Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Pengalaman adalah Guru Terbaik
14 Mei 2020 8:05 WIB
Tulisan dari Christine Sheptiany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belajar dari pengalaman hidupku bahwa semua hal yang kita inginkan butuh perjuangan.
ADVERTISEMENT
Ketika menginjak usia 11 tahun, aku duduk di bangku kelas 6 SD. Ujian Nasional menjadi penentu untuk masuk ke SMPN favorit yang diinginkan semua orang. Awalnya aku tidak yakin bisa mendapatkan nilai tinggi sehingga aku belajar lebih keras agar bisa menjawab soal-soal UN nanti. Aku belajar semua materi di buku pelajaran setiap hari bersama orangtuaku. Selain itu, aku juga mendapat tambahan belajar dengan wali kelasku untuk mempersiapkanya.
Saat mengerjakan soal Ujian Nasional tidak ada yang terasa sulit, mungkin karena aku telah mempersiapkan dengan baik sebelumnya. Hasil yang kudapat pun cukup memuaskan karena sebelumnya nilai-nilai ujian yang lain, tidak setinggi hasil Ujian Nasionalku. Aku tak menyangka dengan nilai yang kupunya, aku tidak lolos SMPN favoritku padahal nilai yang aku capai cukup tinggi dibanding batas nilai minimal. tidak adalagi harapan masuk ke SMPN favoritku, aku hanya bisa pasrah. Akhirnya aku masuk sekolah swasta.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita selama tiga tahun belajar, aku siap kembali mengikuti Ujian Nasional masuk SMA. Tentu saja harapanku mendapat nilai tinggi dan menembus SMA favoritku. Selama masa ujian aku mengikuti tambahan pelajaran di luar sekolah secara pribadi bersama guru pembimbingku, tapi sayang aku tak bersungguh-sungguh kali ini. Aku cenderung bermain-main dan menganggap remeh. Aku pikir aku bisa mengatasinya sendiri. Benar saja, hasil ujianku jauh dari harapan. Aku sangat sedih dan terpuruk, menyesali semua perbuatanku. Aku gagal untuk yang kedua kalinya dalam hal yang sama.
Apa boleh buat, dengan nilai yang kupunya aku hanya masuk SMA pilihan keduaku. Selama masa SMA, aku banyak mengalami perubahan. Mungkin karena usia yang mulai dewasa dan cara berpikir yang lebih matang. Kegiatanku selama SMA lebih menarik dibanding saat aku SMP. Aku menyukai masa-masa SMA-ku. Walaupun begitu, bukan berarti tanpa lika-liku. Ketika aku kelas 3 SMA, tentu banyak persiapan menuju Ujian Nasional dan masuk perguruan tinggi. Aku pikir saat itu Ujian Nasional tidak menjadi prioritas lagi karena bukan Nilai UN yang akan menentukan masuk tidaknya perguruan tinggi. Setelah Ujian Nasional berakhir aku berfokus untuk ujian masuk perguruan tinggi negeri, mencari informasi tentang pendaftaran, jurusan, PTN, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Tepat hari ujian masuk perguruan tinggi seluruh Indonesia dilaksanakan. Aku berangkat bersama ibuku untuk mengikuti tes. Tempat ujianku begitu jauh dari jarak rumah sehingga harus berangkat pagi-pagi benar agar tidak terlambat mengikuti ujian. Aku berdoa agar mampu menjawab setiap soal yang diujikan. Namun, sepertinya waktu ujian aku merasa sulit sekali menjawab soal-soal itu. Aku juga tidak yakin jawaban yang aku pilih itu benar saat mengisinya.
Setelah ujian selesai aku merasa gagal kembali. Tidak tahu mengapa, sebelum hasil keluar, aku tahu aku sudah gagal. Tidak ada yang bisa kulakukan saat ujian. Aku hanya berpikir keras tanpa tahu cara menjawabnya. Aku sadar tidak ada persiapan matang untuk menghadapi ujian masuk perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Tiga bulan kemudian, hasilnya diumumkan melalui situs web. Aku sangat takut untuk membukanya. Aku tidak siap untuk gagal kembali. Puluhan pesan masuk di ponselku, mengucapkan selamat kepada teman-temanku yang berhasil lolos. Saat itu banyak temanku menanyakan hasil dariku. Akhirnya aku memberanikan diri untuk membukanya, walau tahu tidak mungkin lolos, tapi aku masih berharap kemungkinan terbaik. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaanku setelah melihat hasilnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Kegagalanku benar-benar dinyatakan.
Aku hilang harapan, tapi tidak ingin menyerah begitu cepat. Aku mencari cara lain bagaimana mewujudkan impianku. Akhirnya aku mengikuti ujian-ujian masuk perguruan tinggi yang lain. Sempat gagal di awal, namun aku coba kembali. Sebenarnya, aku pasrah untuk hasil yang kedua, tidak ingin memikirkannya terus-menerus. Jika aku gagal kembali, mungkin jodohku bukan pada pilihanku.
ADVERTISEMENT
Hari pengumuman ujian keduaku dipercepat dua hari. Hasilnya sudah keluar pukul delapan pagi, tapi aku sengaja tidak membukanya sampai malam hari. Entahlah aku seolah-olah tidak peduli dengan hasilnya. Namun, tiba-tiba saja pesan di ponselku begitu banyak. Seperti mengingatkanku pada suatu hal. Dalam salah satu chat, temanku mengatakan bahwa aku lulus ujian masuk salah satu perguruan tinggi. Aku langsung membuka webnya dan ternyata benar lulus. Aku senang sekali akhirnya aku merasakan kebahagian yang sama dengan teman-temanku yang lain.
Namun, bukan aku tidak bersyukur, jika boleh jujur itu bukan pilihan pertamaku. Jadi, ada perasaan yang belum terpuaskan. Meskipun begitu, aku yakin sudah jalan yang terbaik dan bukan tanpa maksud Tuhan memberikan kesempatan padaku. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semua sudah diatur.
ADVERTISEMENT
George Eliot pernah berkata, "Belum terlambat untuk menjadi apa yang kauinginkan". Aku sadar semua karena kesalahanku. Aku tidak benar-benar berjuang untuk mendapatkannya. Berkali-kali aku gagal mencapai impianku. Sekalipun begitu, belum semuanya. Masih ada babak-babak baru yang belum dimulai dan belum terlambat untuk menggapainya. Pengalamanku datang dari kesalahanku, tapi itu semua mengajari aku banyak hal.
Christine Sheptiany/Politeknik Negeri Jakarta