, asas dan jenis delik berupa delik aduan (klacht delict) di antara kedua UU itu. Kecuali, perihal cara melakukannya mesti menggunakan media elektronik (digital media). Dari teknik pengaturannya yang sederhana, Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengadopsi lebih dari 1 (satu) pasal delik penghinaan di dalam KUHP ke dalam satu ayat. Sekali lagi, hanya satu ayat.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, penulis tiada jemu untuk mengatakan terkait tujuan utama asas legalitas bukan sekadar justifikasi negara guna menghukum pelaku kejahatan tetapi mencegah dan meminimalisir kekuasaan negara untuk menghukum orang.
Sudah tentu pembaca dapat memeriksa langsung istilah “penghinaan/pencemaran nama baik” bahwa tidak ada/tidak jelas indikatornya baik di dalam KUHP atau di dalam UU ITE. Alih-alih melindungi kepentingan hukum pidana, justru membuat kondisi ketidakpastian hukum merajalela.
Mestinya, dalam konteks delik khusus, pembentuk undang-undang dapat memberi indikator yang terang di dalam undang-undang bukan ide tentang pedoman penafsiran hukum dalam bentuk regulasi. Padahal delik khusus yang dibuat dapat menyimpang (bukan berarti bertentangan) daripada delik umum untuk merespon perkembangan masyarakat.
Terakhir, absennya indikator frasa "pencemaran nama baik" secara normatif turut memperpanjang penderitaan mereka yang benar-benar menjadi korban delik UU ITE. Secara luas, korban kejahatan kurang mendapat banyak tempat dalam sistem hukum pidana.
ADVERTISEMENT
Katakanlah, pengaturan hak-hak korban terbit belakangan, bersifat parsial, dan menyebar di beberapa Undang-undang. Hal ini semakin suram bila pihak berwajib ragu untuk menolak atau menerima pengaduan korban UU ITE meski didampingi seorang penasihat hukum.
Dosen dan Peneliti Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Anggota MAHUPIKI, Mahasiswa Aktif Pascasarjana Universitas Indonesia