Hiruk Pikuk Pembagian Harta Bersama Pasca Perceraian

Cholifah Nuraulia Hasyim
Mahasiswa Hukum Keluarga, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
16 Oktober 2021 13:28 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cholifah Nuraulia Hasyim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perceraian. Hiruk Pikuk Pembagian Harta Bersama. https://pixabay.com/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perceraian. Hiruk Pikuk Pembagian Harta Bersama. https://pixabay.com/
ADVERTISEMENT
Cerai adalah kata yang sangat krusial bagi semua orang, terutama bagi pasangan suami istri. Tidak ada satupun pasangan suami istri yang mengharapkan akan menghadapi situasi ini. Perceraian menjadi jalan tengah bagi mereka yang mengalami keretakan dalam menjalani kehidupan rumah tangga, dengan berbagai faktor penyebabnya. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga, masalah ekonomi, KDRT, bahkan perselingkuhan menjadi penyebab paling umum dalam sebuah kasus perceraian. Putusnya hubungan sebagai suami istri akan menyertai hal lain berupa konsekuensi hukum yang harus diselesaikan di Pengadilan, salah satunya mengenai pembagian harta bersama atau yang kerap disebut dengan harta Gono Gini.
ADVERTISEMENT
Pokok perkara mengenai penentuan kewajiban, penetapan hak asuh anak, penunaian nafkah, serta pemenuhan hak istri dan anak setelah perceraian merupakan beberapa akibat hukum yang harus dijalani karena adanya proses perceraian. Ditambah adanya pola hukum adat yang mengatur tentang kepemilikan harta bersama dalam perkawinan tentu akan menjadi hal yang sangat serius dan tidak boleh dianggap sepele karena sama-sama harus diselesaikan apabila pasangan suami istri menghadapi proses perceraian.
Pengajuan gugatan berupa pemenuhan dan pembagian hak harta bersama dapat diajukan setelah putusan perceraian diputuskan. Pasangan suami istri yang beragama Islam dapat mengajukan gugatan tersebut ke Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal istri. Berbeda dengan pasangan suami istri yang non-muslim, dapat mengajukan gugatan tersebut ke Pengadilan Negeri di wilayah tempat tinggal “termohon”.
ADVERTISEMENT
Problematika pembagian harta Gono Gini dalam sebuah kasus perceraian menjadi salah satu perkara yang paling rumit untuk diselesaikan sekaligus menjadi penyebab proses perceraian tak kunjung selesai secara keseluruhan meski putusan perceraian telah diputuskan oleh Pengadilan. Pasalnya masing-masing pihak saling mengklaim adanya harta milik pribadi selama masa perkawinan berlangsung. Konflik ini mengisyaratkan pentingnya edukasi bagi para calon pasangan suami istri mengenai penggolongan jenis harta dalam lingkup perkawinan. Tidak semua harta suami istri termasuk ke dalam kategori harta bersama, dengan kata lain ada beberapa jenis harta suami istri yang perlu mendapat pengawasan dan perlindungan hukum yang tidak bisa diganggu gugat penguasaan nya.
Harta Bersama dalam sebuah perkawinan mencerminkan adanya harta benda yang dimiliki secara bersama antara suami istri. Jika ditinjau dari segi yuridis, harta bersama dalam perkawinan menganut pola hukum adat yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi harta bersama; harta bawaan masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Disimpulkan bahwa Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 mengelompokkan harta benda dalam perkawinan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu harta bersama dan harta bawaan.
ADVERTISEMENT
Kategori yang disebut harta bersama ialah seluruh harta kekayaan yang timbul selama masa perkawinan baik diperoleh dari suami maupun istri serta menjadi rahmat bagi keduanya dan wajib dibagikan sebagai harta bersama pasca perceraian, pengecualian apabila pasangan suami istri tersebut sebelumnya membuat perjanjian pra-nikah mengenai pemisahan harta. Sedangkan harta bawaan ialah harta benda bawaan masing-masing baik dari suami maupun istri dan seluruh kekayaan atau harta benda yang masing-masing diperoleh dari suami maupun istri karena adanya putusan wasiat berupa warisan atau hibah. Hal ini mendefinisikan lebih rinci bahwa harta yang timbul karena wasiat atau hibah tidak termasuk dalam harta bersama dan berada di bawah penguasaan masing-masing selama kedua belah pihak, yakni pihak suami dan pihak istri tidak menentukan hal yang lain.
ADVERTISEMENT
Tertuang dalam Undang-Undang yang lain, yakni Pasal 86 sampai dengan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan adanya kepemilikan harta bersama dalam sebuah perkawinan. Pasal 89 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan keharusan seorang suami untuk menjaga kepemilikan harta bersama, yakni harta istri ataupun hartanya sendiri. Melanjutkan ketentuan sebelumnya, Pasal 90 Kompilasi Hukum Islam menegaskan seorang istri juga harus turut bertanggung jawab untuk menjaga kepemilikan harta bersama ataupun harta suaminya yang ada padanya.
Perjanjian pra-nikah yang membahas tentang pemisahan harta benda masing-masing menjadi salah satu upaya alternatif untuk menghindari adanya saling klaim harta dalam ikatan perkawinan. Jika pasangan suami istri memiliki sebuah perjanjian ini dan terikat sesuai ketentuan yang diatur di dalamnya, maka dalam perkawinannya tidak ada harta benda milik bersama. Dapat diartikan lebih jauh, bahwa ketika pasangan suami istri ini putus hubungannya karena perceraian maka masing-masing mereka hanya akan membawa harta yang tertulis atas nama mereka masing-masing dan tidak ada pengajuan pembagian harta bersama pasca perceraian. Oleh karena itu, bagi para calon pasangan suami istri yang hendak melanjutkan hubungan ke ranah kehidupan berumah tangga alangkah baiknya membuat perjanjian pra-nikah berupa pemisahan harta milik masing-masing untuk menghindari terjadinya sengketa perkawinan karena masalah pencampuran harta menjadi milik bersama setelah menikah.
ADVERTISEMENT