Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bung Hatta di Saat-saat Terakhirnya
20 Maret 2024 8:27 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Cipta Sajati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pagi itu, 16 Maret 1980, Suyatmi Surip seperti biasa mengerjakan tugasnya, menyiapkan sarapan untuk Tuan Besar. Ia bawa nampan berisi sarapan lengkap dengan minum dan buahnya. Saat ia masuk ke kamar kerja Tuan Besar, ia melihat semuanya begitu semraut, sesuatu yang akan membuat Tuan Besar marah tentunya. sejenak ia merenung lantas terhenyak, baru ingat sang Tuan Besar sudah tidak ada lagi, selamanya. Suratmi Surip lantas menyimpan nampan diatas lantai, lalu ia menangis sejadi-jadinya, merindu pada sang Tuan Besar, Hatta.
ADVERTISEMENT
Masih segar dalam ingatan Suyatmi Surip, pembantu Bung Hatta yang telah bekerja selama 25 tahun itu, bagaimana ia melayani Bung Hatta sampai akhir hayatnya. Dalam kesaksiannya yang dituliskan oleh Meutia Hatta dalam artikel “Dalam Pengabdian Selam Tiga Puluh Tahun” (1981), Suyatmi Surip mengatakan bahwa di saat-saat terakhirnya, saat Bung Hatta masuk rumah sakit Tjipto Mangunkusomo pada Maret 1980, ia menjenguk Bung Hatta dan menggantikan Meutia Hatta berjaga di Kamar No. 5 Pavilliun Cendrawasih.
Lantas sambil memijat tangan Bung Hatta yang sudah sangat lemah, tiba-tiba ia mendengar ucapan terakhir bung Hatta padanya. Bung Hatta mengatakan “Surip, saya titip Nyonya dan Halida (putri Bung Hatta) ya,?”. Kalimat perintah sekaligus permintaan dari Bung Hatta tersebut menjadi yang terakhir, karena lima hari kemudian, Bung Hatta meninggal dunia tepat pada 14 Maret 1980.
ADVERTISEMENT
Suyatmi Surip salah satu dari sekian banyak orang yang berada di sekitar Bung Hatta di saat-saat terakhirnya. Di antara orang-orang tersebut terseliplah suatu perasaan yang begitu mendalam dan berkesan pada mereka. Salah satunya pada diri Abdul Majid, ia adalah sopir pribadi Bung Hatta sejak tahun 1977.
Pada periode waktu kembali dirawat di Rumah Sakit antara 3-14 Maret 1980, Abdul Majid berada di sana untuk bergantian sebagai penjaga Bung Hatta, terutama di malam hari. Abdul Majid (1980) menjelaskan, dalam artikel tulisannya yang berjudul “Pengalaman Singkat Menjadi Pengemudi Proklamator”, bahwa di saat-saat terakhirnya, Bung Hatta selalu memanggil namanya untuk sekadar ditemani pada malam hari di samping tempat tidur beliau sampai tertidur. Kemudian tak lama Bung Hatta terbangun dan selalu mengajak Abdul Majid untuk pulang.
ADVERTISEMENT
“Bapak terbangun lagi, lalu berbisik mengajak saya pulang, karena beliau merasa tidak betah tinggal di rumah sakit,” ujar Abdul Majid. Kejadian tersebut dirasa janggal oleh Abdul Majid, karena dalam pengetahuannya, Bung Hatta adalah seseorang yang sangat disiplin saat ia menerima perawatan baik di rumah sakit ataupun di rumah. Seperti halnya pada tahun 1979, ia dengan saksama menuruti apa yang dikatakan dokter di rumah sakit sampai dokter tersebut mengatakan kapan Bung Hatta boleh pulang.
Permintaan pulang dari Bung Hatta di saat ia dirawat, ternyata merupakan sebuah ‘isyarat’ bahwa ia akan kembali pada penciptanya. Abdul Majid turut serta mengantarkan tuannya untuk ‘Pulang’ sesuai permintaan terakhirnya.
Pada 14 Maret 1980 ia mengemudikan mobil berplat B-17845 dengan Rahmi Hatta, Meutia Hatta, dan Gemala Hatta, serta ibu Fatmawati, Hasjim Ning di dalamnya. Beranjak dari Jalan Diponegoro sampai menuju Tanah Kusir, Abdul Majid berada tepat di belakang mobil jenazah yang membawa Bung Hatta.
ADVERTISEMENT
Diiringi oleh ribuan orang beradap di pinggir jalan antara Diponegoro hingga Tanah Kusir, Abdul Majid meneteskan air matanya tak bisa menahan haru melihat Tuannya, pulang dan tak kembali selamanya.
Syaudah Husyn seorang perawat RSCM dalam artikelnya “Pasien yang Berhati Emas” (1980) menceritakan bahwa Bung Hatta telah masuk rumah sakit dalam beberapa waktu selama periode tahun 1963-1980. Selama dirawat di RSCM Syaudah mengatakan bahwa Bung Hatta selalu menempati kamar no.5 Pavilliun Cendrawasih. Dikenal sebagai pasien yang disiplin, Bung Hatta juga selalu berinteraksi dengan baik bersama para perawatnya.
Seperti saat Syaudah mengajak suaminya yang merupakan penggemar Bung Hatta untuk menemui beliau. Suaminya membawa foto Bung Hatta bersama dengan Sjahrir dan Bung Karno saat pengasingan di Bangka pada 1949. Lantas sang suami berkelakar kepada Bung Hatta dengan mengatakan bahwa di foto tersebut Bung Hatta melihat gemuk dibandingkan sekarang.
ADVERTISEMENT
Dikomentari tersebut lalu Bung Hatta menjawab dengan santai “Oh dulu di Bangka, kerja saya hanya makan dan tidur saja, sudah tentu menjadi gemuk”. Mendengar jawaban tersebut Syaudah bersama suami lalu tertawa yang mana membuat suasana kamar rumah sakit menjadi lebih hangat.
Pertemuan antara Syaudah dan Bung Hatta berlanjut setiap kali Bung Hatta harus dirawat di RSCM. Sampailah pada bulan Maret 1980, Syaudah juga ikut merawat bung Hatta untuk terakhir kalinya. Menjadi momen tak terlupakan untuk Syaudah bagaimana Bung Hatta di saat-saat terakhirnya. Pada malam hari Bung Hatta selalu bertanya mengenai keberadaan Meutia (anaknya) dan terbangun hanya untuk meminta pada suster bahwa dirinya akan salat. Syaudah lantas mengingatkan “sembahyang masih lama Pak, belum waktunya sekarang”. Dan tiba-tiba beliau bertanya lagi “Suster apakah tempat tidur saya telah dibereskan”.
ADVERTISEMENT
Tujuh hari kemudian dari kejadian tersebut tepatnya 13 Maret 1980, kondisi Bung Hatta mengalami penurunan dan harus dirawat secara intensif di ICU RSCM. Didapat dipindahkan ke ruangan intensif, di situlah Syaudah terakhir kali melihat Bung Hatta saat masih hidup, karena keesokan harinya Bung Hatta meninggal dunia.
Syaudah yang sempat melihat jenazah Bung Hatta mengatakan “Saya datang melihat jenazahnya yang cemerlang, terbaring diselimuti kain biru yang indah, yang kabarnya digunakan pula untuk menyelimuti jenazah ibunda beliau pada tahun 1959. Bapak bagaikan orang tidur, senyumnya tampak pada wajahnya yang sabar tenang dan penuh wibawa”.
Di saat terakhirnya, sebelum dibawa ke ruang intensif ICU RSCM, Bung Hatta sempat dipertemukan dengan Ibu Fatmawati. Menurut adik ipar Bung Hatta, Raharty Subijakto, dalam artikelnya berjudul “Sebuah Kenangan” (1980) pertemuan tersebut terjadi dengan sangat mengharukan.
ADVERTISEMENT
Pada pertemuan terakhirnya tersebut, Ibu Fatmawati menemui Bung Hatta seraya membisikkan dan menuntun untuk berdoa. “Sebutlah nama Allah, Bung! Allah, Allah Allahuakbar” kalimat yang dibisikkan oleh Ibu Fatmawati kepada Bung Hatta. Dengan keadaan sudah sulit untuk berbicara, Bung Hatta mengikuti dengan terbata-bata mengikuti kalimat yang dibisikkan oleh ibu Fatmawati. Setelah bertemu dengan ibu Fatmawati beberapa jam kemudian Bung Hatta tidak sadarkan diri dan lalu meninggal dunia. Syahdan dua bulan kemudian ibu Fatmawati berpulang untuk selamanya.
Pertemuan terakhir antara Bung Hatta dan ibu Fatmawati merupakan momen yang hampir sama dengan momen saat pertemuan terakhir Bung Hatta dan Bung Karno. Kembali ke tahun 1970, Bung Hatta meminta kepada Presiden Suharto untuk menengok Bung Karno.
ADVERTISEMENT
Izin diberikan, berangkatlah Bung Hatta disertai sekretaris dan kedua putrinya. Pertemuan singkat kurang lebih 30 menit antara dua proklamator tersebut diselimuti oleh suasana yang mengharukan. Meutia Hatta (1980) yang ikut dalam pertemuan tersebut memberikan kesaksiannya “Kami melihat sesuatu mengharukan, pertemuan dua proklamator untuk terakhir kalinya”.
Memasuki ruangan, Bung Hatta menyapa “Aah, No, Apa Kabar?” Bung Karno tidak merespons pertanyaan Bung Hatta dan hanya memandang beberapa lama. “Lantas kemudian Bung Karno mengucapkan kata-kata yang sulit kami tangkap, tetapi kira-kira berbunyi “Hoe gaat het met jou?” (Apa Kabar?) dalam Bahasa Belanda” ujar Meutia dalam artikel yang ditulisnya berjudul “Ayahanda Pribadinya dalam Kenanganku” (1980).
Air mata Bung Karno menetes ke bantal. Bung Hatta melihat Bung Karno sambil terus memijiti lengannya dan Bung Karno meminta dipasangkan kaca mata agar dapat melihat Bung Hatta lebih jelas. Tak banyak percakapan di antara kedua proklamator ini, seolah mereka tertaut batin membicarakan perjuangan mereka yang sudah sampai pada titik yang begitu mereka harapkan, kemerdekaan. Beberapa hari setelah pertemuan tersebut, Bung Karno meninggal dunia pada 21 Juni 1970.
ADVERTISEMENT
Hubungan Bung Hatta dan Bung Karno memang terbilang unik. Pada spektrum politik banyak hal yang menjadi singgungan antara kedua tokoh ini. Dimulai dengan kritik tajam Bung Hatta pada Bung Karno pad Daulat Rakyat di masa Pergerakan Nasional, dilanjutkan dengan perdebatan singkat mengenai bentuk negara Indonesia di masa Jepang, sampai pada akhirnya Bung Hatta memberikan kesempatan kepada Bung Karno untuk melaksanakan konsepsinya yang dikenal Demokrasi Terpimpin. Sampai pada masa tersebut Bung Hatta melakukan koreksi ‘keras’ kepada Bung Karno terhadap apa yang telah dilakukannya selama Demokrasi Terpimpin. Namun meski berseteru di medan politik, tapi keduanya tak pernah bersinggungan secara pribadi. Keduanya dikenal tetap sebagai sahabat yang saling menghormati pilihan hidupnya masing-masing.
Hubungan dua sahabat ini tak renggang oleh pilihan politik mereka yang berbeda. Dua tahun sebelum Bung Hatta meninggal dunia, tahun 1978, Guntur Sukarnoputra merasa khawatir dengan beberapa pihak yang meragukan dan tak menyetujui bahwa Pancasila dilahirkan tanggal 1 Juni 1945. Ia merasa khawatir untuk berargumen mengenai hal tersebut karena orang yang berbeda pendapat akan menganggap bahwa argumen Guntur berdasar karena ia adalah anak dari Bung Karno, bukan dari fakta sejarah. Meskipun Guntur melontarkan fakta sejarah yang objektif ia tetap merasa bahwa argumennya akan begitu saja patah karena status yang lekat pada dirinya,
ADVERTISEMENT
Pada suatu momen, Guntur memiliki kesempatan untuk memotret Bung Hatta. Setelah acara berlangsung, ia diberikan amplop oleh Bung Hatta. Dalam amplop tersebut berisikan sebuah testamen yang menjelaskan mengenai kronologis lahirnya Pancasila, dimulai dari sidang BPUPKI bulan Mei 1945. Testamen itu di tanda tangani oleh Bung Hatta dan menjadi sebuah bukti konkret dan objektif mengenai proses kelahiran Pancasila, dan dapat dijadikan sebagai acuan fakta sejarah yang ada.
Dengan momen-momen di atas kita dapat melihat bahwa di saat-saat terakhirnya Bung Hatta tetap menunjukkan jiwa besar dan kepeduliannya terhadap sekitarnya. Perasaan kehilangan dari orang-orang sekitar Bung Hatta saat kepergiannya menunjukkan bahwa Bung Hatta telah meninggalkan suatu kesan dan citra yang baik selama hidupnya. Orang yang sudah kenal lama dengan Bung Hatta ataupun yang belum terlalu lama mengenal pribadi beliau mendapati kesan yang sama mengenai jiwa besar Bung Hatta.
ADVERTISEMENT
Seorang dokter yang merawat Bung Hatta bernama Lie Kioeng Foei (1980) dalam artikelnya “Bung Hatta yang Saya Kenal” mengatakan “meskipun belum terlalu lama dan tidak terlalu mendalam mengenal Bung Hatta, tetapi kesan yang terasa begitu mendalam”. Pendapat sang dokter ini berdasar pengalamannya selama merawat Bung Hatta. Ia mengatakan bahwa Bung Hatta adalah seseorang yang dapat memegang janji dan selalu disiplin dengan waktu. Satu bulan sekali Bung Hatta mendapatkan perawatan di Intensive Coronary Care Unit (ICCU) dan selama perawatan tersebut tidak pernah sekalipun Bung Hatta dating terlambat dari waktu yang sudah dijanjikan.
Hal tersebut ditambahkan oleh keterangan Dokter lain yang ikut merawat Bung Hatta bernama N.Abdurrachman yang mengatakan bahwa Bung Hatta adalah seorang yang tabah hati, selama perawatan Bung Hatta selalu berdisiplin dan tak pernah mengeluh dengan penyakitnya. “Hal ini menunjukkan watak yang tangguh dalam berbagai keadaan”, ujar Dokter N. Abdurrachman dalam artikelnya “Bung Hatta yang Saya Kenal”
ADVERTISEMENT
Bung Hatta telah meninggalkan kita semua tepat 44 tahun yang lalu. Namun sosoknya tetap lekat menjadi salah satu contoh bagaimana manusia Indonesia seharusnya. Mochtar Lubis (1980) menjelaskan bahwa Bung Hatta telah merebut kecintaan masyarakat Indonesia karena dalam dirinya terhimpun nilai-nilai Manusia Indonesia yang seharusnya, kejujuran, santun, kesederhaan sampai cinta pada kebenaran dan keadilan, dan berpijak pada ilmu pengetahuan. “kekosongan yang ditinggalkannya akan amat sukar terisi kini di tanah air kita” ujar Mochtar Lubis dalam artikelnya “Bung Hatta Manusia Berdisplin”
Perkataan Mochtar Lubis 44 tahun yang lalu tersebut masih berlaku sampai hari ini. Bung Hatta masih terlalu sulit dicarikan penggantinya, apalagi jika berkaca pada orang-orang yang tampil dan mengaku ‘negarawan’ pada masa kini.
ADVERTISEMENT
“Selamat jalan Bapakku”