Konten dari Pengguna

Balada Tumbler

Christiaan
Bergiat di Beta Martapian Project
3 Agustus 2024 10:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernah saya menemukan unggahan menarik tentang tumbler di media sosial. Unggahan itu menyandingkan dua gambar. Satu gambar sebuah tumbler dengan merek ternama seharga satu jutaan. Dan gambar satunya lagi toren atau tangki air berkapasitas 300 liter seharga tujuh ratusan ribu. Punchline-nya jelas: buat apa keluar uang sebanyak itu untuk sebuah wadah air minum dengan kapasitas tak sampai satu liter? Perbandingan dengan toren air berkapasitas ratusan liter pun lantas membuat kita menangkapnya sebagai sebuah kelucuan.
ADVERTISEMENT
Perbandingan tumbler dengan toren memang cukup menggelitik sebagai materi komedi. Kendati dua benda tersebut pada dasarnya tidak sepadan untuk dibandingkan. Yang satu untuk wadah air minum sehari-hari. Sedangkan satunya lagi untuk menyimpan dan menyuplai air ke kamar mandi kos-kosan.
Unggahan lucu tersebut nampaknya hendak menekankan aspek fungsionalitas dari tumbler dan toren, yakni sama-sama sebagai wadah air. Dengan demikian, pertanyaan sinis itupun lahir: orang gila mana yang akan merogoh kocek sedemikian besar hanya untuk sebuah tumbler? Kalau untuk wadah air, sekalian saja beli toren. Lebih murah. Tapi, lagi-lagi, ini bukan perbandingan yang proporsional. Unggahan itu memang sekadar bahan tertawaan. Bukan hendak melakukan perbandingan sebenar-benarnya perbandingan.
Menarik untuk menelisik asumsi di balik guyon soal tumbler ini. Perkembangan tumbler konon telah dimulai sejak abad 17. Dari wadah minum alkohol, hingga jadi wadah untuk menjaga minuman tetap dingin atau panas. Inovasi terus berlangsung, hingga kita mengenal tumbler dengan beragam bentuknya hari ini.
ADVERTISEMENT
Kebutuhan setiap orang untuk tetap terhidrasi, dan desain tumbler yang portabel, memang telah membuat perkakas satu ini sedemikian esensial. Namun belum cukup dijadikan alasan agar setiap orang memiliki setidaknya satu tumbler. Sebab, jika untuk kebutuhan minum, seseorang tak harus membawa air minum sendiri dalam tumbler. Ia bisa membeli air minum kemasan di warung-warung ataupun supermarket.
Seiring berjalannya waktu, manusia lalu mulai sadar bahwa sampah yang dihasilkan oleh konsumsi air minum kemasan telah turut menyebabkan krisis lingkungan. Identitas tumbler pun turut menguat karenanya. Sifatnya yang tak sekali pakai (reusable) dengan sendirinya merupakan solusi bagi persoalan sampah akibat konsumsi air minum dalam kemasan.
Menyusul kesadaran tersebut, dimulailah kampanye masif. Mengajak orang-orang untuk menggunakan tumbler, alih-alih membeli air minum dalam kemasan. Dengan alasan esensial untuk tetap terhidrasi tadi, tentu bukan perkara yang sulit untuk mengajak orang menggunakan tumbler. Toh, itu untuk pemenuhan kebutuhan penggunanya juga. Dengan kata lain, orang-orang memang cenderung melihat aspek fungsionalitas dari tumbler.
ADVERTISEMENT
Lalu, apakah penekanan pada aspek fungsionalitas tersebut masih sekuat sebelumnya? Pertanyaan inilah yang muncul di kepala saya setelah menertawakan unggahan tumbler vs toren itu. Saya berpendapat, ketika seseorang merogoh kantongnya untuk membeli tumbler seharga satu juta, pertimbangan soal aspek fungsionalitas sudah berada di urutan kesekian. Di atas itu, ada dorongan konsumerisme, panjat sosial, hingga fear of missing out (FOMO).
Adanya dorongan konsumerisme dan FOMO itu, misalnya, dapat kita lihat dari kecenderungan membeli barang hanya karena menggemaskan. Lucu dikit check out. Demikian orang-orang menyebutnya.
Tumbler Foto: Shutterstock
Tumbler berguna sebagai wadah air minum, tapi orang ingin memiliki satu dengan motif A, satu dengan tutup model B, satu yang terbuat dari bahan C, satunya lagi dengan warna D, dan seterusnya. Mari kita bayangkan. Sebuah piranti dengan satu kegunaan tertentu, tapi orang ingin punya sepuluh buah dengan desain yang berbeda-beda karena takut ketinggalan.
ADVERTISEMENT
Adapun motif panjat sosial dapat kita lihat, misalnya, dari bagaimana seseorang mencuri perhatian saat menenteng tumbler dengan merek tertentu. Merek dengan harga yang relatif mahal untuk sebuah tumbler. Ia jadi perbincangan karena orang-orang di sekitarnya memang mengikuti tren tumbler tersebut. Sehingga muncul asumsi bahwa yang menggunakan tumbler dengan merek tertentu itu pastilah orang yang punya uang lebih. Karena telah menjadi wacana publik, akhirnya orang-orang pun menjadi lebih percaya diri menenteng tumbler merek tertentu tersebut ketimbang tumbler polos yang lebih murah.
Motif panjat sosial ini pun tentu berkelindan dengan konsumerisme dan FOMO yang saya sebut sebelumnya. Perhatian yang bisa didapatkan oleh pengguna tumbler yang lebih mahal dari toren ini pada gilirannya akan mendorong orang-orang memilikinya. Salah seorang kawan saya saja sampai menyisihkan gaji UMR-nya demi memenuhi hasratnya memiliki tumbler yang sedang jadi perbincangan di media sosial. Padahal, dia sudah punya tumbler—yang meskipun polos dan hanya ditempeli stiker distro kaos, dapat menahan es tidak mencair sampai belasan jam.
ADVERTISEMENT
Butuh komitmen
Tak pelak lagi, tumbler makin diminati sejak kampanye reduksi sampah plastik kian masif. Dapat pula dikatakan, narasi tersebut turut digunakan—kalau tak mau disebut dimanfaatkan, untuk mendongkrak penjualan tumbler. Stanley, produsen tumbler ternama asal Amerika Serikat pernah jadi sasaran kritik karena dianggap tidak punya komitmen untuk menjadikan penggunaan tumbler sebagai solusi krisis lingkungan. Sebaliknya, perusahaan ini dinilai telah memanfaatkan situasi untuk menjual lebih banyak tumbler. Mereka merilis bermacam ragam tumbler, lalu menjualnya dengan harga yang relatif mahal. Belum lagi edisi-edisi terbatas yang membuat orang rela berkemah di depan toko, demi mengantre paling depan untuk membeli tumbler edisi terbatas tersebut.
Kalau kita bersungguh-sungguh ingin menjadikan penggunaan tumbler sebagai solusi untuk mengurangi sampah plastik, agaknya kita perlu mengoreksi diri: apakah kita benar-benar menggunakan tumbler sebagai ijtihad untuk mengatasi krisis lingkungan, atau hanya ikut tren dan memenuhi dorongan konsumerisme? Jangan-jangan, selain menumpuk tumbler dengan bermacam-macam desain, kita juga masih asyik mengonsumsi air minum kemasan di luar sana? Gawat kalau sampai seperti itu.
ADVERTISEMENT
Kyle Wiens, CEO iFixit—platform yang memberi panduan dan menjual alat-alat reparasi, dalam artikel berjudul The Big Problem With the Giant Stanley Cup—ulasan mengenai polemik Stanley, menyentil produsen tumbler dengan pertanyaan yang sangat menohok. Kurang-lebih begini bunyi pertanyaannya:
Pertanyaan ini memang sangat relevan dengan upaya membangun gaya hidup berkelanjutan, tapi tidak relevan dengan orientasi mencari untung dalam sebuah bisnis. Lalu bagaimana dengan persoalan konsumerisme? Saya pikir, itu kembali ke diri kita masing-masing. Artinya, harus mulai dari diri sendiri. Produsen akan terus berinovasi—kalau tak mau dibilang sekadar membungkus-ulang produknya dengan mengikuti wacana dominan di tengah masyarakat. Semua kembali pada komitmen awal kita ketika memasifkan penggunaan tumbler.
ADVERTISEMENT