Konten dari Pengguna

Jika Guru Saja Malas Membaca, Bagaimana Nasib Literasi Kita?

Cindy Muspratomo
Penulis lepas, bookstagrammer, dan pemilik lapak haka bookstore
14 Mei 2023 8:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cindy Muspratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi membaca di toko buku. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi membaca di toko buku. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Rendahnya literasi siswa di Indonesia sudah kita ketahui bersama. Data yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara.
ADVERTISEMENT
Hal ini diperkuat dengan hasil yang tidak memuaskan dari Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang disampaikan Nadiem Makarim pertengahan tahun lalu.
Kondisi minat baca yang memprihatinkan, saya rasa punya korelasi besar dengan rendahnya literasi siswa. Keterampilan membaca, seperti yang semua orang ketahui adalah perangkat literasi yang utama.
Banyak ide digagas untuk memperbaiki minat baca siswa. Jika kita telusuri mesin pencarian google, akan kita dapatkan banyak artikel strategi-strategi meningkatkan minat baca siswa.
Ilustrasi membaca buku. Foto: Shutter Stock
Namun, satu hal yang luput dari perhatian, selama ini upaya perbaikan minat baca siswa selalu berpusat pada siswa. Artinya, target utama perbaikan tidak lain adalah minat baca siswa. Yang kita anggap ‘rusak’ dan bermasalah adalah minat baca siswa.
Padahal menurut saya, akar dari rendahnya minat baca siswa adalah rendahnya minat baca guru. Iya, guru-guru di Indonesia memang masih malas membaca. Hasil riset Center Education Regulation and Development Analysis (Cerdas) pada 2019 lalu membeberkan fakta ini.
ADVERTISEMENT
Rendahnya minat baca guru adalah realita menyedihkan yang jarang diperhatikan. Guru, Anda tahu, bukan hanya fasilitator dalam dunia pendidikan, melainkan juga motivator. Dalam mesin besar bernama sistem pendidikan, guru adalah penggerak utama. Jika penggerak utamanya bermasalah, maka anda bisa menebak bagaimana mesin besar itu terseok-seok bekerja.
Ilustrasi buku puisi. Foto: Shutter Stock
Maka jangan heran jika anak-anak didik kita malas membaca, wong guru-gurunya saja demikian.
Selama bersekolah dari jenjang SD hingga SMA, jarang saya dapati guru-guru yang dapat dijadikan inspirasi murid-muridnya untuk gemar membaca buku. Langka saya temui guru-guru yang berbicara di depan kelas mengenalkan bacaan bermutu yang baru selesai ia baca. Aktivitas pembelajaran di ruang kelas sebagaimana yang mungkin juga Anda rasakan, hanya berkutat pada buku paket dan LKS dan sumber-sumber di internet.
ADVERTISEMENT
Terus terang, pengetahuan saya tentang buku-buku bermutu tidak saya dapatkan dari guru-guru saya di sekolah melainkan dari hunting di perpustakaan, toko, atau tempat persewaan buku, juga dari lingkungan keluarga. Dari sekolah saya hanya diperkenalkan dengan buku-buku yang isinya dicuplik untuk melengkapi materi, dan itu jumlahnya bisa dihitung jari.
Di negara-negara maju, saya kira anak-anak sudah diperkenalkan guru-gurunya dengan buku-buku bermutu sejak masih dini. Hal itu membuat mereka tidak asing dengan nama-nama besar seperti Shakespeare, Mark Twain, Harriet Beecher Stowe, Charles Dickens, dan lainnya.
Ilustrasi guru mengajar. Foto: Shutterstock
Saya tidak yakin guru-guru di Indonesia mengenal atau membaca karya-karya besar itu. Guru-guru di Indonesia memang mengajari anak-anak membaca, tapi mereka tidak membimbing anak-anak mencintai buku-buku. Mengapa demikian? karena mereka sendiri tidak suka membaca.
ADVERTISEMENT
Di sekolah menengah dulu, saya masih ingat, seorang guru pernah berceramah lantang tentang sesatnya teori evolusi Darwin, tapi ketika saya bertanya, sudahkah beliau membaca The Origin of Species, beliau bahkan bertanya buku tentang apakah itu?
Saya tidak menuduh semua guru memiliki pengetahuan yang buruk soal bacaan bermutu, tentu saja ada guru-guru yang pengetahuannya mumpuni yang mendorong dan mengenalkan anak-anak didiknya dengan buku-buku yang bermutu.
Di SD, wali kelas saya saat kelas 6 kebetulan punya tempat persewaan buku di rumahnya, dan saya sering berkunjung ke sana. Saat saya SMP guru bahasa Indonesia saya mengenalkan Sitor Situmorang dan Chairil Anwar. Namun, guru-guru demikian jumlahnya amat terbatas.
Ilustrasi toko buku. Foto: Shutterstock
Saya menawarkan, alih-alih mati-matian mencari strategi meningkatkan minat baca siswa, lebih baik pemerintah atau sekolah mulai fokus meningkatkan minat baca guru-guru mereka. Program-program literasi, tidak hanya diperuntukkan bagi para siswa, tapi juga untuk para guru.
ADVERTISEMENT
Misalkan, sekolah bisa membuat klub buku yang anggotanya para guru. Kegiatannya serupa dengan kegiatan klub buku pada umumnya seperti bedah buku secara bergantian, diskusi, One Book One Week, mengadakan kelas penulisan kreatif, membuat majalah, menghadirkan penulis, dan sebagainya.
Tentu saja upaya ini adalah upaya yang menantang. Seperti yang kita tahu, mengubah kebiasaan adalah hal yang tidak mudah, terlebih kebiasaan orang-orang dewasa yang telanjur terikat dengan zona nyamannya. Banyak guru-guru yang bermental, ‘saya terlalu sibuk, dan jika dengan begini saja saya sudah bisa mendapat gaji, untuk apa menambah beban dengan membaca buku?’. Kondisi seperti ini bisa saja menimbulkan gesekan-gesekan yang tidak mengenakkan.
Bagaimana pun juga hidup adalah pilihan, kita bisa tenang-tenang saja dan tak ambil pusing dengan terus menerus mempertahankan rendahnya minat baca guru dengan risiko kecakapan literasi kita tidak akan berjalan ke mana-mana. Atau, kita bisa memulai perubahan besar dengan langkah-langkah sederhana.
Ilustrasi kursi dan menja sekolah. Foto: Shutterstock
Yang pasti, kita harus sadar sampai detik ini sekolah-sekolah kita belum berhasil melahirkan anak-anak yang gemar membaca. Dan ini adalah masalah besar.
ADVERTISEMENT
Saya yakin, jika ditanya, penentu kebijakan pendidikan pasti berharap peserta didik kita gemar membaca. Tanpa kemampuan itu, perkembangan ilmu pengetahuan bangsa kita akan berjalan layaknya kendaraan yang sudah waktunya turun mesin. Dan akibatnya bangsa kita akan terus tertinggal dari bangsa lain.
Memang ada banyak hal lain yang bisa kita tuding sebagai penyebab rendahnya minat baca anak-anak. Di antaranya, lingkungan sekolah dan keluarga yang kurang mendukung, belum maksimalnya peran perpustakaan, terbatasnya bahan bacaan, dan pengaruh perkembangan teknologi di bidang informasi dan komunikasi.
Namun minimnya pengetahuan guru akan bacaan bermutu dan minat baca mereka yang menyedihkan menurut saya adalah faktor paling utama. Untuk itu kita perlu mendesak pemangku kebijakan pendidikan nasional agar segera memperbaikinya.
ADVERTISEMENT