Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.104.0
Konten dari Pengguna
Sepak Bola, Politik, dan Akhir Cerita Piala Dunia Kita
30 Maret 2023 10:45 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Christiaan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bukan hal baru, dukungan pada pembebasan Palestina dinyatakan secara simbolis. Simbol-simbol dukungan ini ada di berbagai bidang. Pemerintahan, jalanan, media sosial, hingga olahraga. Di Indonesia, aksi-aksi simbolis ini barangkali sudah sering kita saksikan, atau bahkan kita pun turut melakukan aksi-aksi simbolis demikian.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, aksi simbolis serupa kembali dilakukan. Bedanya, aksi simbolis kali ini punya konsekuensi yang cukup risk-an jika dibandingkan dengan aksi galang donasi atau memasang bendera Palestina sebagai foto profil Twitter.
Aksi simbolis yang saya maksud adalah pernyataan sikap beberapa politisi yang menolak Timnas sepak bola Israel bertanding di Indonesia dalam perhelatan Piala Dunia U-20.
Sebelumnya, Indonesia terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia u-20 pada tahun 2019, setelah "mengalahkan" Brasil dan Peru yang juga mengajukan diri sebagai tuan rumah. Ajang ini harusnya dilaksanakan pada tahun 2021. Tapi mundur ke tahun 2023 akibat pandemi covid-19.
Penolakan pada Timnas Israel ini menuai kontroversi. Ada yang menganggap sikap itu perlu. Namun ada yang menilai sikap itu berlebihan, menyiratkan standar ganda, dan yang paling fatal—dalam konteks Piala Dunia U-20 ini—mengubur impian Skuad Garuda Muda.
ADVERTISEMENT
Kontroversi ini jelas tak mungkin dilihat secara biner: hitam atau putih, setuju pada penolakan atau tidak. Pertanyaan mengerucut pula pada setuju-tidaknya kita kalau lapangan sepakbola juga adalah lapangan politik.
Jika ingin menjawab pertanyaan tersebut, kita tentu perlu sepakati dulu, bagaimana kita mendefinisikan politik dalam hal ini. Jika kita mendefinisikan politik secara sederhana sebagai upaya untuk meraih dominasi dan mencapai tujuan, maka sepakbola memanglah politik. Karena ia adalah soal kesebelasan mana lebih mendominasi permainan, serta siapa lebih banyak memasukkan bola ke gawang lawan.
Namun, melihat ribut-ribut hari ini, sudah jelas bukan politik seperti itu yang dimaksud oleh publik—katakanlah, penolak Timnas Israel. Dengan menelisik intensi di balik sikap publik yang ingin menolak kehadiran Timnas Israel, saya menduga, politik yang mereka maksudkan ada dalam lapangan sepakbola itu adalah politik dalam arti mainstream.
Yaitu perebutan kekuasaan, dominasi, penegasan posisi politik luar negeri. Dalam hal ini, posisi politik negara Indonesia terhadap kemerdekaan penuh Palestina. Semoga dugaan saya tak keliru. Dengan demikian, saya jelas tak sepakat dengan mereka yang menolak Timnas Israel dalam perhelatan Piala Dunia U-20.
ADVERTISEMENT
Ketidaksepakatan saya didasari oleh dua hal. Alasan yang satu berkelindan dengan yang lain. Pertama, penolakan terhadap Timnas Israel hanya pencitraan! Terpilihnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tentu bukan sesuatu yang tiba-tiba. Ada serangkaian proses menuju ke sana.
Pertanyaannya, di mana pejabat penolak Timnas Israel dalam serangkaian proses terdahulu itu? Kenapa penolakannya baru sekarang? Ada pula yang mempertanyakan, kenapa sepakbola? Jika ditelusuri, ada beberapa perhelatan olahraga di Indonesia yang diikuti oleh atlet dari Israel.
Kenapa pada momen-momen itu tak ada penolakan sebagai bentuk protes pada Israel yang menindas Palestina? Jika pembenarannya adalah sepakbola punya lebih banyak audiens, maka terbuktilah dakwaan pencitraan itu, bukan?
Alasan kedua, penolakan terhadap Timnas Israel mempertaruhkan masa depan sepakbola Indonesia. Penolakan Indonesia pada Timnas Israel dengan sendirinya adalah bentuk ketidaktaatan Indonesia pada FIFA. Keikutsertaan Israel dalam kompetisi yang digelar FIFA adalah sah. Mereka berhak bermain sesuai aturan FIFA.
ADVERTISEMENT
Dan Indonesia punya kewajiban untuk menghormati hak itu sebab Indonesia juga adalah anggota FIFA, dan taat pada aturan FIFA. Upaya Indonesia mendelegitimasi keikutsertaan Israel tentu akan tampak sebagai pembangkangan pada FIFA. Akibatnya, Indonesia terancam kena sanksi FIFA, dan masa depan pesepakbola handal kita harus dikorbankan.
Sialnya, masa depan itu berpotensi dikorbankan secara sia-sia. Sebab, lagi-lagi, jika konteksnya adalah mendukung kemerdekaan Palestina, tapi secara politik yang sesungguhnya Indonesia tak punya andil signifikan untuk itu, maka pada akhirnya kita hanya akan mendapat Palestina yang tertindas, plus sepakbola Indonesia yang hancur lebur di kancah internasional.
Bahkan pada titik tertentu, simpati pada Israel justru makin mengalir. Sebaliknya, bukan tak mungkin orang-orang mulai skeptis pada narasi kemanusiaan dan dukungan pada Palestina. Saya tak mau membayangkan kemungkinan terburuk ini. Sialnya, salah seorang teman saya pun telah mengungkapkan skeptisisme ini.
Kenyataan ini membawa saya pada ingatan tentang peristiwa mirip yang terjadi pada Olimpiade Rio de Janeiro tahun 2016 silam. Kejadian mencengangkan terjadi di cabang olahraga Judo saat itu. El Shehaby, Judoka Mesir menolak menjabat tangan kompetitornya, Or Sasson, Judoka Israel.
ADVERTISEMENT
Pada satu sisi, keputusan politis El Shehaby berhasil mengamplifikasi sikap politiknya (atau bahkan sikap politik banyak orang di negaranya?) terhadap Israel. Namun di sisi lain, karier profesionalnya terancam hancur. Dan dalam perspektif olahraga, simpati malah mengalir pada Israel melalui atlet-atlet mereka. "We have lost in terms of sports and politics." komentar jurnalis Mesir, Galal Nassar atas peristiwa itu.
Setelah mengutarakan dua alasan di atas, maka saya akan menjawab tanya soal apakah lapangan sepakbola adalah juga lapangan politik. Bagi saya, tidak! Bisa saja ia politik pada momen tertentu. Tapi ia tak pernah jadi gelanggang politik. Keputusan politik tidak diambil di lapangan sepakbola. Tapi keputusan politik bisa dikritik di lapangan sepakbola. Dan binggo! Kritik itu tidak akan sampai kalau main bolanya saja tidak jadi.
ADVERTISEMENT
Penolakan terhadap Timnas Israel harusnya politis, bukan politik. Dengan demikian, penolakan itu sepenuhnya jadi hak subjektif para pemain yang ada di lapangan. Bukan urusan gubernur, bupati, atau bahkan menteri pemuda dan olahraga.
Politik (politics) adalah satu hal, dan politis (being political) adalah hal ini. Tidak semua orang bisa jadi politisi, tapi semua orang bisa politis. Dalam konteks penolakan Timnas Israel, masalah muncul ketika politisi berlagak naif, dan bersikap politis demi mengais atensi publik.
Padahal, jika ditanya perihal apa saja yang mereka telah lakukan dalam kapasitasnya sebagai politisi untuk mengupayakan pembebasan Palestina dari ketertindasan, barangkali mereka gelagapan.
Ketika menyelesaikan tulisan ini, saya baru membaca situs FIFA. Nahas betul! Akhirnya FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Belum lagi sanksi yang menunggu di hari esok. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga pula.
ADVERTISEMENT
Sekarang, coba kita bertanya pada mereka yang kemarin begitu getol menolak kehadiran Timnas Israel itu. Bagaimana kegagalan ini bisa berkontribusi pada pembebasan Palestina?
Amboi! Sekarang pun saya cuma bisa membayangkan penuh sesal. Apa jadinya kalau saja anak-anak muda kita itu jadi bertanding di Piala Dunia U-20? Jika mereka cukup kritis untuk bersikap politis, mungkin kita akan bangga melihat mereka menyatakan dukungan pada Palestina, melalui selebrasi gol, pita, atau bahkan bentang bendera.
Jika mereka tak cukup kritis untuk bersikap politis, kita tak akan berkurang rasa bangganya melihat generasi penerus bertanding demi kehormatan bangsa. Lalu soal empati dan dukungan kita pada Palestina, tak seharusnya berkurang, pula bisa kita lanjutkan di lain tempat dan kesempatan, baik secara politik maupun secara politis.
ADVERTISEMENT