Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Perihal Membaca (2)
22 November 2023 7:30 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tulisan Perihal Membaca (1) , ada satu kalimat seperti ini: "membuang" uang untuk buku yang tak dibacanya. Pada tulisan Perihal Membaca (2) ini, saya bakal bercerita tentang kata yang diberi tanda kutip itu.
ADVERTISEMENT
Saya memberi tanda kutip pada kata 'membuang' semata karena saya punya pandangan bahwa sebenar-benarnya, tak ada yang terbuang ketika kau bicara soal buku. Tak ada uang yang terbuang ketika kau membeli buku. Tak ada waktu yang terbuang ketika kau menukar jam tidurmu dengan setumpuk buku.
Tak ada yang salah dengan membeli buku saat rak bukumu masih dihuni buku-buku tak terbaca. Bahkan tak ada yang salah dengan membeli buku tapi tak membacanya.
Dua kalimat di atas adalah kredo yang saya susun sendiri sebagai seorang pembaca gila. Untuk melawan kewarasan orang-orang yang sering berkata seperti ini:
"Ah, buku yang kemarin aja belum kebaca, jangan beli buku lagi dulu deh."
"Waktu udah disita oleh banyak kerjaan, mana sempat baca, buat apa beli buku kalau begitu?"
ADVERTISEMENT
"Buat apa beli buku kalau enggak dibaca?"
"Buku sebanyak ini, apa dibaca semua?"
"Nanti deh, sekarang aku lagi enggak punya waktu untuk membaca."
Yang terakhir ini, saya punya sentimen personal sebagai seorang yang menulis, menerbitkan, lantas menjual buku. Bagaimana tidak? Saya bertanya apakah mereka mau beli buku saya, tapi mereka jawab bahwa mereka tak punya waktu buat membaca. Alangkah menjengkelkan!
Saya menjual buku ya panjul, bukan menanyakan apakah kau punya waktu atau tidak untuk membaca! Tak satu pun alasan dapat diterima untuk tidak membeli buku. Begitu juga alasan untuk membeli buku. Hanya ada membeli dan tidak membeli. Selebihnya yang keluar dari mulutmu adalah sampah.
Membaca masih merupakan kegiatan yang tampak asing. Sehingga kita masih menyatakan dan menanyakan hal-hal seperti saya tuliskan di atas. Kita mungkin masih menganggap membaca sebagai kegiatan yang harus benar-benar “jelas”: membaca supaya pandai, membaca supaya keren, membaca untuk menghafal rumus-rumus, membaca untuk pemenuhan tugas pelajaran Bahasa Indonesia, membaca supaya diangkat jadi duta baca.
ADVERTISEMENT
Barangkali kita belum membaca karena kita ingin membaca. Membaca karena dengan membaca kita merasa hidup dengan aktifnya imajinasi dan kepekaan. Membaca karena kita suka pada aroma kertas yang beterbangan tiap kali kita menyibak lembar demi lembar buku. Membaca karena jika tidak, kita merasa kering dan perlahan dimakan hidup-hidup oleh riuh pikiran-pikiran di kepala kita.
Kita mungkin masih menganggap membeli buku sebagai kegiatan yang harus benar-benar “jelas”: karena diwajibkan sekolah atau kampus, karena kita kebingungan menghadiahi apa seorang kawan berkacamata tebal yang tengah berulang tahun, karena kita sedang punya waktu buat membaca, karena penasaran pada sebuah novel yang dialihwahanakan menjadi film.
Barangkali kita belum membeli buku karena kita ingin membeli buku. Membeli buku karena kita jatuh suka pada sampulnya. Membeli buku karena kita ingin memenuhi rak buku kita. Membeli buku karena kita ingin mengapresiasi penulis. Barangkali, kita belum membeli buku sebagai balas dendam karena kita tidak bisa sekalian membeli waktu untuk membacanya!
ADVERTISEMENT
Di dalam masyarakat di mana kebiasaan membaca belum menubuh, kita akan senantiasa menjumpai pernyatan dan pertanyaan yang menyiratkan kegiatan membaca sebagai sesuatu yang asing.
Tetapi dalam masyarakat di mana kebiasaan membaca telah menubuh, kita akan menemui ibu-ibu penjual sayur menunggu pembeli sembari membaca Sidney Sheldon, atau seorang bapak tukang becak yang membaca dengan teliti berita pada potongan koran yang dijadikan pembungkus gorengan, atau seorang anak kuliahan yang tengah asyik membaca “majalah koyak” di warung kopi pinggir jalan.
Bilakah sesuatu yang asing akan menjadi akrab?